Lima tahun yang lalu, Nina bercerita dengan mata berbinar-binar kepada Shasta, sahabatnya, "Ryan melamarku! Kami akan segera menikah, akhir tahun ini juga, Ta!".
Shasta memandanginya dengan tersenyum. Sebagai sahabat, tentu saja Shasta ikut senang kalau Nina senang.
"Aku memang sudah merasa bahwa Ryan adalah jodohku, Ta! Aku tahu! Aku bisa merasakan itu!" Nina menyambung keharuannya dengan mata berkaca-kaca.
Shasta hanya tersenyum kecil. Hmmm....Mungkin Nina tak ingat, bahwa hampir semua pacarnya mendapat status "calon suami". Nina selalu merasa pacar-pacarnya adalah jodohnya. Shasta sudah ratusan kali mendengar kalimat "Aku yakin dia itu jodohku, Ta! Aku bisa merasakan." dan setiap kali Nina mengatakan itu, matanya selalu berkaca-kaca. Maka kali ini pun Shasta hanya tersenyum. Bukan Shasta ragu pada perasaan Nina, tapi Shasta sendiri tak pernah menganggap bahwa manusia bisa mengetahui siapa jodohnya yang sebenarnya. Lahir, mati dan jodoh adalah rahasia Tuhan. Hanya Tuhan yang mengetahui hal-hal seperti itu. Manusia tak berhak mengetahuinya. Mengeluarkan pernyataan keyakinan, menurut Shasta, sama saja dengan melanggar hak Tuhan atas rahasia-Nya. Namun Shasta tak berkomentar. Ia tak tega merusak kebahagiaan sahabatnya. Shasta percaya, jika waktunya tiba, Nina akan mendapatkan pelajarannya.
Empat bulan yang lalu, Nina mendatangi rumah Shasta dengan wajah sendu.
"Ryan sudah hampir 5 bulan ini tidak pernah memberi nafkah batin untukku, Ta.... Aku curiga dia punya perempuan lain di luar sana..." Tangis Nina meledak. Shasta membiarkan Nina melepaskan emosinya.
"Menurutmu bagaimana, Ta?" tanya Nina ketika tangisnya mereda.
Shasta tersenyum arif, "Aku tidak tahu, Nin... Tapi belum tentu juga."
"Aku sarankan kamu introspeksi diri, atau diskusi lah dengan Ryan. Jangan langsung memvonis dan menuduh, Nin. Tidak baik begitu."
Nina terlihat emosional mendengar saran Shasta, "Aku? Introspeksi?? Aku ini istri yang baik, Ta! Aku istri yang menurut pada suami. Jadi aku rasa bukan aku yang seharusnya introspeksi."
Shasta menatap Nina dingin. "Nin, bagaimana pun, sebuah tindakan pasti ada latar belakang dan alasannya. Ryan tidak mungkin tiba-tiba kehilangan selera padamu! Pasti ada alasan di balik ini semua!"
"Dia PASTI tergoda perempuan lain, Ta!" Nina berkata sambil meremas saputangannya.
"Nina, kamu sudah dewasa. Bukan ABG lagi! Berpikir lah dengan kepala dingin. Jangan dengan emosi begini."
Tiba-tiba Nina beranjak pergi dengan amarah yang masih tergambar di wajahnya. Mungkin ia ingin Shasta sedikit lebih memihak padanya, sementara Shast memilih untuk netral.
Shasta membiarkan Nina pergi. Ia sudah hafal tabiat sahabatnya. Tak ada gunanya menahan-nahan. Shasta hanya merasa sedikit sedih. Ia tak ingin memihak siapa pun. Perempuan seringkali curhat untuk mencari sekongkol, tapi Shasta tidak seperti itu. Ia lebih suka berada di tengah dan memberikan masukan yang netral. Ryan mungkin salah, tapi Nina juga belum tentu 100% di pihak yang benar. Mungkin saja ada sesuatu pada Nina yang membuat Ryan 'ilfeel' mendadak.
"Lima bulan..." batin Shasta. "Seharusnya kamu lebih open-minded, Nin. Jika suamimu sudah sekian lama tak memberi nafkah batin padamu... seharusnya kamu tahu, apa artinya...." Shasta menghela nafas panjang. "Artinya.... dia sudah tak menginginkanmu lagi, Nin... dia tak lagi mau menyentuhmu... Bara api cintanya telah padam." Apapun alasan di balik itu, bagi Shasta, jelas sekali bahwa Ryan sudah tak menginginkan Nina lagi.
Shasta merasakan ada sebongkah gundah yang mengisi rongga dadanya hingga sesak. Ryan tak lagi menginginkan Nina. Sedangkan Nina tak merasa ada sesuatu yang salah pada dirinya. Sebenarnya Shasta tahu duduk permasalahannya karena Ryan sudah seringkali mengeluh padanya di luar sepengetahuan Nina. Ryan menilai Nina terlalu kekanak-kanakan dan tak bisa memahami dirinya dengan baik, tak bisa mengakomodasi keingin-keinginan Ryan dengan cukup baik, tak bisa berdiskusi atas permasalahan yang terjadi tanpa harus diakhiri dengan pertengkaran. Ryan lelah. Ryan sudah menunggu Nina untuk berubah sekian lama, tapi tak ada tanda-tanda ke arah perbaikan. Ryan memang akhirnya kehilangan rasa terhadap Nina. Hal tersebut rupanya sudah terakumulasi setelah sekian lama. Ryan tak sanggup lagi mempertahankan biduk perkawinannya yang semakin hari semakin terasa tak menentu. Jauh sebelum Nina bercerita kepada Shasta, Ryan sudah mulai merasakan kehampaan dalam jiwanya. Ryan merasakan hidupnya bersama Nina hanya sandiwara belaka, untuk menyenangkan hati orang tua dan keluarga masing-masing, bukan untuk saling mengisi satu sama lain. Mungkin proses pacaran yang terlalu singkat dan proses saling kenal yang hanya sekejap telah membuahkan banyak kekagetan ketika mereka meniti rumah tangga bersama.
Sekarang... Nina duduk di samping Shasta sambil menangis tergugu. Nina baru saja menyelesaikan sidang perceraiannya dengan Ryan setelah 4 tahun lebih menikah dan memiliki 1 orang bidadari yang cantik. Shasta memandang sahabatnya dengan perasaan campur aduk. Ingin menghibur tapi tak tahu cara yang tepat. Ingin mengomentari, tapi takut menyinggung perasaan Nina. Akhirnya Shasta hanya diam saja. Membiarkan Nina menumpahkan emosinya sampai tuntas. Akhirnya pelajaran itu datang juga. Pelajaran tentang bagaimana Tuhan membolak-balik hati manusia. Pelajaran tentang bagaimana sebuah keyakinan bukan lah jaminan atas kelanggengan. Sebuah kejadian yang memupuskan semua keyakinan Nina tentang konsep "jodoh" dan "belahan jiwa". Konsep yang sebenarnya tak disetujui Shasta sejak lama.
Sekira 30 menit kemudian tangis Nina mereda. Nina mulai mengatur nafasnya. Shasta memandang Nina tanpa berkedip.
"Aku tidak mengerti, Ta. Kenapa Ryan bisa berubah pikiran. Kenapa cintanya padaku bisa luntur. Apa dia tidak ingat manisnya masa pacaran kami?" Nina menghela nafas. Mencoba meredam emosinya yang masih tak stabil.
"Aku tidak bisa berkomentar apa-apa, Nin. Yang paling tahu situasinya adalah kamu dan Ryan. Aku ini orang luar." Ujar Shasta.
"Tapi kamu kan sahabatku, Ta. Kamu tahu betul semua ceritaku. Aku tidak pernah menutupi apapun dari kamu, Ta." Nina menatap Shasta dengan mata berkaca-kaca.
"Nin... kamu memang sahabatku, tapi bukan berarti aku bisa mengetahui segalanya tentang kamu. Masih ada batasan di mana aku tak bisa masuk. banyak hal yang bersifat pribadi yang tak bisa aku komentari, meskipun aku sahabatmu, Nin..." Bibir Nina bergetar mendengar penjelasan Shasta.
"Kamu tahu kan Ta... saat aku menikahi Ryan, aku yakin sekali kalau dia itu jodohku! Belahan jiwaku yang diberikan Tuhan untuk menemaniku sepanjang hidupku! Aku yakin akan hal itu, Ta. Yakin sekali! Tapi kenapa sekarang semuanya jadi porak-poranda begini? Ini tidak adil untukku!" Nina mulai menangis lagi.
Shasta bimbang... di satu sisi, sebagai sahabat Shasta ingin sekali mengingatkan sesuatu pada Nina. Namun di sisi lain, hati kecilnya melarang ia melakukan hal itu karena mungkin akan menyakiti Nina.
"Dia sangat mencintaiku, Ta. Aku tahu itu! Aku bisa merasakannya! Tidak mungkin dia berpaling jika tidak dipengaruhi orang lain! Dia itu pasangan hidupku, Ta! Belahan jiwaku!" Nina berujar dengan berapi-api.
"Nin... tenang dulu dong.... jangan emosional begitu. Kamu harus bisa mengontrol emosimu." Shasta berusaha meredam emosi Nina.
"Ah, kamu Ta. Tahu apa? Menikah saja belum!" Sambar Nina tajam. Shasta bagai dilempar ke dunia lain. Gelap. Sakit. Ada sesuatu yang robek di dalam jiwanya saat mendengar omongan Nina.
"Nina, dengar ya... aku sahabatmu... ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu sejak lama. tapi aku tak pernah punya cukup keberanian untuk bicara karena takut akan menyakiti hatimu." Shasta akhirnya memilih untuk buka mulut. Nina terpana menatap Shasta.
"Apa yang kamu sembunyikan dariku, Ta?" Nina sedikit curiga.
Shasta menarik nafas dalam-dalam. "Berapa lama kita bersahabat Nin?"
Nina mengerutkan keningnya, "Sudah lama sekali Ta... lebih dari 10 tahun."
Shasta memejamkan matanya sebentar, lalu melanjutkan, "Selama itu, berapa kali kamu pacaran Nin? Dengan berapa laki-laki?"
Nina memandang Shasta dengan tatapan tidak mengerti, "Kamu bicara apa, Ta?"
Shasta menatap tajam pada Nina, "Jawab saja pertanyaanku, Nin."
Nina menghela nafas, "Enam kali, Ta. Aku pacaran dengan 6 orang."
Shasta tersenyum, "Dari 6 orang itu, berapa orang laki-laki yang kamu bilang, kamu yakini dan kamu beri gelar sebagai jodohmu atau belahan jiwamu?"
Nina terkesiap, lalu mengarahkan pandangannya ke meja. Diam. Tak menjawab.
"Nin... kamu dengar pertanyaanku kan...?"
Nina mengangguk kecil, "Semuanya, Ta. Aku selalu bilang padamu bahwa mereka jodohku." Matanya berkaca-kaca kembali.
Shasta menggenggam tangan Nina dengan hangat, "Dari semua laki-laki yang kamu yakini sebagai jodohmu, dengan siapa akhirnya kamu menikah?"
Nina mengangkat wajahnya dan menatap Shasta, "Dengan Ryan..."
Shasta tersenyum, "Kemarin, sebelum kamu menikahinya, kamu sangat yakin bahwa Ryan adalah jodohmu. Kamu bilang, kamu bisa merasakannya. Tapi kamu harus ingat, Nin... kamu juga mengatakan hal yang sama terhadap 5 orang laki-laki sebelum Ryan. Sekarang kamu berpisah dengan Ryan, kamu tidak bisa terima kenyataan ini karena kamu sangat yakin bahwa Ryan adalah belahan jiwamu. Jodohmu. Kamu mencoba mengingkari kenyataan bahwa semuanya bisa berkahir begitu saja. Kamu lupa memikirkan bahwa kemungkinan untuk berpisah selalu ada. Cinta harus dipelihara, Nin... harus 2 arah. Jika salah satu sudah tak lagi bisa memelihara cintanya, maka sulit untuk mempertahankan semuanya. Kamu juga lupa, bahwa Tuhan selalu ikut campur dalam semua urusan manusia. Jika kamu mengingkari semua ini, sama saja dengan kamu mengingkari kuasa Tuhan. Sekarang, apa yang bisa kamu ambil dari kejadian ini Nin?"
Nina menggigit bibirnya sambil menatap pasrah kepada Shasta. Nina merasa dirinya sedikit dihakimi Shasta.
"Kalau kamu mengatakan bahwa kamu yakin seseorang adalah jodohmu, kamu seperti mendahului Tuhan, Nin. Lahir, mati dan jodoh adalah rahasia Tuhan. Tidak ada yang tahu. Walaupun hal-hal itu menyangkut kita, tapi kita tetap tidak pernah tahu apa yang sebenarnya digariskan Tuhan untuk kita. Jangan sampai kamu terlihat seperti mendahului Tuhan dengan pernyataan-pernyataanmu dan keyakinan-keyakinanmu atas hal-hal tersebut. Orang yang kamu nikahi kemarin bisa jadi memang bukan jodohmu. Tapi untuk bertemu dengan jodohmu yang sebenarnya, mungkin kamu memang harus melalui pernikahan dengan Ryan dulu. Kalau kamu tidak menikahi Ryan, kamu tidak akan bertemu dengan jodohmu yang sebenarnya."
Nina termangu mendengar penjelasan Shasta. Mencoba memahami makna dari pembicaraan gadis itu.
"Kadang kita lupa, bahwa ada Tuhan yang mengatur semuanya. Lalu kita akan mencari kambing hitam atas kejadian yang menimpa kita. Kita lupa bahwa semuanya bisa saja memang kehendak Tuhan. Pada saat-saat seperti ini, kita menempatkan diri pada posisi 'korban' yang patut dikasihani dan memerlukan dukungan banyak orang. Aku rasa, itu bukan langkah yang tepat, Nin. Langkah terbaik yang harus kamu ambil adalah merenung dan introspeksi diri. Menelaah diri, adakah hal-hal yang kurang selama ini, atau malah berlebihan? Sebelum kamu mencari kambing hitam, berkaca lah. Sudahkah kamu sempurna tak bercela, hingga semua ini bisa dipastikan sebagai kesalahan orang lain?"
Pikiran Nina mengambang mendengar kata-kata Shasta. Selama ini ia terlalu mengatur Ryan, terlalu cemburu, terlalu cerewet, kurang dewasa, mau menang sendiri dan terlalu banyak curiga. Mungkin Ryan lelah ditekan dengan cara seperti itu. Nina merasakan dadanya hampa sekali. "Shasta benar", pikir Nina, "Ryan tak mungkin mengambil keputusan tanpa ada latar belakang masalah yang jelas. Pasti ada sesuatu dalam diriku yang tak bisa ditanganinya hingga ia akhirnya menyerah. Ryan pasti punya alasan yang kuat untuk berpisah denganku."
Shasta mengeratkan genggamannya "Pasrah lah Nin... jangan dahului Tuhan. Mungkin ini pelajaran dari Tuhan untukmu, supaya kamu lebih berpasrah diri pada-Nya. Kamu boleh saja mengatakan bahwa Ryan atau siapapun adalah yang terbaik untukmu, tapi jangan kamu terlalu yakin bahwa dia adalah jodohmu, karena itu bukan wewenangmu sebagai manusia. Kamu tidak berhak menentukan siapa jodohmu." Shasta meraih bahu sahabatnya. Nina tersenyum sambil menghapus air matanya yang masih mengalir.
Shasta tersenyum arif "Bukannya aku senang dengan perpisahan kalian, tapi keadaan ini harus disikapi dengan dewasa dan hati yang lapang. Seharusnya kamu sudah mulai merasakan kemungkinan adanya perpisahan ini sejak Ryan berhenti memberimu nafkah batin, Nin... Itu adalah tanda yang sangat jelas bahwa dia sudah tak bisa lagi hidup bersamamu."
Nina termangu mendengar penjelasan Shasta. Selama ini ia memang terlalu sibuk mempertanyakan perubahan sikap Ryan namun tak membaca sinyal-sinyal yang telah dilontarkan Ryan secara eksplisit kepadanya.
"Iya Ta... seharusnya aku bisa membaca situasi saat itu, tapi aku terlalu kalut. Terlalu emosional dan terlalu marah saat itu."
Shasta merengkuh bahu Nina, "Ini bukan akhir dari segalanya, Nin.... justru ini adalah awal dari kehidupanmu yang baru..."
Nina mengukir senyum yang masih terlihat pahit di wajahnya, "Terima kasih ya Ta... kamu memang sahabat terbaikku. Aku merasa sedikit lebih baik sekarang."