Thursday, April 27, 2006

aku merasakan ada sesuatu yang mati perlahan-lahan di dalam diriku.
jiwaku.
jiwaku sudah mengering.
surut karena kehilangan hujan, sebab tak lagi ada yang mau peduli.
taman di dalam jiwaku kini tandus dan meranggas, karena tak ada lagi hujan yang menyiraminya.
maka biarlah semua menghilang pelan-pelan.
mungkin suatu saat nanti, tak ada lagi yang menyadari ketidakhadiranku.
mungkin suatu hari nanti, aku hanya tinggal sepotong ilusi kelabu dalam benak sebagian orang.

kembali

kembali sendiri menjalani hari. huh, sungguh aku maki sepi ini. aku benci! setiap hari akan dipenuhi dengan kesendirian di coffee shop favorit, mencoba bertahan dengan menjalani rutinitas seperti biasanya. berharap semuanya segera berakhir dengan manis. berharap matahari terbit kembali di langitku yang kelabu. berharap mendung segera pergi.

Thursday, April 20, 2006

tumpahan isi kepala.... nggak lebih!

gue nggak tau mau nulis apaan. tapi sumpah! gue merasa harus nulis sesuatu...! yang gue rasain sekarang ini jelas nggak karuan! migren yang berhari-hari nggak juga hilang [kata dokter, gue depresi... hahahaha! hell, NO!!!], capek lahir-batin gara-gara tiap hari harus banting tulang muter otak biar bisa tetep hidup, kecewa karena semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing dan nggak ada yang bisa nemenin gue [padahal gue selalu mencoba untuk be there for everyone!], ketidakjelasan dalam keseharian, berkutat dengan pernyataan-pernyataan dan tuduhan-tuduhan yang penuh kecemburuan [man... do you really have to do it, honey...?]. dan masih banyak lagi alasan-alasan lainnya yang balapan untuk dikeluarin dari dalam kepala gue.
belakangan ini gue jadi sangat nggak produktif. nggak pernah menghasilkan tulisan yang bagus, nggak berhasil menyelesaikan bagian tambahan untuk skenario gue, nggak berhasil ngeberesin cerita-cerita gue [alhasil, cerita-cerita gue cuma jadi sepotong-sepotong, persis korban mutilasi yang dibuang di kebun singkong kampung sebelah!]. dan masih banyak juga ketidakberhasilan gue yang lainnya.
yang jelas, gue sekarang ngerasa kesepian.... dulu, gue bisa menikmati kesendirian dan meresapi kesepian. aneh, sekarang gue nggak bisa seperti itu lagi. bawaannya mellow melulu. mehe-mehe sambil dengerin lagunya Samsons, Iwan Fals, Ungu, Peter Pan, Peppi Kamadhatu, The Corrs dan Bon Jovi. dandanan semrawut, bikin mata sahabat gue melotot saking nggak pernah nya liat gue seperti ini.
jadi... kalo gue boleh tanya...
"semua ini salah siapa dong....?"

just a song

Apakah kau percaya aku sepenuhnya
saat aku jauh darimu
Sudikah kau hapus air mata tertumpah
Saat aku terkulai lemah
Mungkinkah ku dengar jawabmu
Dari hati yang terdalam, yakinkanku
Jangan buat ku meragu
Cintamu bisa membunuhku
Bila tiada percaya dalam hatimu
Cintamu bisa tegarkanku
Bila kau percayakan hatimu padaku selamanya

Sanggupkah kau redamkan api cemburumu
Saat aku tak bersamamu
Mungkinkah ku dengar jawabmu
Dari hati yang terdalam, yakinkanku
Jangan buat ku meragu
Cintamu bisa membunuhku
Bila tiada percaya dalam hatimu
Cintamu bisa tegarkanku
Bila kau percayakan hatimu padaku selamanya

Rumah di bawah pohon Banyan

Miwa Natori mengelola Ban Rom Sai, sebuah rumah di daerah utara Thailand, yang diperuntukkan bagi anak-anak yatim piatu yang terinfeksi HIV. Anak-anak yang tinggal di sana mendapatkan perawatan kesehatan dan bisa bersekolah.

Di sebuah pagi di musim hujan, di mana sisa gerimis masih terasa dan sinar matahari yang jatuh samar-samar terlihat di atas daun-daun yang hijau, ada suara riang anak-anak, dan Miwa Natori berdiri di pintu gerbang untuk menyambut kepulangan anak-anak itu. 24 orang anak yang turun dari bis sekolah memberi salam sesuai adat Thailand kepada Miwa, dan dengan penuh hormat memanggilnya Mei [Ibu] Miwa. Semburat cahaya yang terlihat di langit senja jatuh di wajah Miwa dan memperlihatkan senyumnya yang lembut saat ia memperhatikan anak-anak tersebut masuk ke rumah.

Ban Rom Sai [yang diterjemahkan menjadi “Rumah di bawah pohon Banyan”] adalah rumah anak-anak tersebut. Terletak di Namprae, sebuah pedesaan yang bersuasana tenang di tengah-tengah sawah di luar Chiang Mai, kota terbesar kedua di Thailand. Tempat itu merupakan rumah bagi 28 orang anak berusia antara 2 hingga 13 tahun yang dirawat oleh Miwa dan pegawainya yang merupakan relawan. Seluruh anak penghuni rumah tersebut terinfeksi HIV.
Populasi penduduk di Thailand kurang lebih 63.000.000 jiwa, dan menurut sumber resmi dari pemerintahan, lebih dari satu juta orang terinfeksi HIV/AIDS. Perkiraan tidak resmi malah memperhitungkan angka yang lebih tinggi lagi. Pada tahun 2003 jumlah total anak usia di bawah 14 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV adalah 450.000 jiwa dan diperkirakan sepertiga dari anak-anak tersebut juga terinfeksi HIV. Anak-anak yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV biasanya lahir di dalam lingkungan keluarga miskin dan menjadi yatim piatu di usia 2 tahun. Kebanyakan karena HIV yang diderita berkembang menjadi AIDS dan meninggal tanpa mendapatkan perawatan yang layak. Rata-rata anak-anak tersebut di vonis hanya akan hidup sampai dengan usia 5 tahun, dan semenjak Ban Rom Sai dibuka, 10 anak yatim piatu telah meninggal akibat AIDS yang berkembang dari HIV bawaan.

Miwa tidak membiarkan kemungkinan harapan hidup anak-anak yang tipis mengganggu kehidupan sehari-harinya. “Anak-anak dan saya menjalani hari demi hari tanpa rasa waswas akibat memikirkan kematian,” ujarnya. “Walaupun anak-anak ini terinfeksi virus HIV, jika kita bisa mencegah perkembangan virus tersebut menjadi AIDS, tidak ada alasan untuk tidak menjalani hidup sehat layaknya anak-anak lainnya.” Diskriminasi dan kemiskinan menghalangi anak-anak yang terinfeksi HIV tersebut dari mendapatkan pendidikan formal, bahkan saat mereka telah mencapai usia sekolah sekalipun. Namun atas usaha dan dorongan para staff pendidikan setempat, 24 anak dari Ban Rom Sai dapat mengenyam bangku pendidikan mulai dari tingkat TK hingga SD di dekat Chiang Mai setiap hari. Terdapat pula beberapa relawan Jepang yang membantu dengan cara memberikan pelajaran melukis, keramik, renang dan pelajaran-pelajaran lain yang mendukung kemampuan anak-anak tersebut.

Miwa menjelaskan, “Salah satu dari sekian banyak hal bisa saya lakukan adalah dengan mencoba untuk mengembangkan pemikiran anak-anak ini dengan mendorong mereka untuk mencoba berbagai macam kegiatan yang berbeda. Harapan saya adalah bahwa anak-anak tersbut akan menemukan kegiatan yang menarik minta mereka dan dapat memperkaya hari-hari mereka.” Ketika Miwa mendapati seorang anak mengamati dengan seksama seekor siput yang merayap, atau mendengarkan suara air hujan yang turun dengan penuh minat, atau menunggu dengan tidak sabar munculnya tunas dari biji semangka yang baru ditanam, Miwa tergerak untuk merenungkan apa sebenarnya yang menimbulkan kebahagiaan di dunia ini. “Jika anak-anak menemukan apa yang menarik minat mereka, apapun itu, dan menggunakannya untuk memperkaya kehidupan mereka, saya yakin bahwa hal tersebut akan menumbuhkan rasa percaya diri mereka,” ujarnya. “Suatu hari anak-anak dari Ban Rom Sai akan keluar dan memasuki dunia yang sesungguhnya, dan akan melawan semua jenis prasangka negatif serta diskriminasi. Itu lah mengapa saya merasa bahwa membangun rasa percaya diri dan memberikan dorongan adalah hal yang sangat penting. Saya tidak ingin mereka melewati kehidupan dengan berpikir bahwa bertahan hidup adalah satu-satunya hal penting yang harus dilakukan setiap saat.”

Miwa terlibat dalam pengelolaan Ban Rom Sai secara tidak sengaja. “Saya tidak punya pengalaman khusus dalam hal yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial. Saya hanya membiarkan hidup saya mengalir tanpa tujuan yang pasti, menjelajah dari satu situasi ke situasi yang lain,” akunya. Putri tertua dari pionir jurnalis foto Yonosuke Natori ini menempuh pendidikan di Jerman sejak umur 16 tahun. Setelah menikah dan bercerai dua kali, ia membesarkan putrinya seorang diri. Ia menghabiskan waktu di Eropa dan Jepang, mengerjakan berbagai macam pekerjaan; beberapa pekerjaan yang pernah dilakukannya antara lain adalah sebagai interpreter, fotgrafer dan koordinator fotografi. Selama periode perbaikan ekonomi tahun 1980-an, ia membuka toko yang menjual barang antik a la barat di Tokyo. Ternyata sebuah kesempatan, yang telah mengubah seluruh hidupnya, datang saat ia terlibat dalam bisnis desain tekstil di tahun 1997. Ketika sedang mencari bahan yang cocok di Chiang Mai, ia mendatangi seorang kawan lama, seorang dokter berkebangsaan Jerman, yang mengenalkannya kepada beberapa orang ibu muda yang sedang berada di stadium final penyakit AIDS. Miwa sangat shock. “Ibu-ibu ini hidup dalam kemiskinan dan sekarat karena menderita AIDS; mereka selain mengkhawatirkan kesehatan mereka sendiri juga sangat mengkhawatirkan nasib anak-anak mereka. Sebagai seorang ibu, saya sendiri mencoba untuk membayangkan bagaimana perasaan mereka. Pada saat itu, saya mengambil keputusan untuk membantu mereka dengan segenap tenaga yang saya miliki.” Ungkapnya.

Pada tahun berikutnya Miwa pindah ke Chiang Mai. Ia mulai memberikan bantuan dengan mendirikan kelompok perempuan yang terinfeksi HIV untuk menjahit hiasan yang bisa digunakan untuk menghias interior rumah. Pada tahun 1999 ia mengatur perolehan donasi untuk membantu pekerjaannya dari Giorgio Armani Japan Co., Ltd dan ia membuat rencana untuk membuat fasilitas bagi anak-anak yatim piatu yang terinfeksi HIV. Setelah mendapati tempat yang cocok dan membuat seluruh persiapan untuk mulai membangun fasilitas tersebut, ia ditunjuk sebagai direktur untuk mengelola tempat tersebut. Sampai ia membuka panti tersebut, Miwa tidak memiliki ketertarikan khusus terhadap kesejahteraan sosial, dan ia tidak punya pengetahuan khusus mengenai HIV. Tiba-tiba ia dihadapkan pada permasalahan perawatan anak-anak yang hidupnya bergantung padanya, setelah membuka Ban Rom Sai ia berjuang setiap hari melewati berbagai masalah. Bahkan saat ini pun ia masih dihadapkan pada tugas-tugas seperti mengurus kesehatan anak-anak, memilih perawatan kesehatan yang benar, memilih sekolah, dan fakta bahwa anak-anak tersebut bertambah besar setiap hari; hal-hal yang tidak berangsur menjadi mudah dari hari ke hari. Biasanya anak-anak dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah memerlukan perhatian dan perawatan dua kali lebih intensif dari anak-anak yang sehat; setiap hari adalah perjuangan untuk memastikan anak-anak di rumah tersebut mendapat diet yang seimbang dan kamar-kamarnya dalam keadaan bersih, bahkan semburan bersin dari seorang staff pun dapat menyebabkan kepanikan. Sebagian besar dari anak-anak tersebut telah memasuki masa puber dengan segala macam problema remaja, dan banyak yang memerlukan pengobatan khusus yang dapat menimbulkan efek samping; masalah yang ada di dalam rumah tersebut sungguh tak berujung, dan setiap masalah harus dihadapi dan diselesaikan.

“Rasa khawatir di sini tidak ada habisnya,” ujar Miwa. “Setiap masalah dapat menimbulkan efek langsung yang berbeda-beda pada kehidupan anak-anak. Sejujurnya, saya kadang berpikir, bagaimana jika saya kalah sebelum berperang...” Namun walaupun demikian, ia tahu betul bahwa ia tidak bisa terus menerus tenggelam dalam pemikiran negatif; ia harus menghadapi setiap masalah kapan pun masalah itu datang.

Saat ini, Ban Rom Sai sangat tergantung pada donatur yang terdiri atas perusahaan, kelompok dan perorangan, namun Miwa memiliki tujuan untuk mengurangi ketergantungannya terhadap para donatur dan menambah pemasukan di masa depan dengan membuat usaha yang menghasilkan uang. Ban Rom Sai telah mempekerjakan beberapa staff spesialis dan mulai membuat proyek untuk mensuplai barang-barang kerajinan celup serta tekstil ke pasar Jepang.
Miwa tidak memandang Ban Rom Sai hanya sebagai sebuah fasilitas atau institusi. “Suatu hari, anak-anak akan meninggalkan tempat ini untuk menjalani hidup mereka sendiri. Tapi saya ingin mereka berpikir bahwa di tempat ini mereka akan selalu diterima dengan hangat dan terbuka. Mereka akan selalu bisa kembali ke sini tanpa rasa rikuh sama sekali. Saya ingin mereka merasa bahwa mereka adalah bagian dari keluarga besar ini. Saya sama sekali tidak ingin membuat Ban Rom Sai jenis institusi yang membuat anak-anak membela dirinya sendiri setelah menginjak usia 18 tahun. Saya ingin bisa memberi sejenis pelatihan kepada anak-anak atau ketrampilan yang akan membantu mereka dalam mencari pekerjaan, atau malah menciptakan lapangan kerja bagi mereka sendiri. Mereka akan mendapatkan banyak saran dan masukan dan dapat memberikan bantuan untuk anak-anak yatim yang terkena AIDS, yang datang ke sini di masa yang akan datang; tentu akan sangat menyenangkan jika mereka dapat hidup bersama di sini dan saling membantu satu sama lain dalam kehidupan mereka.”

“Jalan di depan penuh dengan tantangan dan halangan bagi anak-anak yang hidup dari hari ke hari dengan HIV. Di sela-sela keseharian yang sulit itu, saya berharap mereka akan duduk satu atau dua menit di bawah bayang-bayang pohon Banyan yang teduh dan mengingat bahwa mereka tidak sendirian.”

Keinginan tersebut merupakan keinginan Mei Miwa yang abadi, yang tetap ada selama ia menunggu dan menyambut anak-anak pulang sekolah setiap sore di Ban Rom Sai, rumah di bawah pohon Banyan.

Artikel Yukichika Murayama – majalah Asia – Pacific Perspective

Thursday, April 13, 2006


this is me...
a true solitaire, merely a loner, a wild flower under the sun, drifted by the wind far and away to another world of darkness

this is me...
a narcist... a warrior... a survivor...
i travel through the time tunnel, trying to ease my vengeance because revenge is my middle name

i don't know you...
and you don't know me either!
so don't you dare playing smart like you know me,
for i hate all morrons who think they are the smartest

Wednesday, April 12, 2006

And I give up forever to touch you
Cause I know that you feel me somehow
You’re the closest to heaven that I’ve ever been
And I don’t want to go home right now…

And all I can taste is these moments
And all I can breathe is your life
When sooner or later it’s over
I just don’t want to miss you tonight…

And I don’t want the world to see me
Cause I don’t think that they’d understand
When everything’s made to be broken
I just want you to know who I am…

And you can’t fight the tears that ain’t coming
All the moment of truth in your lies
When everything feels like the movie
You bleed just to know you’re alive…


[Iris by Goo Goo Dolls]

G A L A U

jangan kotori ladang kehidupanku dengan kemunafikanmu!
jangan pula nodai lembar-lembar hatiku dengan kejujuran palsu yang hanya mampu kau muntahkan di depan mukaku!
aku tak pernah meminta kau untuk datang dan mengisi hari-hariku...
kau sendiri yang mengulurkan tanganmu padaku dengan sejuta janji...
lalu sekarang...
aku harus menyerahkan jiwaku yang compang-camping pada angin yang bergegas meninggalkan padang ilalang ini...
membiarkan langit bertanggung jawab atas semua rasa yang telah telanjur tercurah jatuh menghujan...

Tuesday, April 11, 2006

places

  • embargo coffee bar ciwalk
  • embargo coffee bar BSM
  • roger's
  • excelso cafe IP
  • excelso cafe BSM
  • excelso cafe Setiabudhi
  • kafe oh lala Dago
  • kafe oh lala BSM
  • kafe halaman
  • selasar seni sunaryo
  • kopi selasar
  • medso jazz house
  • sierra resto
  • the peak
  • tizi's
  • the valley
  • ampera
  • sapu lidi
  • hadori
  • balcony
  • fame station
  • score!
  • glosis
  • sushi tei
  • momiji
  • dakken kafe
  • ABC
  • stone cafe
  • the view
  • warung lela
  • atmosphere
  • BMK ciwalk
  • sai san
  • torigen
  • pak rizal
  • 999
  • rose
  • batagor riri
  • blend
  • mac donald's
  • toko you
  • potluck
  • kapau jaya
  • pizza hut
  • salsa quarter
  • QB World's

sahabat


tak ada yang lebih berharga daripada sejumput persahabatan sejati yang menghiasi dunia kita. tak pernah aku bisa menggantikan sahabatku dengan siapapun, karena mereka lah manusia-manusia paling istimewa dalam hatiku, setelah bidadariku dan matahariku.
ke mana jiwa ini berpaling saat dunia menyisihkanku?
kepada mereka lah aku merentangkan jemari untuk digenggam. dan mereka lah yang memberikan penghiburan abadi saat jiwa ini dilanda resah tak berujung. hanya dengan ketulusan hati mereka, aku bisa bertahan hidup di tengah kelabunya duniaku. hanya dengan canda tawa dari mereka, aku bisa melewati hari-hari sendiriku yang penuh rasa sepi.
terima kasih karena kalian telah mau menemaniku menjalani hari-hari yang sepi...
terima kasih karena kalian telah bersabar terhadapku yang emosional...
terima kasih karena kalian telah sudi mendengar segala keluh kesahku...
terima kasih karena telah sudi menjadi sahabat terbaikku...
...tanpa pernah menghakimiku...
untuk dian, mahen, eddoy, eko, irra, bima, chorie, donna, wiwin, adhie, adi, adie, firman, utet, shanty, milly, mas boedi, ijoel, kumoro
there's nothing I treasure more in this world than your friendship....

dari tepian hati nan sunyi

sayangku, saat raga terpaut jauh, ilusi dan emosi lebih sering mendominasi kita. saat mata tak saling melihat, pikiran lah yang memberikan visi untuk batin kita. semua rasa curiga, rasa cemas, rasa takut dan khawatir telah menjadi "mata" bagi kita. hingga ada saatnya cinta melarut dalam cemburu dan curiga. hingga ada saatnya rindu berbalut cemas dan ketakutan. hingga ada saatnya jiwa tak tenang menjalani hari.
tak perlu kita saling meragukan apa yang kita rasakan. tak pula perlu pembuktian atas seluruh rasa rindu yang berkalang dalam hati kita. tapi jangan kurung aku dengan ketakutanmu yang berbuah cemburu, karena aku tak bisa demikian. jangan kekang aku dalam curiga yang bernafaskan cinta. aku tak mau begitu. biarkan aku bergayut di lenganmu tanpa cengkeram dari jemarimu. biarkan aku bersandar di dadamu tanpa dekap erat yang menyesakkan dadaku. biarkan aku menatap matamu dengan penuh cinta, bukan dengan rasa takut atau segan.
tak ada yang perlu diragukan atas perasaan yang meliputi jiwa-jiwa kita. jiwa kita yang bebas mengitari langit sambil menebarkan puisi cinta. mengapa harus ragu, jika pertalian batin kita melebihi kesetiaan langit pada bumi...?
aku mencintaimu, matahariku...

Monday, April 10, 2006

tanpa judul

dalam kesendirianku, aku mencoba untuk mencari celah agar aku bisa bersenang-senang. duduk bersama teman-temanku, menikmati dentam musik dari kelompok yang bermain apik. namun rasa gelisah dan sepi tetap menderaku. setiap lagu yang terlantun mengingatkanku padamu. setiap lirik yang keluar dari mulut para vokalis mengembalikan pikiranku padamu. dan seluruh kepul asap yang menyatu dalam ruangan seolah membentuk abstraksi tentangmu. lalu di mana kesenangan itu harus aku cari, jika semuanya tetap mengingatkanku padamu...?
tak lagi ada kesenangan jika tanpamu. maka aku tak akan lagi mencoba mencarinya, karena semua akan sia-sia. lebih baik aku berbaring sendiri di bawah langit malam dan mencoba menghitung bintang yang berkedip padaku.
[when missing someone isn't the sweetest part of life anymore...]

Thursday, April 06, 2006

pada suatu malam

di bawah langit malam yang kelabu
aku berjalan
meniti hari
meniti waktu
sendiri
hanya berteman angin malam
aku sungguh sendirian
tak ada teman di sisi
bisik angin malam
yang menderu di telingaku
seolah mengingatkanku padamu

Wednesday, April 05, 2006

cerita hari ini

hari ini aku membaca potongan-potongan tulisan yang tak menentu. potongan-potongan isi kepala orang-orang yang sok tahu! potongan-potongan isi kepala para pengecut yang tak punya nyali untuk menyebut namanya sendiri! mengajariku tentang kehidupan di dunia, padahal aku tak butuh pengajaran omong kosong mereka. mengajariku tentang cinta dan kesabaran, padahal mereka tak tahu apa-apa soal cinta dan kesabaran. mengajariku soal penderitaan, yang hanya aku sambut dengan tawa, karena aku jelas lebih tau soal penderitaan, lebih dari mereka!
those pathetic creatures... merasa hidup paling mulia, namun sebenarnya mereka tak punya apa yang aku punya. mereka tak punya kehidupan yang penuh warna seperti hidupku. mereka tak punya cinta seperti yang aku punya. mereka tak pernah merasakan derita, maka mereka tak tahu cara menikmati kesengsaraan hingga terasa manis.
maka bersyukurlah aku, yang merasakan semua warna kehidupan ini... yang bisa menendang seisi dunia ketika mereka menindasku... yang tak perlu mendengarkan apa kata orang-orang sok tahu yang mencoba mengajariku tentang kehidupan...
aku orang bebas yang terbang melayang seperti angin...
aku ini orang bebas dan tak akan pernah bisa dikuasai...
[SLaNK]

Tuesday, April 04, 2006

Ingin ku terbang jauh
mengejarmu ke langit biru
karena aku tak sanggup berdiri
tanpa kamu di sampingku,
kau dimana
Aku tak sanggup bila sendiri
tanpa dirimu ada di sisiku
Cepatlah pulang, aku menunggumu
Ingin ku pergi saja dari sini
mencarimu karena aku membutuhkanmu,
Bantu aku tuk melangkah, kau di mana
Aku tak sanggup bila sendiri
tanpa dirimu ada di sisiku
Cepatlah pulang, aku menunggumu
Di sini sendiri, tanpamu
Tidakkah kau tahu
Diriku tenggelam
dalam cintamu, kasihmu
Ku ingin kau cepatlah pulang
kau di mana - the cats

Monday, April 03, 2006

Melihatmu tumbuh, Srikandhiku, kadang terbersit rasa pilu di dalam hatiku. Kau begitu lincah, pandai, berani. Sama seperti tokoh Srikandhi dalam kisah Palguna Palgunadi, yang tak kenal takut ketika mencari Arjuna yang hilang di dalam hutan. Namun keceriaanmu setiap hari tak pernah terdampingi oleh sosok ayah yang bisa melindungimu setiap saat.
Maafkan bunda yang tak pandai memilih seorang ayah untukmu, bidadariku. Tumbuhlah kau dengan bebas dan berani. Seperti Wara Srikandhi dalam kisah Mahabharata dan Bharatayudha, yang tak kenal takut menghadapi lawan-lawannya di medan laga. Jangan biarkan dunia menghempasmu. Tunjukkan pada semua, bahwa kau mampu berdiri sendiri tanpa bantuan seorang laki-laki yang menjadi ayahmu hanya untuk status belaka.