Tuesday, October 05, 2004

Daur Ulang Limbah Makanan; Menyiasati Masalah Pemeliharaan Lingkungan Hidup

Apa yang terjadi di Negeri Sakura memang jauh berbeda dengan negara kita tercinta. Di sana semua orang sudah teramat menjiwai akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan sekitar. Mungkin apa yang diterapkan di sana dapat menjadi cerminan bagi kita tentang bagaimana seharusnya kita memelihara alam.

Undang-undang Daur Ulang Makanan telah diterapkan di Jepang sejak Mei 2001, di mana di dalamnya telah diatur kewajiban para produsen makanan dan semua jenis usaha yang berhubungan dengan makanan, termasuk industri retail & industri jasa katering, untuk mendaur ulang sedikitnya 20% dari total limbah sisa makanan dan masakan mereka. Dalam bahasan ini kita semua dapat melihat bagaimana langkah-langkah seputar penanggulangan masalah lingkungan hidup dapat benar-benar membantu bidang ekonomi.

Menteri Pertanian, Kehutanan & Perikanan Jepang telah memperkirakan bahwa limbah makanan negara tersebut berkisar antara 19.4 juta ton per tahun. Ketika angka ini diurai, terdapat perincian bahwa limbah industri makanan seperti yang dihasilkan oleh pabrik makanan mempunyai angka 3.4 juta ton; dan limbah makanan dari industri jasa makanan lainnya seperti hotel & restoran, serta dari distributor seperti supermarket mencapai 6 juta ton. 10 juta ton sisanya terdiri dari limbah makanan yang berasal dari rumah penduduk. Diperkirakan pula bahwa 48% dari limbah makanan tersebut masuk ke dalam kategori limbah yang dapat didaur ulang, tapi angka rata-rata daur ulang untuk makanan masih termasuk rendah, yaitu 9%.
Untuk menanggulangi situasi ini, Undang-undang Daur Ulang Makanan dikeluarkan pada tahun 2001. Undang-undang ini memotivasi dilakukannya proses daur ulang & reduksi pada limbah industri makanan, juga terhadap limbah makanan umum yang diproduksi oleh industri makanan terkait lainnya.

Di bawah undang-undang ini, semua industri yang terkait dengan makanan berkewajiban untuk mengurangi jumlah limbah makanan mereka sampai dengan 20% selama periode tahun fiskal 2001 – 2006, melalui berbagai cara seperti mengontrol jumlah limbah, proses daur ulang dan proses pengeringan limbah. Dalam beberapa kasus, sanksi dapat diberikan kepada industri-industri yang tidak taat terhadap undang-undang yang ada, yang menyebabkan jumlah limbah makanan per tahunnya mencapai lebih dari 100 ton.

Satoshi Yanagisawa adalah Kepala Bagian Kementrian untuk Perencanaan Daur Ulang, beliau menjelaskan; “Sementara ini ada tendensi untuk lebih fokus ke arah proses daur ulang sebagai cara utama untuk mengurangi limbah, di lain pihak undang-undang menetapkan bahwa prioritas utama sebenarnya adalah untuk membatasi turunan limbah dengan memikirkan pola baru selama proses produksi & pendistribusian berlangsung. Prioritas selanjutnya adalah untuk mendaur ulang limbah menjadi pupuk dan makanan ternak, atau menjadi bahan mentah seperti oli, minyak & methane. Pada akhirnya nanti, bila proses daur ulang bukan termasuk dalam pilihan, limbah tersebut harus dikeringkan. Undang-undang ini dirancang untuk memasyarakatkan pengurangan jumlah limbah dengan mengizinkan industri-industri yang ada untuk memilih dan memadukan metode yang dianggap paling baik dan efisien dari pilihan-pilihan yang ada.”

INDUSTRI HOTEL

Salah satu contoh nyata yang didapat adalah Hotel New Otani. Hotel tersebut berlokasi di distrik Chiyoda, Tokyo memiliki 1,600 kamar dan merupakan salah satu hotel kelas atas di Jepang. Hotel tersebut juga dikenal dengan kontribusinya di bidang pemeliharaan kelestarian lingkungan hidup. Usaha yang dilakukan termasuk menciptakan pembangkit tenaga tambahan yang memanfaatkan gas alami, dan mengembangkan penanganan limbah secara tepat melalui sistem pendidikan bagi karyawan-karyawannya yang bersifat komprehensif. Hotel New Otani baru-baru ini memberikan perhatian khusus terhadap proses daur ulang limbah makanan.

Seiring dengan banyaknya jumlah kamar yang tersedia, hotel tersebut juga memiliki cukup banyak restoran dan banquet hall. Dapur hotel yang berjumlah kurang lebih 50 buah menghasilkan sekitar 5 ton limbah makanan setiap harinya. Sebelumnya, pihak hotel membuang limbah tersebut dengan cara menjualnya sebagai makanan babi kepada para petani & peternak, tetapi pada akhrnya hal tersebut membangkitkan masalah baru berkenaan dengan bau kurang sedap yang dihasilkan, terutama bila melihat lokasi hotel yang terletak di pusat kota. Kemudian pihak hotel mulai membayar biaya pemusnahan kepada pemerintah kota untuk membakar limbah yang ada. Namun hal tersebut berbuntut kepada anggaran biaya tahunan yang mencapai 40 juta yen. Pembuangan limbah makanan merupakan masalah tersendiri bagi lingkungan, selain itu juga merupakan hal yang paling sulit diatasi oleh masyarakat industri.

Pada poin ini, hotel New Otani memutuskan untuk membuat metode penanggulangan limbah makanannya sendiri, dan setelah beberapa kali mengulangi proses tersebut dengan berbagai percobaan dan kegagalan, akhirnya pihak hotel membangun sendiri tempat pembuatan kompos di area hotel pada tahun 1999. Bangunan ini berjalan dengan bantuan tenaga uap buangan yang diproduksi oleh pembangkit tenaga tambahan, sehingga biaya yang dikeluarkan adalah nol. Limbah makanan sejumlah 5 ton diolah menjadi 700 kg bahan mentah untuk kompos, yang kemudian dijual ke pabrik-pabrik pembuatan kompos untuk diproses lebih lanjut dan dijadikan pupuk. Dalam hal ini, pihak hotel telah membuat kesepakatan dengan para petani untuk membeli sayur-sayuran yang ditanam dengan bantuan kompos hasil daur ulang ini untuk keperluan masak-memasak di hotel.
Hotel ini mempunyai ruang persiapan terpisah untuk proses memasak sayuran, ikan, daging, dan bahan masakan lainnya. Sebagian besar limbah makanan didapat dari proses persiapan ini, di mana serpihan dan potongan yang tidak diperlukan dimasukkan ke dalam tempat-tempat yang bersih dan dikirim ke rumah kompos untuk diproses. Untuk menghasilkan keseimbangan sempurna pada komposisi dari kompos itu sendiri, bunga dan tanaman dimasukkan ke dalam campuran sisa sayuran dan ikan. Rumah kompos itu sendiri samasekali tidak terlihat seperti tempat pengolahan limbah dan sisa pembuangan, namun lebih mirip dengan area perluasan dapur yang keadaannya sangat bersih, bahkan dilengkapi dengan mesin pembersih dan alat sterilisasi untuk ember dan wadah lain yang digunakan sebelumnya. Setelah menjalani proses fermentasi kurang lebih satu minggu di rumah kompos ini, limbah makanan telah menjadi kompos. Selanjutnya kompos mentah tersebut akan dikirim ke pabrik-pabrik untuk diproses lebih lanjut.

“Daripada memperlakukan limbah yang ada sebagai sampah, kami memilih untuk mendaur ulang limbah makanan kami secara sistematis dengan menggunakan ide-ide yang diawali dari dalam dapur”, kata Koichi Wada, Senior Director of Facilities Management di hotel New Otani. “Untuk menangani limbah makanan dalam jumlah besar di tengah kota bukanlah hal mudah. Banyak pabrik yang telah berusaha dan gagal total. Jika Anda merenungkan dan memikirkan kembali, limbah makanan berasal dari bahan-bahan yang kita pakai untuk memasak makanan kita. Makanan yang kita makan sebenarnya adalah ‘limbah’ dari proses memasak yang dilakukan. Kami mencoba untuk memproses limbah ini seperti halnya jika kami memasak dengan menggunakan metode pengontrolan kadar kesegaran, pencampuran, pemanasan dan pengadukan – dan kami berhasil membuat kompos dengan kualitas tinggi.”

Sebelumnya, Wada adalah chef di hotel tersebut. Pengalihan limbah makanan menjadi kompos diujicobakan di berbagai tempat lainnya, namun angka rata-rata keberhasilan yang didapat sangatlah rendah. Saat ini hotel New Otani memasarkan konsep rumah kompos buatannya dan perangkat lunak untuk proses pengalihan kompos sebagai produk komersil.

HASIL SAMPINGAN

Di dalam kompleks industri daur ulang di daerah Kitakyushu – Fukuoka, para produsen tahu dan distributornya berkumpul bersama dalam usaha mendaur ulang okara.
Okara adalah residu yang tersisa dari proses pembuatan susu kedelai, dan merupakan hasil sampingan yang selalu didapat dari proses produksi tahu. Jepang menghasilkan 720,000 ton okara setiap tahun. Pada masa di mana makanan sulit didapat, okara dikonsumsi sebagai sumber nutrisi yang berharga, namun sekarang setengah dari jumlah okara yang dihasilkan hanya dipakai sebagai makanan hewan. Sisanya dimusnahkan, dan dalam beberapa kasus dibuang tanpa mengindahkan peraturan. Lebih dari itu, jumlah yang digunakan sebagai makanan hewan berkurang, berkaitan dengan ketatnya persaingan harga, terutama dengan makanan hewan impor yang harganya lebih murah.

Mitsuhiro Kihara adalah Ketua Asosiasi Daur Ulang & Perwakilan Persatuan Produsen Tahu Fukuoka, beliau mengatakan, “Okara mengandung kelembaban dalam jumlah besar, dan bisa berkisar antara 1.3 kali lebih banyak daripada volume kacang kedelainya sendiri. Selain itu, okara sangat mudah membusuk dan hal tersebut mempersulit proses penanganannya menjadi makanan manusia maupun hewan. Biaya proses pemusnahan yang harus dikeluarkan adalah sekitar 15,000 yen per ton. Benda yang pada satu masa dipandang sebagai sumber nutrisi, kini diperlakukan sebagai limbah industri yang bermasalah.”

Kihara dan rekan-rekannya di lingkungan industri tahu Kitakyushu berinisiatif untuk mengembangkan & membangun rumah daur ulang okara, bekerjasama dengan sebuah perusahaan industri listrik. Seperti halnya hotel New Otani, mereka tidak berhasil dengan fasilitas yang telah ada sebelumnya. Mereka mengembangkan metode pengeringan unik yang menggunakan uap, dan berhasil mendaur ulang okara menjadi bentuk kering tanpa meninggalkan bau menyengat yang biasa ada pada produk hasil fermentasi kacang kedelai.
Rumah daur ulang yang dibangun Kihara dan rekan-rekannya mampu mengurangi kadar kelembaban okara dari 80% menjadi 4-8% dalam waktu hanya 40 menit. Dengan tetap mempertahankan nutrisinya dalam tingkat tinggi, okara yang telah dikeringkan ini, kini dalam bentuk serpihan, dapat disimpan dalam suhu kamar sampai dengan 6 bulan tanpa menjadi busuk, yang secara signifikan menaikkan potensi distribusi & penyimpanannya. “Kami menjawab tantangan untuk proses daur ulang ini dengan keputusan untuk menyimpan kembali nilai tinggi yang dimiliki okara, yang telah dilebur pada saat proses pembuatan makanan.” Ujar Kihara.

Rumah daur ulang tersebut, yang dibangun di ecotown Kitakyushu atas bantuan Menteri Pertanian, Kehutanan & Perikanan, memiliki kapasitas untuk memproses 6,000 ton limbah per tahun. Rumah daur ulang itu kini juga menangani proses untuk daur ulang limbah ham & pabrik sosis. Hasilnya yang merupakan bahan mentah untuk produksi makanan dan makanan hewan, merupakan indikasi dari masa depan bisnis yang cerah.

SUPERMARKET

Dari hasil kunjungan ke sebuah supermarket Seiyu di area Higashi-Matsuyama – Saitama, dapat diketahui bagaimana rantai terdekat dengan kehidupan sehari-hari kita ini mendaur ulang limbah makanan yang ada.
Dengan 228 gerai tersebar di seluruh Jepang, Seiyu menghasilkan 25,831 ton limbah makanan per tahun. Berdasarkan kenyataan ini, Seiyu mendaur ulang berbagi jenis limbah makanannya seperti sisa-sisa ikan, daging & minyak bekas dengan angka rata-rata 100%, namun angka tersebut menurun apabila menyentuh sisa & hasil proses sayuran serta buah. Saat ini Seiyu dengan sukses memperkenalkan fasilitas pembuatan kompos di setiap gerai untuk menjawab tantangan situasi yang ada.

Gerai Seiyu di Higashi-Matsuyama, yang diresmikan pada bulan Maret 1998, menjadi model untuk proyek tersebut. Gerai ini mendaur ulang 200 kg limbah makanan setiap harinya, dengan menggunakan peralatan pembuatan kompos yang disediakan. Hasilnya adalah angka rata-rata keberhasilan daur ulang yang mendekati 100%.

Takashi Muto, Manajer Gerai mengutarakan, “Seiyu menerima sertifikasi ISO14001 pada tahun 1997. Kami memisahkan sampah ke dalam lebih dari 10 kategori yang berbeda sebagai bagian dari usaha kami memelihara kelestarian lingkungan. Untuk limbah makanan, pertama kali kami mencoba untuk mengurangi jumlah limbah harian dengan cara-cara seperti menjual makanan jadi yang hampir melewati batas waktu kadaluarsanya dengan potongan harga sebesar 90% kepada karyawan dan memilih untuk tidak membuangnya seperti waktu-waktu yang lalu. Apabila dengan cara demikian limbah makanan masih juga ada, kami mengeluarkan makanan tersebut dari bungkusnya dan mengolahnya menjadi kompos.”

Rahasia dari keberhasilan supermarket mendaur ulang limbah makanannya adalah ikatan dan hubungannya dengan produsen pupuk yang memiliki pengalaman memproses kompos dan menjual pupuk. Para produsen pupuk ini menangani proses fermentasi lanjutan dan mengontrol kualitasnya di pusat –pusat kompos.

Sisa-sisa makanan yang dihasilkan selama proses pembuatan makanan atau sisa-sisa dari pusat jajan yang ada, dimasukkan ke dalam mesin fermentasi kecepatan tinggi bersama dengan makanan-makanan yang tidak terjual. Setelah menjalani proses fermentasi utama selama 22 jam, limbah makanan harian seberat 200 kg ini dialihkan menjadi 40 kg bahan mentah kompos untuk kemudian dikirim ke produsen pupuk untuk diproses lebih lanjut.

Katsuhiko Ito, Direktur Pelaksana Eko-Bisnis di salah satu produsen pupuk mitra Seiyu, Katakura Chikkarin, menjelaskan, “Saya sudah lama tertarik pada limbah makanan sebagai sumber organik tak terpakai, bahkan sejak sebelum Undang-undang Daur Ulang Limbah Makanan diberlakukan. Saya telah melakukan berbagai riset atas metode yang dipakai seperti fermentasi, karbonisasi dan pengeringan. Saya membangun sebuah sistem yang dapat mendaur ulang limbah makanan menjadi kompos; alat tersebut menggunakan sebuah mesin fermentasi untuk menghilangkan substansi luar pada proses fermentasi tingkat utama dan memproses limbah menjadi bentuk yang lebih mudah didistribusikan.”

Sebagai hasil akhir dari usaha tersebut, angka rata-rata Seiyu untuk sayuran dan buah-buahan naik dari 4% pada tahun 2001 menjadi hampir 40% saat ini.

MANFAAT LAINNYA

Setelah melihat berbagai tindakan daur ulang yang nyata di berbagai tempat di Tokyo, Profesor Pertanian Universitas Tokyo, Akikuni Ushikubo, yang juga spesialis menangani masalah daur ulang menjelaskan bahwa masih terdapat kesulitan dalam proses daur ulang untuk limbah makanan: “Tidak seperti jenis limbah lainnya, limbah makanan sangat mudah membusuk, jadi perlu dicarikan jalan keluar yang tepat untuk mempertahankan kesegaran limbah tersebut. Di lain pihak, semakin sedikit limbah yang dihasilkan di satu daerah, semakin banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar ongkos transport. Lebih jauh lagi, limbah makanan mengandung beraneka campuran, sehingga tidak didapati keseragaman unsur.” Berbicara mengenai Undang-undang Daur Ulang Limbah Makanan, beliau mengatakan, “Karena undang-undang tersebut tidak terlalu mengikat, dianjurkan agar setiap instansi terkait untuk mengusahakan dengan serius atas kesadaran pribadi.”

Sementara undang-undang daur ulang lainnya mengamanatkan inisiasi atas daur ulang & reduksi limbah segera setelah pelaksanaan, Undang-undang Daur Ulang Limbah Makanan memberi waktu kepada bidang usaha selama 5 tahun untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Selain itu, perusahaan-perusahaan diharapkan untuk mengetahui dengan pasti tingkat limbah masing-masing. Target yang ditetapkan untuk jumlah penurunan angka limbah adalah 20%. Angka rata-rata ini merefleksikan kesulitan dalam proses daur ulang limbah makanan yang dimaksud oleh Profesor Ushikubo; hal ini berarti seluruh pebisnis perlu memberikan usaha tambahan untuk bidang yang satu ini. seperti yang telah kita ketahui, sudah ada beberapa contoh yang berhasil.

Profesor Ushikubo mengemukakan pula bahwa pengusahaan daur ulang limbah makanan di masa yang akan datang memerlukan partisipasi mulai dari tahap perencanaan para petani yang menggunakan pupuk dari hasil daur ulang, sampai pengembangan penggunaannya.

“Produk-produk pertanian adalah benda hidup. Keamanan & stabilitas adalah faktor-faktor kunci untuk masalah pupuk. Produsen limbah, prosesor daur ulang beserta industri pertanian, kehutanan & perikanan perlu menciptakan sistem terpadu yang menghasilkan pupuk dalam jumlah yang diperlukan para petani, pada waktu yang tepat dalam bentuk yang aman. Jika hal ini tidak bisa terlaksana, maka keberhasilan proses daur ulang hanya akan tertera di atas kertas saja. Undang-undang Daur Ulang Makanan menyertakan sistem yang mengembangkan keterpautan tersebut. Di Jepang, lahan pertanian sangat terbatas dan angka rata-rata swasembada pangan hanya 40%. Ini berarti sebagian besar bahan mentah untuk makanan didapat dari negara lain. Bahkan bila angka rata-rata daur ulang makanan naik sekalipun, lahan pertanian domestik tidak akan mampu mengakomodasi kenaikan kompos & pupuk. Akan lebih baik bila kemudian kita mempertimbangkan sistem daur ulang yang lain lagi, seperti misalnya mengolah methane menjadi bahan bakar atau bahan mentah untuk keperluan industri lainnya, juga mengaplikasikan metode & pemikiran tersebut di tingkat internasional.

Dibandingkan dengan limbah jenis lain, jumlah limbah makanan yang ada terbilang kecil. Saat kita mempertimbangkan keadaan lahan pertanian dan situasi pangan di Jepang, bagaimanapun, limbah makanan dapat menjadi sumber yang sangat berharga. Mendengar pendapat Profesor Ushikubo, proses daur ulang limbah makanan sangat mungkin membawa keuntungan di masa depan, sebagai satu-satunya jalan keluar bagi masalah pemeliharaan lingkungan hidup.

Disadur dari PACIFIC FRIEND MAGAZINE edisi February 2003
Artikel oleh Kikuo Arai

Terjemahan & aplikasi bahasa Indonesia oleh Suksma Ratri

No comments: