Tuesday, December 25, 2007


Buruh migran – Pahlawan Devisa tapi nelangsa...


Saya sudah sering mendengar cerita sukses maupun cerita menyedihkan dari buruh migran, terutama buruh migran Indonesia. Tapi baru sekarang saya benar-benar berinteraksi dengan mereka. Ini dijembatani oleh pekerjaan saya yang baru. Saya memegang divisi pemberdayaan buruh migran yang positif mengidap HIV beserta pasangannya. Sejak bulan Oktober saya banyak bertemu dan berbagi cerita dengan buruh migran dari berbagai negara. Tak banyak perbedaan yang saya dapati dari cerita buruh migran tersebut. Walaupun berasal dari berbagai Negara yang berbeda, kisah sedih yang saya dengar tetap sama. Kekerasan, pelanggaran HAM, pelecehan seksual, perkosaan, bekerja dengan waktu yang panjang dan tanpa hari libur, kesulitan mengakses layanan kesehatan, menjadi korban trafficking, tertipu, tidak mendapatkan upah yang sesuai [bahkan seringkali tidak diberi upah sama sekali], menjalani tes HIV mandatory tanpa konseling sampai akhirnya dideportasi karena berstatus HIV.


Begitu banyaknya kisah sedih yang terjadi di Negara penerima. Sebagai pendatang, kadang mereka tidak sadar bahwa kehadiran mereka sebenarnya menyandang status tidak legal atau tidak terdokumentasi. Begitu banyaknya cerita tentang pelanggaran HAM dan pemerasan yang saya dengar terjadi di Negara penerima. Betapa semua mengeluhkan hal yang sama. Pada satu kesempatan di Manila, saya mengobrol panjang lebar dengan salah satu peserta pelatihan pemberdayaan yang merupakan mantan buruh migran dari Indonesia. Nina namanya [disamarkan]. Dari Nina saya mengetahui proses perekrutan buruh migran yang terjadi di Indonesia. Sebuah proses panjang dengan segudang pungli dan hutang-piutang.


Nina mendapatkan informasi tentang pekerjaan sebagai pembantu di Saudi Arabia dari salah seorang pencari sumber daya yang mereka sebut “sponsor”. Sang sponsor ini tugasnya mencari orang-orang, terutama perempuan, yang mau bekerja di luar negeri sebagai pembantu. Dia masuk ke pelosok desa di seputar Jawa Barat, termasuk tempat Nina tinggal. Nina yang melihat beberapa temannya kembali dari Arab dalam keadaan “kaya”, tergiur untuk mengikuti jejak teman sekampungnya. Setelah berunding dan berhasil meyakinkan ibunya, Nina lalu setuju untuk pergi bekerja di Arab. Untuk itu, Nina harus membayar sejumlah uang kepada sponsornya. Jumlah yang cukup besar sehingga Nina terpaksa harus menggadaikan sawah keluarganya. Pikirnya, toh nanti semua itu akan terbayar juga dengan gajinya.


Setelah proses pembayaran selesai, Nina dan beberapa orang perempuan lainnya dibawa sang sponsor ke Jakarta untuk diberikan pelatihan. Mereka ditampung di tempat yang mereka sebut “PT” [PJTKI]. Alih-alih diberi pembekalan dan pelatihan, Nina dan puluhan perempuan lainnya hanya disuruh menunggu pemberangkatan. Pada saat menunggu, Nina menjalani tes kesehatan. Pada saat itu dia diberitahu bahwa hasil tesnya ‘unfit’. Tidak dijelaskan apa maksud dan definisi dari ‘unfit’ tersebut. Nina hanya diberitahu bahwa dia tidak bisa segera berangkat dan harus menjalani tes kesehatan ulang 2 minggu ke depannya. Logikanya, jika memang ‘unfit’ adalah istilah yang dipakai untuk menyatakan bahwa seseorang sedang dalam keadaan kurang sehat, seharusnya orang tersebut diberikan vitamin atau suplemen pada saat tenggang waktu 2 minggu agar hasil tes ulangnya menjadi ‘fit’. Namun Nina tidak pernah mendapatkan vitamin ataupun suplemen apa-apa.


Setelah menunggu 2 minggu, Nina kembali menjalani tes. Hasilnya masih tetap sama. Beberapa orang menyarankan Nina untuk kembali ke kampung halamannya, daripada menunggu tanpa kepastian. Namun tekad Nina sudah bulat. Dia tak mau kembali dengan tangan kosong. Maka Nina pun memutuskan untuk menunggu hingga 4 bulan lamanya. Selama menunggu waktu keberangkatannya, Nina seringkali harus membeli sendiri makanan sehari-harinya. Nina membeli lewat celah pagar, dia tak bisa keluar karena pintu pagar selalu dalam keadaan terkunci. Persis seperti di penjara. Sebenarnya pihak PT memberi jatah makan, namun jatah yang diberikan sama sekali tidak memadai.


Setelah 4 bulan menunggu, akhirnya Nina mendapatkan kabar bahwa dia akan segera diberangkatkan ke Dammam. Untuk itu, Nina harus membuat paspor dan mengurus visa. Pihak PT mengatakan padanya bahwa mereka akan mengurus pembuatan paspor dan visa untuk Nina. Nina kemudian disodori kontrak untuk ditandatangani. Isi kontrak tersebut menyatakan bahwa Nina akan bekerja sebagai pembantu selama 2 tahun. Pihak PT akan mengambil gaji Nina untuk 3 bulan pertama sebagai pengganti masa tinggal Nina di PT dan biaya tes kesehatan ulang yang dijalani Nina sebanyak 3 kali. Di dalam kontrak, Nina melihat jumlah gaji yang dijanjikan cukup besar. Hatinya pun girang. Kewajiban memberikan gaji pada 3 bulan pertama tidak dirasakan sebagai sebuah paksaan karena toh dari sisanya nanti dia masih punya banyak uang.


Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Nina dan beberapa orang temannya bersiap berangkat diiringi doa dari teman-teman lain yang masih tertinggal di PT. Nina mantap menjalani pekerjaannya. Sudah terbayang di benaknya dia akan kembali dengan sejumlah uang untuk mengganti sawah keluarganya yang tergadai, memperbaiki rumahnya di kampung, membelikan perhiasan emas untuk ibunya. Nina berangkat dengan senyum terukir di wajahnya.


Tiba di Dammam, Nina ditempatkan pada sebuah keluarga tanpa anak. Nina harus langsung bekerja, padahal dia masih letih dan mengalami jet lag. Namun sang majikan tak mau ambil peduli. Nina ditempatkan di sebuah kamar sempit di bagian belakang rumah yang menyerupai gudang. Untuk makan, Nina diberikan peralatan makan tersendiri yang terbuat dari kaleng. Bentuknya mengingatkan Nina pada peralatan makan di dalam penjara yang sering dilihatnya di film-film. Makanan yang diberikan untuknya pun berbeda dengan makanan sang majikan. Nina hanya diberi roti 2 kali sehari. Dia harus bangun pukul 3.30 pagi dan bekerja hingga tengah malam. Tidak ada istirahat makan siang, apalagi hari libur.


Dengan kondisi pekerjaan yang sedemikian beratnya, tubuh Nina tak kuat. Dia pun jatuh sakit. Ketika sang majikan tahu, Nina tetap harus bekerja seperti sebelumnya. Ketika musim dingin tiba, daya tahan tubuh Nina semakin menurun. Dia semakin sering sakit. Nina mengalami diare berkepanjangan. Majikannya lalu memindahkan kamar Nina ke sebuah gudang yang berjarak 15 meter dari rumah utama. Nina harus tinggal di sana selama sakit. Berulang kali Nina memohon untuk dipulangkan ke Indonesia, tapi sang majikan tidak mengizinkan. Lebih dari itu, agen yang mengurus Nina di Dammam mengatakan dia tidak bisa pulang karena dia masih memiliki hutang yang harus dibayar dengan gajinya, terutama karena belakangan Nina sakit-sakitan, maka dari itu, Nina tidak menerima gaji karena dia dianggap tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagaimana tercantum dalam kontrak. Dan gaji yang dipotong oleh majikannya itu pun langsung diberikan kepada sang agen.


Rupanya merosotnya kondisi kesehatan Nina disebabkan oleh virus HIV yang ternyata telah bersarang di tubuhnya tanpa dia ketahui. Majikannya pun semakin mengucilkannya. Seringkali Nina tidak diberi makan dalam sehari. Hanya diberi air minum, itu pun jumlahnya tak banyak. Tak tahan dengan keadaannya, Nina pun melarikan diri ke konsulat Indonesia. Beruntung paspornya tak ditahan sang majikan seperti buruh migran lainnya. Sesampainya di konsulat Indonesia, Nina tetap tidak bisa langsung pulang. Atas kebaikan hati dari istri salah seorang staf konsulat, Nina diperkenankan tinggal di rumah sang staf. Kondisi kesehatan Nina membaik, sebulan kemudia dia pun berhasil pulang. Tak sepeser pun gaji yang berhasil didapatnya dari 7 bulan berada di Dammam. Ketika pulang, Nina hanya membawa uang sebesar 100 Real pemberian istri staf konsulat tempatnya menumpang.


Nina bersyukur ketika dia telah berhasil kembali ke tanah air. Namun, kegembiraannya hanya sesaat, karena begitu tiba di kampung halamannya, Nina dikejar-kejar oleh PJTKI yang mengirimnya. Dia dituduh menyalahi kontrak dan diharuskan membayar sejumlah uang penalti. Alih-alih mengembalikan sawah dan membangun rumah, Nina malah harus keluar uang lagi untuk membayar “hutang”-nya kepada PJTKI.


Nina hanyalah satu dari sekian banyak buruh migran Indonesia yang bernasib kurang baik. Masih banyak kisah-kisah miris yang dating dari kalangan buruh migran.


Setiap kali saya pulang dari bepergian ke luar negeri, saya pasti melihat sebuah koridor di dekat meja imigrasi. Sebuah koridor khusus untuk para buruh migran yang baru saja kembali. Di atas koridor tersebut terpampang tulisan berukuran raksasa berbunyi “SELAMAT DATANG PAHLAWAN DEVISA!”. Hal serupa saya temui juga di bandara internasional Ninoy Aquino, Filipina. Sebuah banner berukuran besar yang menyambut para buruh migran dengan tulisan “WELCOME HOME OUR MODERN DAY HERO!”.


Siapa nyana, di balik koridor yang mengagungkan kedatangan para buruh migran tersebut masih tersisa rangkaian pemerasan. Hal ini pernah diliput secara eksklusif oleh wartawan sebuah majalah di Indonesia. Wartawan tersebut berhasil menyusup ke dalam dan menyamar sebagai buruh migran. Berbagai pungutan tak masuk akal menunggu para buruh migran di situ. Setelah keluar, mereka masih harus berhadapan dengan berbagai tantangan. Ongkos transport ke daerah asal yang besarnya tidak rasional, resiko dirampok di sepanjang jalan menuju kampung halamannya sampai dihipnotis dan ditipu. Semua orang mengira buruh migran yang kembali adalah OKB [Orang Kaya Baru]. Nyatanya, kebanyakan dari mereka justru pulang dengan tangan hampa, namun membawa luka batin dan fisik yang dalam. Tak sedikit pula yang pulang dalam keadaan tak bernyawa. Hanya tinggal nama dan tubuh beku di dalam peti mati.


Apa yang saya dengar dari Nina tentang pemerintah Indonesia? Seingatnya, tak ada hal signifikan yang dilakukan oleh kedutaan maupun konsulat Indonesia untuk mereka yang mengadukan nasib mereka ke perwakilan Negara tersebut. Tak ada hal signifikan yang dilakukan pemerintah untuk mereka yang telah dideportasi dan kehilangan kesempatan berikutnya untuk bekerja di luar negeri lagi. Tak ada sistem rujukan bagi mereka yang dipulangkan karena diketahui memiliki status HIV positif.


Berapa banyak sebenarnya buruh migran kita yang berhasil? Mungkin jumlahnya lebih kecil dibandingkan yang tak sukses. Sebutan “Pahlawan Devisa” bagi mereka sungguh tak sepadan dengan perlakuan yang mereka terima, baik di negeri sendiri maupun di negeri orang tempat mereka bekerja. Pahlawan Devisa, tapi nelangsa…


Ternyata… pelanggaran HAM terhadap buruh migran kita sudah berlangsung sejak pertama kali mereka memutuskan untuk menjadi buruh migran….

No comments: