Saturday, October 13, 2012

Mengorbankan Korban Perkosaan

Baru-baru ini kita dikejutkan lagi oleh kejadian pengusiran seorang siswi SMP Yayasan Budi Utomo yang mengaku telah menjadi korban perkosaan. Alih-alih melindunginya dari tekanan lebih besar, pihak sekolah justru mengusir siswi berumur 14 tahun ini. SA, siswi yang menjadi korban, hingga saat ini masih trauma terhadap kejadian tersebut dan belum kembali bersekolah. Mendikbud M. Nuh kemudian mengeluarkan pernyataan yang dimuat di surat kabar, bahwa dirinya belum mengetahui secara detil mengenai kasus SA. Yang lebih mengejutkan lagi adalah pernyataan bahwa SA bisa saja siswi yang "nakal" dan kemudian mengaku diperkosa - "... akan tetapi dalam kondisi tertentu, bisa saja karena kenakalannya maka sekolah mengembalikannya ke orang tuanya. Soalnya ada yang sengaja, kadang-kadang ada yang sama-sama senang, ngakunya diperkosa," - demikian ujar M. Nuh ketika dijumpai di kantornya hari Kamis, 11 Oktober lalu.
 
Pernyataan ini sungguh tidak pantas keluar dari mulut seorang menteri pendidikan yang seharusnya berupaya untuk memenuhi hak pendidikan warga negaranya. Setelah beberapa bulan yang lalu ada upaya melakukan tes keperawanan terhadap siswi sekolah, sekarang perempuan kembali dipojokkan dan dipersalahkan atas perkosaan yang terjadi pada dirinya. Mungkin bagi sebagian orang lebih mudah untuk mengorbankan korban perkosaan daripada mengusut sampai ke akar masalahnya. Banyak pihak yang masih juga belum sadar bahwa tindakan perkosaan bukan semata-mata urusan seks. Perkosaan adalah tindakan pemaksaan kehendak dari satu pihak kepada pihak lain. Dulu seorang pejabat pemerintahan sempat juga nyeplos, "Kalau diperkosa sudah melawan tapi tidak berhasil, ya nikmati saja..." Pernyataan-pernyataan tidak senonoh dan merendahkan perempuan seperti itu seolah sudah menjadi sesuatu yang wajar untuk disampaikan. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya kesadaran akan hak seseorang, dan betapa mudahnya mereka mengorbankan korban perkosaan. Mulai dari mempersalahkan cara bicara, cara berdandan, cara berpakaian, cara bergaul yang semua bermuara ke kesimpulan bahwa semua korban perkosaan menunjukkan indikasi "minta diperkosa".
 
Perempuan berhak berpenampilan seperti apapun yang mereka anggap cantik. Baju seksi, cara bicara atau bagaimana mereka bergaul tidak bisa dijadikan faktor pemicu terjadinya perkosaan, karena sudah banyak korban perkosaan yang berjilbab bahkan tertutup dari atas sampai bawah. Karena sedianya pelaku bukan melihat apa yang ada di depan mata, tetapi apa yang ada di dalam kepalanya. Kita tentu pernah mendengar ekspresi "undressing you in my mind" - ini menunjukkan bahwa apa yang dipakai oleh korban, tidaklah menjadi hal valid yang menentukan bahwa seseorang akan menjadi korban perkosaan.
 
Di luar hal-hal yang dianggap sebagai pemicu terjadinya perkosaan, kita sudah terlalu sering melihat ketidakadilan yang terjadi kepada korban. Bukan pelaku yang segera ditangkap, tapi korban yang diusir atau dikeluarkan dari sekolah. Bukan pelaku yang segera diproses, tapi korban yang digunjingkan dan dipermalukan. Seolah beban psikologis yang ditanggung belum cukup berat, korban perkosaan masih tetap dijadikan bahan gunjingan, biasanya disangkut-pautkan dengan caranya berpakaian, bergaul dan bicara... Lalu timbullah kesimpulan lain, "Pantas saja diperkosa, bajunya seperti itu..." atau "Nggak heran dia diperkosa, ngomongnya kayak gitu..." - sama sekali tidak relevan! Tidak heran jika banyak korban perkosaan lalu enggan melapor, karena perlakuan yang diterima sangat menyudutkan mereka.
 
Tidak ada hal yang bisa dianggap "pantas" dalam kasus perkosaan. Kesimpulan-kesimpulan seperti itu hanya semakin memperkuat bukti bahwa tindakan perkosaan masih dilihat dalam lingkup kulit saja. Semata-mata urusan birahi. Dan untuk urusan birahi, perempuan selalu dipersalahkan. Ini sama saja dengan mengkriminalisasi kecantikan perempuan. Bersalah karena cantik. Bersalah karena seksi. Bersalah karena cara bicaranya sensual. Bersalah karena bergaul dengan luas. Bersalah karena disukai lelaki. Betapa sulitnya menjadi perempuan! Betapa sulitnya menghentikan suatu pemaksaan setelah kami mengatakan "Tidak!" dan "Jangan!"
 
[pagi yang frustrasi - Sabtu, 13 Oktober 2013]

Thursday, May 03, 2012

Tak Pernah Ada Kematian #6


Malam mulai beranjak turun. Aku dan dia masih bersama di rooftop ini. Aku menghembuskan kepul-kepul terakhir dari batang berasapku. Dia? Bergerak kian kemari dalam resah dan kemarahan. Ah... pendatang baru memang selalu penuh kemarahan... Aku memandang lurus ke arah purnama, sementara dia melontarkan caci makinya... Entah kepada siapa. Mungkin kepadaku. Mungkin kepada dirinya sendiri. Mungkin kepada orang yang telah menyebabkannya berada di sini. Entah. Aku tak tahu... Aku tak peduli. Itu bukan urusanku.

"Hey! Kamu!" tiba-tiba laki-laki itu bersuara. Aku menoleh.
"Ya?" jawabku acuh tak acuh.
"Baiklah... Aku percaya padamu sekarang!" katanya lagi.
"Sudah seharusnya..." Jawabku lagi.
"Tapi aku tak suka di sini!" katanya lagi sambil mengepalkan tangannya. Aku tertawa kecil.
"Kamu tidak punya pilihan lain... Terima saja!" Aku mengeluarkan sebatang rokok lagi.
"Aku tidak sudi terjebak dalam keabadian bersamamu! Aku tidak sudi!!!" murkanya menggema di langit. Aku tetap duduk memandang purnama.
"Kamu, laki-laki bodoh yang keras kepala!" akhirnya aku menjawab dalam tawa yang nyinyir dan penuh kepahitan.
"Aaaaahhhhhhhh.....!!!!! Jangan tertawakan aku!!! Aku benci kamu, orang asing!!! Aku akan pergi sendiri!!" jeritnya menggema di sudut malam. Lalu dia berlalu cepat. Aku? Diam saja sambil menyalakan rokokku. Dia tak akan pergi jauh. Tak akan juga pergi lama-lama, karena dia tidak akan bisa sendiri tanpaku.

Kematian hanya ilusi. Mengapa begitu sulit dia mengerti? Sudah jelas dia mengalaminya sendiri, tapi tetap tak mau mengerti. Dia kira siapa dia? Bukan dia yang mengatur semua ini! Marah padaku? Biar saja. Bukan aku pula yang mengatur semuanya. Aku hanya penjaganya. Aku juga tak punya pilihan. Dia kira aku mau menjaganya? Cih! Dia tak pernah tahu bahwa aku menolak mentah-mentah ketika harus menjemput jiwanya yang berantakan dari jasad yang beku. Namun seperti halnya dia, aku tidak punya pilihan. Tak peduli berapa kali aku menghantamkan diri ke dinding langit, perintah itu masuk ke dalam pikiranku dan menyuruhku untuk menunggunya. Jiwa lusuh yang marah, yang bangkit dari jasad yang bersemu merah oleh darah.

Di kejauhan aku masih bisa mendengar sumpah serapahnya. Ah... pendatang baru... Mereka semua sama. Selalu merasa tertipu. Selalu merasa dimanipulasi. Mereka tak sadar bahwa mereka lah yang selalu memanipulasi kematian di kehidupan mereka. Mengumbar cerita tentang terhentinya semua masalah. Tapi sungguh, apa yang mereka tahu sebelum mereka mengalami? Tak ada... Dalam kemarahan mereka selalu pergi meninggalkan penjaga yang menjemput mereka. Laki-laki ini pun begitu. Sayang, dia tak sadar bahwa tanpaku dia hanya akan berjalan dalam lingkaran tanpa akhir. Pergi menjauh, lalu menjauh untuk kemudian muncul lagi di hadapanku.

Tujuh tahun yang lalu aku menjemput jiwa laki-laki yang tersesat itu.Setiap hari dia pergi meninggalkanku dengan sumpah serapahnya... hanya untuk akhirnya kembali padaku di atap gedung ini. Tak ada kematian untuknya. Tak ada pilihan untuknya. Tak ada jalan lain untuknya selain berputar dalam lingkaran dan akhirnya kembali padaku. Sudah tujuh tahun dia melakukannya... dan dia belum juga mengerti... bahwa tak pernah ada kematian... Kematian hanya ilusi. Jiwanya yang lusuh terjebak dalam keabadian bersamaku. Selamanya... dan itu bukanlah pilihan....


--- TAMAT ---

Saturday, April 07, 2012

Tak Pernah Ada Kematian #4

Sambungan dari Tak Pernah Ada Kematian #3 | "Danu Saputra"


Ketika jiwa yang resah itu bangkit dari raga yang hancur dalam kebingungan, aku mengulurkan tanganku. Dia menyambutnya, tapi dengan marah.

"Di mana aku? Mengapa aku masih hidup?" tanyanya gusar.
"Kamu? Ini keabadian... Kamu terjebak bersamaku di sini..." ujarku.
"Selamanya...?" tanyanya lagi.
"Selamanya..." jawabku enteng.
Dia mendengus kesal... "Aku ingin mati!!!" jeritnya.

Aku tertawa kecil, "Mati? Mati katamu??? Hah! Kematian itu hanya ilusi!"
Dia menatapku dengan pandangan nyalang yang membakar jiwaku yang lusuh. "Kamu bohong! Aku harus mencoba lagi. Kali ini dari gedung yang jauh lebih tinggi!" ujarnya sambil menepis genggaman tanganku. 

Aku menarik tangannya, "Dengarkan aku. Lihat ke bawah sana... Apa yang kau lihat?" kataku sambil menunjuk jasad yang hancur dan dikerubuti orang.

Dia melongokkan kepalanya ke bawah, "Mayat. Itu mayat!" jawabnya.
"Ya! Itu mayatmu, bodoh!" seruku dengan kesal. Dia mendongakkan kepalanya lalu memandang berkeliling. Menengok kakinya dan kakiku yang tak menapak. Menghayati eksistensi kami yang melayang di tengah-tengah antara bumi dan langit. "Mayatku???" tanyanya dengan binar aneh di matanya.
"Ya. Mayatmu. Kamu datang dari situ. Jelas?" jawabku, "Tubuhmu sudah hancur tak berbentuk. Kamu sudah tinggal nama. Itu pun jika ada yang ingat padamu." lanjutku sambil menarik tangannya menuju rooftop gedung.

"Jadi... Aku sudah mati? Begitu 'kan? Aku sudah mati!" ujarnya sambil mengguncang bahuku. Aku menepis guncangannya, "Dasar laki-laki bodoh! Sudah aku bilang kematian hanya ilusi...." gumamku sambil menyalakan sebatang rokok.

Dia duduk di sampingku. Bersama kami memandang horizon langit senja yang menjingga bersemu merah. Pekat seperti darahnya yang mengalir keluar dari jasad beku di bawah sana...

"Sekarang apa....?" tanyanya.
"Sekarang?" aku menghembuskan asap rokokku, "Kita terjebak dalam keabadian.... Bersama. Selamanya." jawabku ringan.
Dia? Mendengus keras, "Kamu penipu! Aku benci kamu!"

Aku merengkuh pundaknya dan berbisik di telinganya, "Sekarang kamu tahu... Tak pernah ada kematian... Tidak pernah!"


Monday, April 02, 2012

Tak Pernah Ada Kematian #2

Sambungan dari Tak Pernah Ada Kematian #1 | "Danu Saputra"

Tujuh tahun lalu berulang kali aku melihatnya ingin mencoba untuk sampai kemari. Ke tempat yang tak mungkin terjangkau raga yang penuh. Aku melihatnya mencoba untuk melepaskan jiwanya dari raga yang lelah. Aku menjerit di pelataran langit ketika tubuh itu melayang jatuh dari ketinggian. Jerit yang tak akan pernah didengarnya karena dimensi yang berbeda.

Aku tak kenal laki-laki itu, tapi aku bisa melihat kelelahan mendalam di wajahnya. Entah apa yang membuatnya begitu ingin melepaskan hidup. Cinta? Desperasi? Kebodohan? Aku tak tahu... Yang aku tahu hanya satu, bahwa ia telah tertipu oleh kematian... Ia pikir kematian akan mengakhiri hidupnya, padahal tidak! Dan aku melihat jiwanya menerobos keluar dari raga yang hancur. Seperti aku dulu.... Ia terlihat kesal. Merasa ditipu karena kehidupan lain telah menunggunya. Dan kali ini akan ada keabadian dipenuhi dengan kebosanan.

Tujuh tahun lalu, jiwa laki-laki itu menatap ke arahku dengan pandangan bingung bercampur marah. Aku mengulurkan tanganku padanya, ia menyambutnya... "Nah... sekarang kau terperangkap denganku dalam keabadian.... Tak bisa lari kemana pun..."



.............

Sunday, April 01, 2012

Satu Hari di Akhir Maret


Jakarta siang itu cerah sekali. Sejak pagi tak ada awan mendung yang menggantung. Hari itu, 30 Maret 2012 aku memantapkan hati untuk bergabung dengan teman-temanku di Senayan. Hari itu adalah puncak segala hari. Setelah beberapa hari melakukan aksi protes demi menolak kenaikan harga BBM. Sejak tanggal 27 Maret aksi sudah bergulir dan 30 Maret adalah puncaknya.

Pukul 1 siang aku tiba bersama Ical yang menjemputku di FX. Motor Ical mogok, untung tidak jauh lagi dari Gedung DPR. Setelah sampai di tempat parkir, kami berjalan bergegas seolah takut tertinggal momen bersejarah itu. Ini aksi besar pertama buatku... dan buat Ical juga. Kami tidak boleh terlambat! Tiba di lokasi, kami bertemu Iman & Vero. Lalu bersama-sama kami mencari Dhyta & Bhaga. Berkumpul bersama saling berbagi informasi tentang apa yang sudah berlangsung sejak pagi. Peserta aksi yang didominasi oleh serikat pekerja terlihat menyebar di jalanan depan Gedung DPR. Beberapa kelompok mahasiswa juga terlihat di lokasi. Pagar pembatas antara jalan raya dan jalan tol roboh sebagian. Kabarnya teman-teman dari kelompok buruh menerobos masuk dari jalan tol. Bendera-bendera konfederasi, asosiasi, serikat pekerja, LSM, BEM berkibaran memenuhi pelataran depan gedung DPR.

Vero mengatakan bahwa dia masih memiliki akses ke dalam gedung DPR karena dia pernah bekerja di sana. Namun dia memilih untuk mengontak temannya yang ada di ruang sidang & bertahan bersama kami di luar. Informasi terkini akan didapat dari temannya yang ada di dalam ruang sidang. Rapat Paripurna yang dijadwalkan berlangsung pagi ternyata diundur selama 4 jam dengan alasan sholat Jum'at. Maka kami harus menunggu. Kabarnya rapat akan dimulai pukul 2 siang.
 
Peserta menunggu sambil berorasi, meneriakkan yel-yel dan memasang lagu-lagu Iwan Fals. Sementara itu peserta tambahan terus berdatangan. Semakin sore, semakin banyak. Lalu Vero memberitahu bahwa menurut info dari dalam ruang sidang, voting direncanakan akan dilakukan antara pukul 5 sore hingga 7 malam. Kami harus menunggu lagi. Sepertinya ada unsur kesengajaan membuat peserta lelah. Tapi anggota dewan tidak tahu bahwa semangat kami tidak akan padam hanya karena keharusan menunggu. Maka kami tunggu... Sambil menunggu Dhyta memberitahu kami rute evakuasi yang bisa dilalui jika terjadi kerusuhan. Lari ke arah flyover terus sampai kampus Atma Jaya atau ke arah Slipi dan masuk ke fasilitas umum apapun yang ada.

Menit demi menit berlalu, suasana mulai terlihat agak panas. Beberapa orang terlihat menaiki pagar dan menggoyang-goyang pagar. Mencoba merobohkan. Siapa mereka? Tidak jelas. Teman-teman serikat pekerja semua datang dengan menggunakan seragam. Baik itu seragam serikat pekerja atau seragam kerja mereka. Sementara teman-teman mahasiswa datang dengan mengenakan jaket almamater masing-masing. Apakah orang-orang ini penyusup? Kami tidak tahu. Bisa jadi. Melihat potensi keributan, kami mundur ke arah flyover Senayan sedikit. Irfan dari sayap Slipi mengabariku bahwa di areanya sudah terjadi provokasi. Ada yang melempar batu ke arah pasukan anti huru hara yang berjaga di halaman gedung DPR. Irfan meminta aku dan teman-teman lainnya untuk tetap di sayap Senayan. Dari waktu ke waktu Irfan dan aku saling kontak untuk memberi informasi posisi atau kejadian yang ada di sayap masing-masing.

Tiba-tiba kami mendengar ada bentrokan kecil antara mahasiswa dengan teman-teman serikat pekerja di gerbang utama. Kabarnya, teman-teman mahasiswa ingin merobohkan gerbang utama tapi dicegah oleh teman-teman serikat pekerja. Kurang jelas juga kebenaran berita tersebut, tapi yang pasti teman-teman dari serikat pekerja memutuskan untuk mundur dan memberi tempat kepada mahasiswa. Mereka sendiri mundur sampai ke jembatan penyeberangan dan melakukan koordinasi antar mereka serta orasi di sana, diselingi dengan pemutaran lagu-lagu revolusi. Suasana yang tergambar sungguh tidak menakutkan. Dengan segala bendera, atribut organisasi, musik, orang-orang yang bercanda dan berkenalan satu sama lain di tengah para pedagang makanan dan minuman, aku merasa seperti sedang berada di sebuah pesta rakyat! Tapi aku tahu bahwa ada kemungkinan semua itu akan berubah 180 derajat dalam hitungan detik jika terjadi bentrokan.
Kelompok mahasiswa segera menggantikan tempat teman-teman serikat pekerja di depan gerbang utama gedung DPR. Pagar pinggir sudah roboh, tapi polisi menghadang teman-teman yang ingin merangsek masuk. Niat untuk masuk pun diurungkan, tapi gerbang utama masih terus digoyang... Dicoba untuk dirobohkan. Teman-teman serikat pekerja yang menamakan diri mereka Garda Metal mulai menyusun barisan sendiri. Di halaman gedung DPR, lapis pasukan anti huru-hara mulai ditambah dan posisi mereka semakin dekat dengan pagar yang membatasi. Banyak yang melihat hal tersebut sebagai bentuk intimidasi kepada peserta aksi. Beberapa orang mulai gelisah melihat potensi bentrok yang sangat besar dan memutuskan untuk mundur ke titik aman, halte bis DPR & jembatan penyeberangan. Helikopter polisi dan media tidak henti hilir mudik di atas kami. Setiap kali keduanya melintas, peserta aksi akan berseru sambil mengacungkan kepalan tangan ke arah mereka.

Ketika sedang mengamati apa yang terjadi, tiba-tiba Vero memberi info terbaru tentang situasi di dalam ruang sidang, "Mereka reses sampai jam 8 malam!", aku melihat jam di tanganku, baru pukul 5.30! Lagi-lagi kami harus menunggu. Tampaknya skenario untuk membuat peserta kelelahan memang benar-benar sudah dilaksanakan. Jika kami kelelahan, maka kemungkinannya adalah pertahanan kami lemah dan akan mudah dipukul mundur oleh pasukan anti huru-hara. Mereka tidak tahu apa-apa tentang kami... Tak lama kemudian kami mendengar bahwa gerbang utama sudah berhasil dirobohkan... Tapi tak ada peserta yang memaksa masuk lebih jauh karena beberapa lapis pasukan anti huru-hara sudah menanti bersama mobil water cannon. Korlap yang mengomandoi aksi ketika itu mengajak teman-teman yang lain untuk bersabar.

Lepas maghrib, lewat dari pukul 8 malam, kami tidak lagi punya kesabaran untuk menunggu. Kami pun menghampiri gerbang utama. Tak ada lampu yang menyala selain lampu sorot besar dari dalam halaman gedung DPR. Lampu itu menyoroti kami, tapi kami tak bisa melihat ke dalam. Tidak tahu seberapa banyak pasukan yang menanti di dalam. Sudah bertambahkah? Sudah semakin maju kah posisinya? Tidak bisa terlihat. Mahasiswa sudah mulai membentuk barisan pagar betis. Berhadapan langsung dengan polisi. Peserta aksi lainnya masih banyak tapi belum membentuk barisan. Kami pun masih berunding, mencari kesepakatan. Kesepakatan untuk maju dan skenario evakuasi bersama. 

Akhirnya kami semua sepakat untuk maju. Tuntaskan saja, jangan tanggung-tanggung! Dhyta sempat bertanya padaku, "Yakin?", aku jawab "Yakin!!". Lalu aku menanyakan pertanyaan yang sama kepada Shera, karena ini juga aksi besarnya yang pertama. Shera menjawab, "Yakin!" Maka majulah kami bersama. Bergandeng tangan... Hari itu kali pertama aku bertemu Shera secara langsung. Biasanya kami hanya saling melihat nama masing-masing di Twitter saja.
Ada perasaan aneh yang menyusupi hatiku. Adrenaline rush. Ngeri, tapi tak sudi mundur. Ngeri, tapi nikmat. Sadomasochistic! Begitu pikirku. Mungkin aku sudah jadi "adrenaline junkie", mungkin juga karena akhirnya aku bisa 'menebus dosa'-ku yang tidak melakukan apa-apa di aksi-aksi sebelumnya. Mungkin juga excited karena aku menjadi saksi langsung atas salah satu peristiwa bersejarah di negara ini. Entah lah... Tapi yang jelas aku dan teman-teman sudah meneguhkan hati dan niat untuk maju. "Apapun yang tejadi, jangan lepas tangan ya?" aku berkata kepada Shera. Dia mengangguk. Tak lama kemudian kami diberi aba-aba oleh korlap untuk maju selangkah demi selangkah. Teman-teman lain masih berusaha merobohkan pagar di sisi kanan kami. Kami maju selangkah demi selangkah. Tiba-tiba beberapa orang di sebelah kanan Shera melepaskan pegangan tangannya dan menjauh dari barisan. Begitu pula beberapa orang di belakang kami. Mungkin mereka berubah pikiran. Mungkin mendengar kabar dari intel yang berseliweran di antara peserta. Atau mungkin juga mereka adalah para intel penyusup yang ditugasi untuk memprovokasi. Entah lah... Aku tidak peduli lagi. 

Samar-samar di antara lampu sorot yang menyilaukan aku melihat bayang-bayang pasukan anti huru-hara yang berseragam lengkap. "Harusnya 3 baris paling depan itu perempuan, biar mereka rikuh untuk menyerang..." begitu pikirku. Aba-aba dari korlap di atas mobil komando masih terus meminta kami untuk maju selangkah demi selangkah. Namun tiba-tiba barisan mundur. Rupanya mobil yang dilengkapi dengan water cannon merangsek maju. Sejurus kemudian Timur Pradopo datang dan berdiri di depan barisan. Entah memberikan keterangan kepada rekan-rekan wartawan atau bernegosiasi dengan teman-teman di barisan depan, kami tidak tahu. Kami tidak bisa mendengar apapun. Yang aku tahu, Timur berdiri dikelilingi wartawan. Itu saja.

Lalu tiba-tiba area di sebelah kanan kami riuh. Pagar sudah roboh!!! Korlap segera memberi aba-aba kepada teman-teman yang merobohkan pagar untuk segera membentuk barisan yang sama. Namun instruksi itu terabaikan. Mereka merangsek masuk, polisi merangsek maju. Kami pun maju. Tapi belum jauh kami berjalan, terdengar suara letupan disertai dengan pendar-pendar bunga api dari sebelah kanan kami. Aku terpana. Dalam masa sepersekian detik aku teringat kembang api air mancur yang sering disulut oleh aku dan sepupuku ketika Lebaran dan tahun baru. Lamunan itu tak berumur lama, karena sedetik kemudian aku melihat pendar-pendar cahaya berwarna hijau, merah dan kuning yang keluar bersama bunga api itu meluncur ke arah kami. Bedanya, kembang api Lebaran biasanya kami sulut ke langit & ketika meledak akan keluar bunga api yang indah. Aku menunduk sambil menarik Shera. Pijaran bunga api melesat di atas kepala kami, lalu pecah mengasap ketika menyentuh tanah. "Gas air mata!! Sialan!" Begitu pikirku. Aku dan Shera segera berbalik dan mulai berlari bersama menjauhi gerbang. Tembakan gas air mata terus berdatangan. Sebagian dari bunga apinya jatuh memercik di kepala kami, dan beberapa kali jatuh tepat di depan kami. Aku dan Shera terus berlari bersama dengan mata setengah tertutup dan menutup hidung sambil menahan nafas sebisanya tanpa melepaskan genggaman kami. Tidak seperti kembang api Lebaran atau tahun baru "Kembang api" yang ini ditembakkan ke arah kami (bukan ke atas atau ke arah kaki kami!) & ketika jatuh akan menebar asap pedih yang membuat mata berair serta sesak nafas.

Ketika salah satu gas air mata itu ada yang jatuh tepat di kakiku, aku menutup mataku rapat-rapat, tapi terlambat menahan nafas. Seketika rasa pedih yang menusuk masuk ke hidung dan terasa hingga ke pangkal hidung, sesak... Shera menarik tanganku untuk mengajakku menghindar dari asap. Kami terus berlari sambil bergandengan. "Kalau jatuh, ya jatuh bersama. Lari, ya lari bersama." batinku. Tapi saat itu kaki kami seolah punya mata sendiri. Atau mungkin naluri yang menuntun. Ketika akhirnya tiba di jalan, ada seorang ibu penjual minuman yang mencegat peserta yang berlarian, termasuk kami. Beliau dengan cepat mengoleskan odol di bawah mata kami, lalu berkata, "Cepat! Cepat!", menyuruh kami untuk segera berlari lagi. Beberapa meter kemudian kami agak melambatkan lari kami. Shera batuk-batuk. Kami berdua terengah-engah di tengah asap. Aku tanya apakah dia mau minum, tapi dia menggeleng. Dan kami terus berlari ke arah flyover Senayan. Di depan kami ratusan anggota Garda Metal sudah membentuk pagar betis. Tujuannya adalah jika pasukan anti huru-hara datang mengejar, mereka yang akan menghadang sebisa mungkin sampai kami berada di tempat yang netral dan aman. Namun barisan mereka yang begitu rapat dan manutup seluruh badan jalan membuat kami tak bisa leluasa lewat. Sampai akhirnya korlap mereka berteriak, "WUOOIII! GARDA METAL!!! KASIH JALAN...!!!" Mungkin mereka juga mengalami adrenaline rush sehingga terpaku. Tapi tidak apa, kami tahu niat mereka baik. Setelah berhasil melewati pasukan Garda Metal, aku dan Shera berlari lagi.

Tak lama kemudian telepon genggamku mulai berdering. Pertama Ayah. Kedua Iman. Ketiga Irfan. Dan keempat kalinya Ical. Semua menanyakan ke arah mana kami pergi dan dimana akan bertemu. Meeting point kami adalah di bawah flyover Senayan, di mana ambulance parkir. Kami rasa itu adalah area yang paling aman. Tidak jauh di depan kami, aku melihat Iman dan Bhaga, di sebelah mereka ada Bunda dan Donie. Lalu kami kejar mereka. Kami berjalan bersama menuju meeting point kami. Flyover Senayan sudah di depan mata, tapi terasa sangat jauh...

Setibanya di bawah flyover, kami duduk di pinggir jalan sambil mengatur nafas. Bhaga memutuskan untuk mengawasi massa, berjaga-jaga untuk memanggil teman-teman yang lain. Tidak lama kemudian Ayah, Dhyta dan Ical mulai berdatangan. Kami berbagi minuman dan mengatur strategi lanjutan. Kami melihat ada 1 orang yang digotong & 1 orang dibawa dengan menggunakan motor menuju ambulance, dan salah satu petugas medis terkena gas air mata cukup parah. Belum ada 15 menit kami duduk, tiba-tiba Dhyta berseru, "Berdiri! Berdiri!!!' Kami semua melompat berdiri, memandang ke arah jalan depan gedung DPR. Seketika kami melihat sekumpulan orang berlari ke arah kami sambil berteriak, "Munduuuuurrr...!!!!" Tanpa pikir panjang lagi kami mulai berlari. "Shera!!!" aku berseru sambil mengulurkan tanganku pada Shera, dia segera menggengam. Kami semua berlari ke tepi trotoar yang gelap dan terlindung pepohonan. Kami berhenti disana. Aku menghitung teman-teman yang ada. Dhyta datang belakangan. Ical tidak ada....

Di bawah lindungan pepohonan kami melihat dan mendengar. Teriakan-teriakan. Langkah-langkah orang yang berlarian. Molotov. Suara tembakan. Sirene. Kami tidak tahu separah apa rusuh yang kedua itu. Tapi dugaan kami pasukan anti huru-hara sudah bergerak keluar untuk mengejar kami dan mungkin bentrok dengan Garda Metal yang memang pasang badan. Yang kami tahu, lagi-lagi tembakan gas air mata bahkan molotov diarahkan kepada kami. Suasana sudah tidak kondusif lagi, maka kami memutuskan untuk menjauh dari titik konflik. Kami sepakat, Sevel STC adalah meeting point kami berikutnya. Aku tidak ikut dan memilih untuk pulang karena beberapa sahabatku khawatir, mereka ingin bertemu malam itu juga. Mereka melihat liputan berita kerusuhan itu di TV dan tidak bisa tenang sebelum melihatku datang dalam keadaan selamat.

Dalam perjalanan pulang aku teringat pada ibu pedagang minuman yang mengoleskan odol di bawah mata kami. Ketika pedagang lain sibuk menyelamatkan diri & barang dagangan mereka, si ibu ini bertahan di tempatnya dan bahkan membantu kami dengan caranya sendiri. Dia tidak egois. Dia berdiri di sana, menunggu dan mamanggil siapapun yang terlihat olehnya tidak "terlindungi". Dia berdiri di tengah kepul asap gas air mata yang cukup pekat di sekitarnya. Dia sudah berkontribusi mendukung perjuangan kami dengan penuh keberanian.... Itulah sebenar-benarnya esensi dari sebuah perjuangan: keteguhan, ketulusan dan keberanian!

Malam itu aku belajar banyak tentang keteguhan hati, perjuangan, ketulusan, keberanian, kepedulian, persahabatan dan kebersamaan.... 


[malam itu aku kemudian hanya memantau situasi lewat twitter dan TV. Aku mendapati bahwa kerusuhan masih terus berlanjut hingga hampir tengah malam. Water cannon akhirnya dikeluarkan untuk menyapu bersih peserta aksi yang tersisa dan polisi melakukan penyisiran ke daerah Slipi & Bendungan Hilir untuk mencari demonstran yang lari ke arah sana... Tapi semua temanku selamat dan tidak ada yang diciduk]

[hasil voting yang diumumkan pada sekira pukul 1 malam memang akhirnya memutuskan bahwa harga BBM tidak akan naik pada 1 April. Namun ini berlaku dengan syarat & kondisi tertentu. Ada kemungkinan peninjauan ulang setelah 6 bulan. Tidak apa-apa... Setidaknya perjuangan ini sudah berhasil untuk jangka pendek....]



Jakarta, 01 April 2012

Terima kasih untuk Dhyta, Ical, Iman, Vero, Ayah, Bunda, Donie, Shera, Irfan, Christian, Bhaga untuk persahabatan, perjuangan dan kebersamaannya ~ NO ONE IS LEFT BEHIND...
Dan untuk semua yang sudah mendukung dari jauh... 
Untuk yang sudah nyinyir pada gerakan ini... #AHsudahlah.... *nggak penting juga mikirin apa kata #KelasMenengahNgehe*

Dear Year 1998, aku sudah menebus kecuekanku padamu... 
Sekarang kita impas...!


Thursday, February 16, 2012

Gerakan #IndonesiaTanpaFPI ~ Indonesia Without FPI Movement

Our tagline - Indonesia Without FPI
Valentine's Day this year was marked differently in Jakarta, Indonesia. More than 100 demonstrators gathered in Bundaran HI (Hotel Indonesia Roundabout), the iconic spot used for various demonstrations in the country. Participants are individuals coming from different backgrounds. There were artists, musicians, advocates, film directors, book authors, writers, marginalized group members (LGBT, PLHIV, drug users, drug addict), lawyers, migrant workers, punk community members, corporate workers, fashion designer, housewives, students, actors, actress, radio DJ, journalists and activists. All came with one concern: TO FIGHT AGAINST VIOLENCE. This movement was called "Gerakan #IndonesiaTanpaFPI" or Indonesia Without FPI Movement. FPI is a civil society organization, stands for Front of Islamic Defender. The organization was formed in 1998 and is widely-known to have violent behaviour. A long track record of vandalism, raids, battery, human rights violations, trespassing, defamation and forcing opinion to others is following the growth of this group. Several areas in Indonesia had stood up and reject the existence of this group such as Aceh, North Sumatra, North Sulawesi, East Borneo, West Borneo, Papua and the most recent one was in Central Borneo. To keep the momentum going, citizens of Jakarta held the action soon after the riot in Central Borneo.

The mobilization was done through Twitter (with the same hashtag) for a couple of day before around 40 people gathered on Sunday, 12 February 2012 to follow up the discussion. The meeting was somehow compromised and we could see many police officers in civilian clothes were lingering outside the meeting venue. I even saw some of them sat in the very same cafe with us, only a couple tables away, pretending to be regular customers of the cafe. It was on that Sunday the decision to hold the rally was made. Since FPI is against the celebration of Valentine's Day, the activists felt that it would be the perfect time to hold the rally. We prepared pink stuffed-pig as a Valentine gift for Rizieq, the chief of FPI whom usually called Habib Rizieq. We all refused to use the title "Habib" because in Arabic it means "The Loving One" and we failed to see love and compassion in him. Through a very short period of time for mobilization, the movement managed to spread the message and get the attention from the citizens, media, MPs, Nahdhatul Ulama, Minister of Home Affairs and even the President. We saw on TV that the President gave a specific security briefing for anticipation of chaos.

We reject violence, not Islam!
I was the first to arrive at the venue on February 14th. I used the time to report the situation. There were another Islamic group having a rally at the roundabout. They were protesting against the celebration of Valentine's Day, but not from FPI. The group was Hizbuth Thahir Indonesia or HTI (God, forgive me if I misspelled the abbreviation!), which is like a "sister" to FPI. It was a small group. I heard they held the rally since morning but had to stop when the rain was pouring heavily. Lucky for us, ours was decided to be executed at 4 PM and the weather was totally friendly. I was meant to standby at the meeting point and organize the participants, check any personal banners to make sure there is no hatred posters.
Hartoyo from Our Voice, partiipant from LGBT community
The participants of Gerakan #IndonesiaTanpaFPI started to come at around 3.30 PM. We quickly coordinate and organize ourselves. Our 2 field coordinators gave the initial statement to the media before we start walking towards the big roundabout. I heard there were 250 police officers were assigned to secure this rally. However, after 15 minutes at the roundabout the Chief Police told the field coordinators to calmly dismiss the rally because they got the information that the FPI is moving toward the roundabout; and the police cannot guarantee the safety of the demonstrators (WTF???). Since we had several back up scenarios, we tried to figure out the best one. The field coordinators also wouldn't risk physical contacts since many of the participants were women and young people. So, the police forced us to go back to the roadside by Plaza Indonesia. But suddenly my friends and I got messages that FPI is NOT coming. The info was a phony. We spread the message discreetly and insisted to have the orations in front of Plaza Indonesia. We suspected that the police didn't want to be held responsible for any chaos. But rumour says, it is because initially FPI was formed by the police with political agenda and recruited as the attack dog of the police force in Indonesia.
One of the provocateurs. He shouts "Valentine haram...!!" before start punching Bagha (wearing hat, holding banner on the left side)
So, we continued our rally on the roadside until at some point, Bagha, our field coordinator was suddenly beaten by a guy (picture above, wearing green cap and checkers shirt) who shouted "Valentine haram....!!!!" and then out of the blue the guy started to attack Bagha. A physical contact broke and people were struggling between saving Bagha, taking the attacker and getting away from the journalists who didn't make room for them to move away. The police finally managed to get Bagha away from the guy and took him to the nearest post to get him secured, while the attacker and 2 others were put in a barred-car. 
The moment when the assault happened
Knowing Bagha was safe and sound in the police station, we continued the rally. Hanung Bramantyo, a film director who also had a bad experience with FPI concerning the banning of his film "?" (a really good film about pluralism - protested & banned by FPI for stupid reason: because the Moslem character in that film died defending Christians in the church that was bombed on Christmas Eve - Seriously, WTF????) participated in the speech after Alissa Wahid (daughter of Gus Dur). Lisa's father was once banned by FPI from attending a cross-ethnic & pluralism dialogue and was called "Kyai anjing" (Imam of dogs) to his face by the members of FPI. Among us, we could see Jajang C Noer (senior actress), Nia Dinata (film director), Ayu Utami (book author), Arie Dagienk (famous Radio DJ), Durga (famous tattoo artist) participated in the rally devotedly. 
Lynda, from Aksi Perempuan, is one of the initiators for the movement
After a couple of hours, we started to realized that the crowd was getting a lot bigger and it was very fluid. You can't really tell which one is which anymore. It was a mixture of participants, audience and by-passers. So we decided to dismiss the rally as it was already getting dark as well. Galeshka and I started to walk around to tell people we know to slowly dismiss themselves because we wouldn't want to risk anymore chaos and then have to take responsibilities for things we didn't do. As Galeshka and I parted ways to inform others, he was talking to a journalist, giving a statement when suddenly a guy punched him. The crowd quickly went after him but he was too quick. Even a dozen of policemen couldn't get him. That was the point where we really.... really thought we should dismiss ourselves that instance!
FPI is not the face of Islam...
Bagha and his attackers were taken to the Central Police station to be processed as an assault case. Our friends from the law firm accompanied them to ensure legal protection for Bagha as we have already heard rumours about the twisting of our initial concern. Since the beginning we always said that we are holding up the issues of violence & human rights, but FPI fanboys and fangirls twisted it as if we are against Islam. We kept clarifying through Twitter and media that we are not against Islam, we are against violence. And that if FPI is a CSO based on other issues (non-Islam) and they were violent, we would still be having the rally. The Islam element was just an unfortunate coincidence that sadly was easily twisted by narrow-minded people. In our understanding, Islam and any other religions never suggest violence instead of peace, so it sickened us that FPI done so many vandalism all these years, and yet the government nor the police ever done anything about it.
An elderly man was captured among those who were suspected as provocateurs
As the night falls, we hang out for coffee while some other went to the Central Police station to be processed as witnesses. Everyone kept updating the situation at the Central Police station. We found shocking facts posted by our friends from the law firm. He said that 3 provocateurs were arrested. One adult, one slightly young man and one elder. The young man at the beginning told our friends that the police arrested him by mistake because he was just waiting for his friend at the venue, and that he lived behind the mall. And as the conversation going with our friends, the adult guy called his lawyer. When he was on the phone with the lawyer, suddenly he shouted a name, and this young man raised his hand at once. So, he was part of the provocateur! And then, there was this elderly man, whom everyone felt pity on. He was on his own, sitting in the corner and had no companion. The next thing they know was when the lawyer finally arrived, he introduced himself as the lawyer sent from Petamburan. And the silence fell.... because Petamburan is the base of FPI. Not just that, he actually personally know all three of the arrested men! Oh man.....!!!!!

The investigation went until 3 AM. Bagha was released after got visum et repertum at the hospital while those 3 men were kept in custody of the Central Police. The result of the investigation was that all three of them admitted they were FPI members and that there were 50 of them; mingling with the participants but only 5 who were actively "working". So, two others were still out there. We assumed that Galeshka's attacker was one of them.

The battle is still on. This rally was only the beginning. We are going to strategically plan our next move soon.... SAVE INDONESIA, INDONESIA WITHOUT VIOLENCE is INDONESIA WITHOUT FPI...!!!

"Dismiss FPI"


 
"The next day, we still monitor the spin off in Twitter regarding false accusations toward our movement. Each and everyone of the leading participants got bullied severely in Twitter and Facebook by fanboys and fangirls of FPI (including myself!). They call us followers of JIL (Jaringan Islam Liberal - Liberal Islamic Network) and disregard our clarification. They continue to spread hoax news, hatred speech and insults on our movement. They refused to acknowledged wide supports given by the society for us and continue to call us 'kafir', 'hypocrites' and Godless group. The Minister of Home Affairs had issued a strong suggestion to the President on deactivation of the group due to public demand. Ministry of Religion had sent a warning letter (and this is actually the 2nd letter for them!) and House of Parliament is now in the process of redrafting the Regulations on Civil Society Formation that will include more comprehensive criteria and sanctions for any violations and simplifications on dismissal of the group. It is still a long way, but we have made a great impact in such short period of preparation, and we will continue this battle until Indonesia is free from violence.... And for that goal, we'll start with this particular group..."

[I am one of the initiator for this movement. And I am proud of myself for being involved in such historical event that hopefully will change the future of this country...]