Monday, May 29, 2006

L E T I H

letih meniti hari-hari sepi dalam penantian tak berujung. sungguh terus aku pertanyakan di mana kesalahanku, karena dera yang kau berikan memang di luar batas kemampuanku. raga ini telah penat, namun aku belum boleh berhenti. semua yang terjadi bukanlah kehendakku, namun mengapa harus aku yang menjadi persembahan di atas altar pemujaan ini...?
rupanya hati nurani telah mati...
aku dengar hari ini ia telah dikuburkan di dasar jurang kebohongan dunia...
aku marah, karena aku tak pernah memilih untuk menjadi begini. ini bukan pilihanku! mereka yang memilih, tapi aku yang harus menjalani. adilkah....?
letih bertanya akan kepulanganmu. letih mendengar jawaban yang tak pasti. letih berharap dan letih menuai kekecewaan.
esok... tak akan lagi aku pertanyakan semua itu. biarlah.... tak perlu lagi harapan kosong ini... agar tak terbuka lagi luka di jiwa...
C A S T A T R O P H E

ada sedikit prahara tersimpan di dalam rongga jiwaku, saat aku harus memilih antara hatiku atau logika. saat kau mengharapkan pengertian dariku, saat itu pula aku terjatuh dan mencoba menggapai tanganmu yang tak terulur. telah aku berikan semua pengertian yang aku miliki untukmu... seluruhnya... hingga hilang sudah kepercayaanku atas cinta dan kebersamaan. semua terasa bagai omong kosong yang ditebarkan mimpi sebagai buaian indah.

cinta... jika aku mencintai seseorang, aku harus mau melakukan apa pun untuknya, meskipun nyawaku harus tergadai. jika cinta memanggil, aku datang walaupun yang aku terima hanya dera jiwa. jika aku menginginkan cinta, maka aku akan datang menghampirinya, walau tak jarang hanya kekecewaan yang aku dapati. jangan meminta darinya... karena bukan itu cinta yang sejati... biarlah waktu yang memberikan semua kesempatan yang tersisa untukku.

tak perlu lagi memintanya untuk kembali... biarlah ia tenggelam dalam pencarian abadinya. mungkin suatu hari nanti, ia akan sadari, bahwa sebenarnya ia tak pernah kehilangan apa pun... maka pendam saja semua pinta itu, biarkan ia menyesali masa lalunya ketika semuanya telah terlambat. mungkin hanya dengan begitu, sang waktu bisa mengajarkan sebuah arti penantian, pencarian dan penyesalan...

di batas keraguan tersimpan keyakinan ketulusan cintaku...

'ku ingin kepastian sungguh adanya aku untuk dirimu, kasih...

mengapa kau tak mengerti halusnya perasaanku...

kau goreskan keraguan...

namun 'ku menyayangimu walau hilang percayaku....

biar cinta menuntunku untukmu...

haruskah 'ku pergi darimu...

haruskah...

namun 'ku menyayangimu walau hilang percayaku...

biar cinta menuntunku untukmu....

[Kepastian by Rossa]

Sunday, May 28, 2006

S E N D I R I

di puncak tertinggi ini aku berdiri di bawah langit senja, menatap kotaku yang meredup cahayanya. hembus angin terasa sejuk, seolah mencoba menolongku menepis semua kesedihan dan kegelisahan yang berkarat dalam hatiku. jiwaku rasanya sudah mati, hanya ada sepotong raga kosong yang tersisa.

tak ada salahnya menikmati kesendirian. mungkin aku kurang memberi waktu pada diriku sendiri selama ini. mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk memikirkan diriku sendiri. sepanjang hidupku aku selalu berusaha untuk membahagiakan orang lain. selalu berusaha untuk ada di setiap lekuk liku kehidupan orang lain, hingga saat mereka perlu bantuanku, aku sudah siap di belakang mereka. namun rupanya tak pernah ada yang adil di dunia ini. atau mungkin aku yang terlalu banyak berharap. berharap orang lain akan melakukan hal yang sama padaku, sementara mereka tak pernah menganggap aku pantas menerima pemujaan yang begitu hebat. maka kini tinggallah aku di sini, sendiri ditemani jiwa yang retak.

ke mana kah dirinya di saat aku butuh pegangan...?

di mana kah nuraninya ketika aku berseru padanya sampai jatuh berlutut dan memohonnya untuk datang...?

wahai kau yang mencintaiku... sedalam apa kiranya hatimu... aku yang tersungkur sendiri di bawah pijakan kenyataan, hanya bisa berharap mata hatimu terbuka sebelum nyawa ini melarut bersama angin senja...

aku hanya punya pinta kecil nan sederhana, namun mengapa semuanya seolah sangat sulit untuk terwujud... aku hanya ingin kau ada di sisiku, menggenggam tanganku erat dan hangat ketika rasa sakit itu datang mendera. aku hanya ingin kau mendekapku ketika kenyataan pahit itu dilemparkan di depan mukaku. aku hanya ingin kau menemaniku melewati hari-hari tersulitku. hari-hari di mana jiwaku terjatuh ke titik terendah. hari-hari di mana aku merasa dunia begitu gelap dan dingin.
namun semua pinta itu berlalu bersama hembus angin malam. melarut dalam kelamnya langit malam yang dingin. tanpa wujud nyata. meninggalkanku dalam kegelisahaan abadi dan kekecewaan tak berujung. mengapa sesuatu yang begitu sederhana justru sangat sulit menjadi kenyataan...?
aku hanya butuh kehadiranmu di sini untuk menguatkanku melewati detik-detik terakhir dalam hidupku... namun kau tetap tak sudi ulurkan tanganmu. tetap tak sudi merengkuhku ke dalam pelukmu yang hangat. tetap tak mau berjalan bersisian denganku, karena kau merasa belum siap melakukan semua itu...
aku seperti dikhianati hatiku sendiri. ditinggalkan oleh jiwaku sendiri tanpa teman. betapa sunyi rasanya ketika seluruh alam tak lagi mau berdendang untukku. sepi ini kian terasa menusuk rongga jiwaku...
sakitku ini tak akan pernah terobati...

Friday, May 26, 2006

dan semakin ku sadari, bahwa tak satu pun yang ku perbuat akan membawamu pulang kepadaku secepat ku mau. kau akan pulang jika kau mau. aku tak tahu kapan, karena kau pun tak tahu kapan. kau biarkan hatiku teriris setiap saat dan kau biarkan jiwaku terluka mendengar pernyataanmu.
dan tak satu pun keadaan yang mampu membuatmu tergerak untuk menemani hari-hariku di sini. tak satu keadaan pun yang mampu membuka mata hatimu akan pentingnya arti kehadiranmu bagiku setiap saat, tentang bagaimana aku perlu berpegang padamu saat bumi yang terpijak terasa goyah.
maka biarlah aku berjalan sendiri melewati sisa waktuku di sini, mencoba menghempas dunia yang menyisihkanku, mencoba menyingkirkan rasa sakitku atas dirimu yang kian menjauh. tak perlu permintaan maaf itu. tak juga perlu sedu sedan itu. tak ada satu pun yang bisa membuatmu pulang kecuali dirimu. maka aku akan memupuskan seluruh pinta ini. biarlah terkubur bersama letih jiwaku. biarlah terbawa angin senja yang melaju pergi, meninggalkan cakrawala nan kelabu...
[jakarta - bandung, 25 mei 2006]

Thursday, May 18, 2006

saat kenyataan dilemparkan ke depan mukaku, aku goyah... tapi aku tak bisa berpegang padamu, karena kau tak sudi menemaniku berjalan bersisian di bawah kelamnya duniaku...
"kau harus kuat... untukku... aku butuh kau untuk kuat..."
"lalu bagaimana jika aku tak kuat dan terjatuh...?"
"jangan jatuh... demi aku... demi kita..."
tak bisa berpegang pada lenganmu...
tak bisa bersandar di dadamu...
tak bisa menangis di bahumu...
tak bisa bertopang padamu...
karena kau ciptakan jarak di antara kita
entah sampai kapan...
kau tak tahu...
aku tak tahu...
tak ada yang tahu...
larutlah kau dalam lemahmu, jika itu yang kau inginkan dalam hidupmu...
tapi jangan kau minta aku untuk kuat jika kau sendiri pun lemah...
adilkah...?
saat jiwaku merepih, aku temui diriku berdiri di kesunyian malam. sendiri tanpamu. mencoba merobek hening langit malam lewat sinar bulan purnama, namun aku habis daya. maka berjalanlah aku dalam dingin hembus bayu. menembus kabut dunia yang seolah mengelam. mencoba mengerti arti semua yang terlukis di langit malam...
mungkin aku memang harus sendiri, karena malam adalah penggalan jiwaku, bukan dirimu. telah ku tunggu sapamu hari ini, namun sepi menyambut rindu yang berkalang di hati. tak ada lagi suaramu yang temaniku dalam titian hari. ku jumpa kebisuan saat ku mencoba panggil namamu. di manakah kamu... aku tak tahu... mungkin telah kau lupakan belahan jiwa yang mengering ini. mungkin telah kau gadaikan potongan hati yang meruam ini pada langit senja yang menjingga. atau mungkin telah kau lemparkan sisa lara yang meranggas dalam jiwaku bersama hembus bayu yang mengelilingi cakrawala malam. aku tak tahu... mungkinkah terhapus semua kenangan itu?
jika tak kau pastikan hadirmu dalam rongga duniaku, tak bisakah sepotong sapamu temaniku lewati malam ini...?
jika terhapuskan semua kenangan itu, tak bisakah kau simpan kerlip binar mataku yang selalu terpancar saat kau ada...?
jika telah kau lupakan belahan jiwa yang mengering ini, tak bisakah seukir senyummu kau biarkan menghiasi dinding jiwaku...?
jika telah kau gadaikan potongan hati yang meruam ini pada langit senja, tak bisakah percik rindumu hangatkan diriku sejenak saja...?
jika telah kau lemparkan sisa lara yang meranggas dalam jiwaku ini bersama hembus bayu, tak bisakah kau terbang bersamaku ke dunia yang lain...?
malam yang berwarna telah membawaku pulang. kembali ke realita di mana hanya sepi yang menderaku. sapamu tak ku jumpa. tak ada kata cinta. tak ada kata rindu. tak ada ucapan selamat tidur. tak ada... hanya ada aku sendiri, berjalan di bawah lazuardi kelabu. hanya bintang yang sudi berkedip mesra padaku...

timeframe

Dari dulu gue selalu membiasakan diri untuk punya tenggat. segala sesuatu yang gue lakukan harus ada timeframe-nya. kenapa? ya biar tertib aja kaleeee.....!!! terorganisir gitu lah... gue ngerasa dengan timeframe yang gue bikin, semua urusan gue jauh lebih ringan.
misalnya;
bikin desain iklan: nggak boleh lebih dari 30 menit [kalo proses approval-nya lama karena banyak request dan perubahan, itu mah urusan lain dong!]
mehe-mehe karena diputusin pacar: nggak boleh lebih dari 2 minggu [ya kalo kasusnya berat, boleh sampe sebulan deh!]
bete karena dimarahin bos: nggak boleh lebih dari 1 hari [profesional atuh...!!!]
nyari contact person artis terkenal: nggak boleh lebih dari 1 minggu [masa iya sih PR nggak punya network ke sana...?]
bikin press release: nggak boleh lebih dari 30 menit [ini kan mengarang bebas, udah belajar dari jaman SD, nilai mengarang gue selalu bagus pula, jadi... ngapain lama-lama???]
proses ngirim press release sampai dimuat: nggak boleh lebih dari 1 minggu [habis ngirim, telpon wartawan atau pemrednya dong ah! biar cepet dimuat... hehehehe....]
dan masih banyak lagi timeframe buat diri sendiri yang gue bikin.
tapi menurut gue, yang paling penting selama hidup gue adalah... gue selalu ngasih timeframe untuk menyelesaikan masalah atau ngatasin masalah yang gue hadapi.
timeframe gue buat ngatasin masalah yang gue punya, strictly cuma 2 bulan!!! seberat apa pun masalah pribadi gue, harus bisa gue atasin dalam 2 bulan. gue harus bisa bangkit lagi dalam 2 bulan. nggak boleh lama-lama!
kenapa?
karena gue nggak mau [dan nggak suka banget] larut dalam suasana sentimentil dan melankoli yang berlebihan.
kenapa?
karena gue nggak perlu rasa kasihan dari orang yang liat gue termehe-mehe dengan masalah gue.
kenapa?
karena.... buat apa lama-lama? malah jadi nggak produktif dan ngerusak badan aja gitu lohhh...!
life must go on... dan menikmati keterlarutan dalam sebuah masalah atau rasa lemah sama sekali "nggak gue banget!", soalnya gue sendiri menilai orang-orang yang memuja kelemahan mereka dan memilih untuk larut dalam melankoli nggak penting itu, sebagai orang-orang yang nggak bisa menikmati dan mensyukuri hidup mereka. sayang amat kalo hidup yang pendek ini cuma diisi dengan menikmati rasa lemah, sedih dan menderita... huuu.... rugi banget lah...!
lagian buat apa sih kita harus mengekspos kelemahan kita? biar orang pada simpati [baca: kasian] sama kita? duh.... kayaknya nggak banget deh...
prinsip gue adalah...
gue bisa kalo gue bilang "gue bisa!"
gue nggak bisa kalo gue bilang "gue nggak bisa..."
gue kuat kalo gue bilang "gue kuat!"
gue lemah kalo gue bilang "gue ini lemah..." [please deh.... basi bangeeeet....!]
dan gue rasa, itu juga berlaku buat semua orang di seluruh dunia....
self motivation is the most important thing...
biarpun sekeliling lu mendukung, kalo lu ngerasa nggak bisa, nggak mampu dan nggak kuat... mana bisa lah yaww....!!!
gue bersyukur bisa nentuin timeframe buat diri gue, masih banyak orang yang nggak bisa "memutuskan" mau bangkit dalam berapa lama atau mau jatuh selama berapa taun.
gue seneng bisa memutuskan buat diri gue sendiri, karena itu artinya....
GUE KENAL BANGET SAMA DIRI GUE SENDIRI
gue tau segimana batas gue
gue tau banget kekuatan gue
gue tau banget kelemahan gue
gue tau banget bahwa gue bisa...!
gue tau banget bahwa gue kuat...!
gue tau banget bahwa gue mampu...!
dan...
gue tau banget bahwa hidup gue nggak akan tersia-sia karena gue harus mehe-mehe berkutat dengan melankoli yang nggak penting....

Thursday, May 04, 2006

Jodoh

Lima tahun yang lalu, Nina bercerita dengan mata berbinar-binar kepada Shasta, sahabatnya, "Ryan melamarku! Kami akan segera menikah, akhir tahun ini juga, Ta!".
Shasta memandanginya dengan tersenyum. Sebagai sahabat, tentu saja Shasta ikut senang kalau Nina senang.
"Aku memang sudah merasa bahwa Ryan adalah jodohku, Ta! Aku tahu! Aku bisa merasakan itu!" Nina menyambung keharuannya dengan mata berkaca-kaca.
Shasta hanya tersenyum kecil. Hmmm....Mungkin Nina tak ingat, bahwa hampir semua pacarnya mendapat status "calon suami". Nina selalu merasa pacar-pacarnya adalah jodohnya. Shasta sudah ratusan kali mendengar kalimat "Aku yakin dia itu jodohku, Ta! Aku bisa merasakan." dan setiap kali Nina mengatakan itu, matanya selalu berkaca-kaca. Maka kali ini pun Shasta hanya tersenyum. Bukan Shasta ragu pada perasaan Nina, tapi Shasta sendiri tak pernah menganggap bahwa manusia bisa mengetahui siapa jodohnya yang sebenarnya. Lahir, mati dan jodoh adalah rahasia Tuhan. Hanya Tuhan yang mengetahui hal-hal seperti itu. Manusia tak berhak mengetahuinya. Mengeluarkan pernyataan keyakinan, menurut Shasta, sama saja dengan melanggar hak Tuhan atas rahasia-Nya. Namun Shasta tak berkomentar. Ia tak tega merusak kebahagiaan sahabatnya. Shasta percaya, jika waktunya tiba, Nina akan mendapatkan pelajarannya.
Empat bulan yang lalu, Nina mendatangi rumah Shasta dengan wajah sendu.
"Ryan sudah hampir 5 bulan ini tidak pernah memberi nafkah batin untukku, Ta.... Aku curiga dia punya perempuan lain di luar sana..." Tangis Nina meledak. Shasta membiarkan Nina melepaskan emosinya.
"Menurutmu bagaimana, Ta?" tanya Nina ketika tangisnya mereda.
Shasta tersenyum arif, "Aku tidak tahu, Nin... Tapi belum tentu juga."
"Aku sarankan kamu introspeksi diri, atau diskusi lah dengan Ryan. Jangan langsung memvonis dan menuduh, Nin. Tidak baik begitu."
Nina terlihat emosional mendengar saran Shasta, "Aku? Introspeksi?? Aku ini istri yang baik, Ta! Aku istri yang menurut pada suami. Jadi aku rasa bukan aku yang seharusnya introspeksi."
Shasta menatap Nina dingin. "Nin, bagaimana pun, sebuah tindakan pasti ada latar belakang dan alasannya. Ryan tidak mungkin tiba-tiba kehilangan selera padamu! Pasti ada alasan di balik ini semua!"
"Dia PASTI tergoda perempuan lain, Ta!" Nina berkata sambil meremas saputangannya.
"Nina, kamu sudah dewasa. Bukan ABG lagi! Berpikir lah dengan kepala dingin. Jangan dengan emosi begini."
Tiba-tiba Nina beranjak pergi dengan amarah yang masih tergambar di wajahnya. Mungkin ia ingin Shasta sedikit lebih memihak padanya, sementara Shast memilih untuk netral.
Shasta membiarkan Nina pergi. Ia sudah hafal tabiat sahabatnya. Tak ada gunanya menahan-nahan. Shasta hanya merasa sedikit sedih. Ia tak ingin memihak siapa pun. Perempuan seringkali curhat untuk mencari sekongkol, tapi Shasta tidak seperti itu. Ia lebih suka berada di tengah dan memberikan masukan yang netral. Ryan mungkin salah, tapi Nina juga belum tentu 100% di pihak yang benar. Mungkin saja ada sesuatu pada Nina yang membuat Ryan 'ilfeel' mendadak.
"Lima bulan..." batin Shasta. "Seharusnya kamu lebih open-minded, Nin. Jika suamimu sudah sekian lama tak memberi nafkah batin padamu... seharusnya kamu tahu, apa artinya...." Shasta menghela nafas panjang. "Artinya.... dia sudah tak menginginkanmu lagi, Nin... dia tak lagi mau menyentuhmu... Bara api cintanya telah padam." Apapun alasan di balik itu, bagi Shasta, jelas sekali bahwa Ryan sudah tak menginginkan Nina lagi.
Shasta merasakan ada sebongkah gundah yang mengisi rongga dadanya hingga sesak. Ryan tak lagi menginginkan Nina. Sedangkan Nina tak merasa ada sesuatu yang salah pada dirinya. Sebenarnya Shasta tahu duduk permasalahannya karena Ryan sudah seringkali mengeluh padanya di luar sepengetahuan Nina. Ryan menilai Nina terlalu kekanak-kanakan dan tak bisa memahami dirinya dengan baik, tak bisa mengakomodasi keingin-keinginan Ryan dengan cukup baik, tak bisa berdiskusi atas permasalahan yang terjadi tanpa harus diakhiri dengan pertengkaran. Ryan lelah. Ryan sudah menunggu Nina untuk berubah sekian lama, tapi tak ada tanda-tanda ke arah perbaikan. Ryan memang akhirnya kehilangan rasa terhadap Nina. Hal tersebut rupanya sudah terakumulasi setelah sekian lama. Ryan tak sanggup lagi mempertahankan biduk perkawinannya yang semakin hari semakin terasa tak menentu. Jauh sebelum Nina bercerita kepada Shasta, Ryan sudah mulai merasakan kehampaan dalam jiwanya. Ryan merasakan hidupnya bersama Nina hanya sandiwara belaka, untuk menyenangkan hati orang tua dan keluarga masing-masing, bukan untuk saling mengisi satu sama lain. Mungkin proses pacaran yang terlalu singkat dan proses saling kenal yang hanya sekejap telah membuahkan banyak kekagetan ketika mereka meniti rumah tangga bersama.
Sekarang... Nina duduk di samping Shasta sambil menangis tergugu. Nina baru saja menyelesaikan sidang perceraiannya dengan Ryan setelah 4 tahun lebih menikah dan memiliki 1 orang bidadari yang cantik. Shasta memandang sahabatnya dengan perasaan campur aduk. Ingin menghibur tapi tak tahu cara yang tepat. Ingin mengomentari, tapi takut menyinggung perasaan Nina. Akhirnya Shasta hanya diam saja. Membiarkan Nina menumpahkan emosinya sampai tuntas. Akhirnya pelajaran itu datang juga. Pelajaran tentang bagaimana Tuhan membolak-balik hati manusia. Pelajaran tentang bagaimana sebuah keyakinan bukan lah jaminan atas kelanggengan. Sebuah kejadian yang memupuskan semua keyakinan Nina tentang konsep "jodoh" dan "belahan jiwa". Konsep yang sebenarnya tak disetujui Shasta sejak lama.
Sekira 30 menit kemudian tangis Nina mereda. Nina mulai mengatur nafasnya. Shasta memandang Nina tanpa berkedip.
"Aku tidak mengerti, Ta. Kenapa Ryan bisa berubah pikiran. Kenapa cintanya padaku bisa luntur. Apa dia tidak ingat manisnya masa pacaran kami?" Nina menghela nafas. Mencoba meredam emosinya yang masih tak stabil.
"Aku tidak bisa berkomentar apa-apa, Nin. Yang paling tahu situasinya adalah kamu dan Ryan. Aku ini orang luar." Ujar Shasta.
"Tapi kamu kan sahabatku, Ta. Kamu tahu betul semua ceritaku. Aku tidak pernah menutupi apapun dari kamu, Ta." Nina menatap Shasta dengan mata berkaca-kaca.
"Nin... kamu memang sahabatku, tapi bukan berarti aku bisa mengetahui segalanya tentang kamu. Masih ada batasan di mana aku tak bisa masuk. banyak hal yang bersifat pribadi yang tak bisa aku komentari, meskipun aku sahabatmu, Nin..." Bibir Nina bergetar mendengar penjelasan Shasta.
"Kamu tahu kan Ta... saat aku menikahi Ryan, aku yakin sekali kalau dia itu jodohku! Belahan jiwaku yang diberikan Tuhan untuk menemaniku sepanjang hidupku! Aku yakin akan hal itu, Ta. Yakin sekali! Tapi kenapa sekarang semuanya jadi porak-poranda begini? Ini tidak adil untukku!" Nina mulai menangis lagi.
Shasta bimbang... di satu sisi, sebagai sahabat Shasta ingin sekali mengingatkan sesuatu pada Nina. Namun di sisi lain, hati kecilnya melarang ia melakukan hal itu karena mungkin akan menyakiti Nina.
"Dia sangat mencintaiku, Ta. Aku tahu itu! Aku bisa merasakannya! Tidak mungkin dia berpaling jika tidak dipengaruhi orang lain! Dia itu pasangan hidupku, Ta! Belahan jiwaku!" Nina berujar dengan berapi-api.
"Nin... tenang dulu dong.... jangan emosional begitu. Kamu harus bisa mengontrol emosimu." Shasta berusaha meredam emosi Nina.
"Ah, kamu Ta. Tahu apa? Menikah saja belum!" Sambar Nina tajam. Shasta bagai dilempar ke dunia lain. Gelap. Sakit. Ada sesuatu yang robek di dalam jiwanya saat mendengar omongan Nina.
"Nina, dengar ya... aku sahabatmu... ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu sejak lama. tapi aku tak pernah punya cukup keberanian untuk bicara karena takut akan menyakiti hatimu." Shasta akhirnya memilih untuk buka mulut. Nina terpana menatap Shasta.
"Apa yang kamu sembunyikan dariku, Ta?" Nina sedikit curiga.
Shasta menarik nafas dalam-dalam. "Berapa lama kita bersahabat Nin?"
Nina mengerutkan keningnya, "Sudah lama sekali Ta... lebih dari 10 tahun."
Shasta memejamkan matanya sebentar, lalu melanjutkan, "Selama itu, berapa kali kamu pacaran Nin? Dengan berapa laki-laki?"
Nina memandang Shasta dengan tatapan tidak mengerti, "Kamu bicara apa, Ta?"
Shasta menatap tajam pada Nina, "Jawab saja pertanyaanku, Nin."
Nina menghela nafas, "Enam kali, Ta. Aku pacaran dengan 6 orang."
Shasta tersenyum, "Dari 6 orang itu, berapa orang laki-laki yang kamu bilang, kamu yakini dan kamu beri gelar sebagai jodohmu atau belahan jiwamu?"
Nina terkesiap, lalu mengarahkan pandangannya ke meja. Diam. Tak menjawab.
"Nin... kamu dengar pertanyaanku kan...?"
Nina mengangguk kecil, "Semuanya, Ta. Aku selalu bilang padamu bahwa mereka jodohku." Matanya berkaca-kaca kembali.
Shasta menggenggam tangan Nina dengan hangat, "Dari semua laki-laki yang kamu yakini sebagai jodohmu, dengan siapa akhirnya kamu menikah?"
Nina mengangkat wajahnya dan menatap Shasta, "Dengan Ryan..."
Shasta tersenyum, "Kemarin, sebelum kamu menikahinya, kamu sangat yakin bahwa Ryan adalah jodohmu. Kamu bilang, kamu bisa merasakannya. Tapi kamu harus ingat, Nin... kamu juga mengatakan hal yang sama terhadap 5 orang laki-laki sebelum Ryan. Sekarang kamu berpisah dengan Ryan, kamu tidak bisa terima kenyataan ini karena kamu sangat yakin bahwa Ryan adalah belahan jiwamu. Jodohmu. Kamu mencoba mengingkari kenyataan bahwa semuanya bisa berkahir begitu saja. Kamu lupa memikirkan bahwa kemungkinan untuk berpisah selalu ada. Cinta harus dipelihara, Nin... harus 2 arah. Jika salah satu sudah tak lagi bisa memelihara cintanya, maka sulit untuk mempertahankan semuanya. Kamu juga lupa, bahwa Tuhan selalu ikut campur dalam semua urusan manusia. Jika kamu mengingkari semua ini, sama saja dengan kamu mengingkari kuasa Tuhan. Sekarang, apa yang bisa kamu ambil dari kejadian ini Nin?"
Nina menggigit bibirnya sambil menatap pasrah kepada Shasta. Nina merasa dirinya sedikit dihakimi Shasta.
"Kalau kamu mengatakan bahwa kamu yakin seseorang adalah jodohmu, kamu seperti mendahului Tuhan, Nin. Lahir, mati dan jodoh adalah rahasia Tuhan. Tidak ada yang tahu. Walaupun hal-hal itu menyangkut kita, tapi kita tetap tidak pernah tahu apa yang sebenarnya digariskan Tuhan untuk kita. Jangan sampai kamu terlihat seperti mendahului Tuhan dengan pernyataan-pernyataanmu dan keyakinan-keyakinanmu atas hal-hal tersebut. Orang yang kamu nikahi kemarin bisa jadi memang bukan jodohmu. Tapi untuk bertemu dengan jodohmu yang sebenarnya, mungkin kamu memang harus melalui pernikahan dengan Ryan dulu. Kalau kamu tidak menikahi Ryan, kamu tidak akan bertemu dengan jodohmu yang sebenarnya."
Nina termangu mendengar penjelasan Shasta. Mencoba memahami makna dari pembicaraan gadis itu.
"Kadang kita lupa, bahwa ada Tuhan yang mengatur semuanya. Lalu kita akan mencari kambing hitam atas kejadian yang menimpa kita. Kita lupa bahwa semuanya bisa saja memang kehendak Tuhan. Pada saat-saat seperti ini, kita menempatkan diri pada posisi 'korban' yang patut dikasihani dan memerlukan dukungan banyak orang. Aku rasa, itu bukan langkah yang tepat, Nin. Langkah terbaik yang harus kamu ambil adalah merenung dan introspeksi diri. Menelaah diri, adakah hal-hal yang kurang selama ini, atau malah berlebihan? Sebelum kamu mencari kambing hitam, berkaca lah. Sudahkah kamu sempurna tak bercela, hingga semua ini bisa dipastikan sebagai kesalahan orang lain?"
Pikiran Nina mengambang mendengar kata-kata Shasta. Selama ini ia terlalu mengatur Ryan, terlalu cemburu, terlalu cerewet, kurang dewasa, mau menang sendiri dan terlalu banyak curiga. Mungkin Ryan lelah ditekan dengan cara seperti itu. Nina merasakan dadanya hampa sekali. "Shasta benar", pikir Nina, "Ryan tak mungkin mengambil keputusan tanpa ada latar belakang masalah yang jelas. Pasti ada sesuatu dalam diriku yang tak bisa ditanganinya hingga ia akhirnya menyerah. Ryan pasti punya alasan yang kuat untuk berpisah denganku."
Shasta mengeratkan genggamannya "Pasrah lah Nin... jangan dahului Tuhan. Mungkin ini pelajaran dari Tuhan untukmu, supaya kamu lebih berpasrah diri pada-Nya. Kamu boleh saja mengatakan bahwa Ryan atau siapapun adalah yang terbaik untukmu, tapi jangan kamu terlalu yakin bahwa dia adalah jodohmu, karena itu bukan wewenangmu sebagai manusia. Kamu tidak berhak menentukan siapa jodohmu." Shasta meraih bahu sahabatnya. Nina tersenyum sambil menghapus air matanya yang masih mengalir.
Shasta tersenyum arif "Bukannya aku senang dengan perpisahan kalian, tapi keadaan ini harus disikapi dengan dewasa dan hati yang lapang. Seharusnya kamu sudah mulai merasakan kemungkinan adanya perpisahan ini sejak Ryan berhenti memberimu nafkah batin, Nin... Itu adalah tanda yang sangat jelas bahwa dia sudah tak bisa lagi hidup bersamamu."
Nina termangu mendengar penjelasan Shasta. Selama ini ia memang terlalu sibuk mempertanyakan perubahan sikap Ryan namun tak membaca sinyal-sinyal yang telah dilontarkan Ryan secara eksplisit kepadanya.
"Iya Ta... seharusnya aku bisa membaca situasi saat itu, tapi aku terlalu kalut. Terlalu emosional dan terlalu marah saat itu."
Shasta merengkuh bahu Nina, "Ini bukan akhir dari segalanya, Nin.... justru ini adalah awal dari kehidupanmu yang baru..."
Nina mengukir senyum yang masih terlihat pahit di wajahnya, "Terima kasih ya Ta... kamu memang sahabat terbaikku. Aku merasa sedikit lebih baik sekarang."

Tuesday, May 02, 2006

God, I feel like hell tonight
Tears of rage I cannot fight
I'd be the last to help you understand
Are you strong enough to be my man?

Nothing's true and nothing's right
So let me be alone tonight
Cause you can't change the way I am
Are you strong enough to be my man?

Lie to me
I promise I'll believe
Lie to me
But please don't leave

I have a face I cannot show
I make the rules up as I go
Just try and love me if you can
Are you strong enough to be my man?

When I've shown you that I just don't care
When I'm throwing punches in the air
When I'm broken down and I can't stand
Will you be strong enough to be my man?

Lie to me
I promise I'll believe
Lie to me
But please don't leave

[Strong Enough by Sheryl Crow]