Miwa Natori mengelola Ban Rom Sai, sebuah rumah di daerah utara Thailand, yang diperuntukkan bagi anak-anak yatim piatu yang terinfeksi HIV. Anak-anak yang tinggal di sana mendapatkan perawatan kesehatan dan bisa bersekolah.
Di sebuah pagi di musim hujan, di mana sisa gerimis masih terasa dan sinar matahari yang jatuh samar-samar terlihat di atas daun-daun yang hijau, ada suara riang anak-anak, dan Miwa Natori berdiri di pintu gerbang untuk menyambut kepulangan anak-anak itu. 24 orang anak yang turun dari bis sekolah memberi salam sesuai adat Thailand kepada Miwa, dan dengan penuh hormat memanggilnya Mei [Ibu] Miwa. Semburat cahaya yang terlihat di langit senja jatuh di wajah Miwa dan memperlihatkan senyumnya yang lembut saat ia memperhatikan anak-anak tersebut masuk ke rumah.
Di sebuah pagi di musim hujan, di mana sisa gerimis masih terasa dan sinar matahari yang jatuh samar-samar terlihat di atas daun-daun yang hijau, ada suara riang anak-anak, dan Miwa Natori berdiri di pintu gerbang untuk menyambut kepulangan anak-anak itu. 24 orang anak yang turun dari bis sekolah memberi salam sesuai adat Thailand kepada Miwa, dan dengan penuh hormat memanggilnya Mei [Ibu] Miwa. Semburat cahaya yang terlihat di langit senja jatuh di wajah Miwa dan memperlihatkan senyumnya yang lembut saat ia memperhatikan anak-anak tersebut masuk ke rumah.
Ban Rom Sai [yang diterjemahkan menjadi “Rumah di bawah pohon Banyan”] adalah rumah anak-anak tersebut. Terletak di Namprae, sebuah pedesaan yang bersuasana tenang di tengah-tengah sawah di luar Chiang Mai, kota terbesar kedua di Thailand. Tempat itu merupakan rumah bagi 28 orang anak berusia antara 2 hingga 13 tahun yang dirawat oleh Miwa dan pegawainya yang merupakan relawan. Seluruh anak penghuni rumah tersebut terinfeksi HIV.
Populasi penduduk di Thailand kurang lebih 63.000.000 jiwa, dan menurut sumber resmi dari pemerintahan, lebih dari satu juta orang terinfeksi HIV/AIDS. Perkiraan tidak resmi malah memperhitungkan angka yang lebih tinggi lagi. Pada tahun 2003 jumlah total anak usia di bawah 14 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV adalah 450.000 jiwa dan diperkirakan sepertiga dari anak-anak tersebut juga terinfeksi HIV. Anak-anak yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV biasanya lahir di dalam lingkungan keluarga miskin dan menjadi yatim piatu di usia 2 tahun. Kebanyakan karena HIV yang diderita berkembang menjadi AIDS dan meninggal tanpa mendapatkan perawatan yang layak. Rata-rata anak-anak tersebut di vonis hanya akan hidup sampai dengan usia 5 tahun, dan semenjak Ban Rom Sai dibuka, 10 anak yatim piatu telah meninggal akibat AIDS yang berkembang dari HIV bawaan.
Miwa tidak membiarkan kemungkinan harapan hidup anak-anak yang tipis mengganggu kehidupan sehari-harinya. “Anak-anak dan saya menjalani hari demi hari tanpa rasa waswas akibat memikirkan kematian,” ujarnya. “Walaupun anak-anak ini terinfeksi virus HIV, jika kita bisa mencegah perkembangan virus tersebut menjadi AIDS, tidak ada alasan untuk tidak menjalani hidup sehat layaknya anak-anak lainnya.” Diskriminasi dan kemiskinan menghalangi anak-anak yang terinfeksi HIV tersebut dari mendapatkan pendidikan formal, bahkan saat mereka telah mencapai usia sekolah sekalipun. Namun atas usaha dan dorongan para staff pendidikan setempat, 24 anak dari Ban Rom Sai dapat mengenyam bangku pendidikan mulai dari tingkat TK hingga SD di dekat Chiang Mai setiap hari. Terdapat pula beberapa relawan Jepang yang membantu dengan cara memberikan pelajaran melukis, keramik, renang dan pelajaran-pelajaran lain yang mendukung kemampuan anak-anak tersebut.
Miwa menjelaskan, “Salah satu dari sekian banyak hal bisa saya lakukan adalah dengan mencoba untuk mengembangkan pemikiran anak-anak ini dengan mendorong mereka untuk mencoba berbagai macam kegiatan yang berbeda. Harapan saya adalah bahwa anak-anak tersbut akan menemukan kegiatan yang menarik minta mereka dan dapat memperkaya hari-hari mereka.” Ketika Miwa mendapati seorang anak mengamati dengan seksama seekor siput yang merayap, atau mendengarkan suara air hujan yang turun dengan penuh minat, atau menunggu dengan tidak sabar munculnya tunas dari biji semangka yang baru ditanam, Miwa tergerak untuk merenungkan apa sebenarnya yang menimbulkan kebahagiaan di dunia ini. “Jika anak-anak menemukan apa yang menarik minat mereka, apapun itu, dan menggunakannya untuk memperkaya kehidupan mereka, saya yakin bahwa hal tersebut akan menumbuhkan rasa percaya diri mereka,” ujarnya. “Suatu hari anak-anak dari Ban Rom Sai akan keluar dan memasuki dunia yang sesungguhnya, dan akan melawan semua jenis prasangka negatif serta diskriminasi. Itu lah mengapa saya merasa bahwa membangun rasa percaya diri dan memberikan dorongan adalah hal yang sangat penting. Saya tidak ingin mereka melewati kehidupan dengan berpikir bahwa bertahan hidup adalah satu-satunya hal penting yang harus dilakukan setiap saat.”
Miwa terlibat dalam pengelolaan Ban Rom Sai secara tidak sengaja. “Saya tidak punya pengalaman khusus dalam hal yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial. Saya hanya membiarkan hidup saya mengalir tanpa tujuan yang pasti, menjelajah dari satu situasi ke situasi yang lain,” akunya. Putri tertua dari pionir jurnalis foto Yonosuke Natori ini menempuh pendidikan di Jerman sejak umur 16 tahun. Setelah menikah dan bercerai dua kali, ia membesarkan putrinya seorang diri. Ia menghabiskan waktu di Eropa dan Jepang, mengerjakan berbagai macam pekerjaan; beberapa pekerjaan yang pernah dilakukannya antara lain adalah sebagai interpreter, fotgrafer dan koordinator fotografi. Selama periode perbaikan ekonomi tahun 1980-an, ia membuka toko yang menjual barang antik a la barat di Tokyo. Ternyata sebuah kesempatan, yang telah mengubah seluruh hidupnya, datang saat ia terlibat dalam bisnis desain tekstil di tahun 1997. Ketika sedang mencari bahan yang cocok di Chiang Mai, ia mendatangi seorang kawan lama, seorang dokter berkebangsaan Jerman, yang mengenalkannya kepada beberapa orang ibu muda yang sedang berada di stadium final penyakit AIDS. Miwa sangat shock. “Ibu-ibu ini hidup dalam kemiskinan dan sekarat karena menderita AIDS; mereka selain mengkhawatirkan kesehatan mereka sendiri juga sangat mengkhawatirkan nasib anak-anak mereka. Sebagai seorang ibu, saya sendiri mencoba untuk membayangkan bagaimana perasaan mereka. Pada saat itu, saya mengambil keputusan untuk membantu mereka dengan segenap tenaga yang saya miliki.” Ungkapnya.
Pada tahun berikutnya Miwa pindah ke Chiang Mai. Ia mulai memberikan bantuan dengan mendirikan kelompok perempuan yang terinfeksi HIV untuk menjahit hiasan yang bisa digunakan untuk menghias interior rumah. Pada tahun 1999 ia mengatur perolehan donasi untuk membantu pekerjaannya dari Giorgio Armani Japan Co., Ltd dan ia membuat rencana untuk membuat fasilitas bagi anak-anak yatim piatu yang terinfeksi HIV. Setelah mendapati tempat yang cocok dan membuat seluruh persiapan untuk mulai membangun fasilitas tersebut, ia ditunjuk sebagai direktur untuk mengelola tempat tersebut. Sampai ia membuka panti tersebut, Miwa tidak memiliki ketertarikan khusus terhadap kesejahteraan sosial, dan ia tidak punya pengetahuan khusus mengenai HIV. Tiba-tiba ia dihadapkan pada permasalahan perawatan anak-anak yang hidupnya bergantung padanya, setelah membuka Ban Rom Sai ia berjuang setiap hari melewati berbagai masalah. Bahkan saat ini pun ia masih dihadapkan pada tugas-tugas seperti mengurus kesehatan anak-anak, memilih perawatan kesehatan yang benar, memilih sekolah, dan fakta bahwa anak-anak tersebut bertambah besar setiap hari; hal-hal yang tidak berangsur menjadi mudah dari hari ke hari. Biasanya anak-anak dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah memerlukan perhatian dan perawatan dua kali lebih intensif dari anak-anak yang sehat; setiap hari adalah perjuangan untuk memastikan anak-anak di rumah tersebut mendapat diet yang seimbang dan kamar-kamarnya dalam keadaan bersih, bahkan semburan bersin dari seorang staff pun dapat menyebabkan kepanikan. Sebagian besar dari anak-anak tersebut telah memasuki masa puber dengan segala macam problema remaja, dan banyak yang memerlukan pengobatan khusus yang dapat menimbulkan efek samping; masalah yang ada di dalam rumah tersebut sungguh tak berujung, dan setiap masalah harus dihadapi dan diselesaikan.
“Rasa khawatir di sini tidak ada habisnya,” ujar Miwa. “Setiap masalah dapat menimbulkan efek langsung yang berbeda-beda pada kehidupan anak-anak. Sejujurnya, saya kadang berpikir, bagaimana jika saya kalah sebelum berperang...” Namun walaupun demikian, ia tahu betul bahwa ia tidak bisa terus menerus tenggelam dalam pemikiran negatif; ia harus menghadapi setiap masalah kapan pun masalah itu datang.
Saat ini, Ban Rom Sai sangat tergantung pada donatur yang terdiri atas perusahaan, kelompok dan perorangan, namun Miwa memiliki tujuan untuk mengurangi ketergantungannya terhadap para donatur dan menambah pemasukan di masa depan dengan membuat usaha yang menghasilkan uang. Ban Rom Sai telah mempekerjakan beberapa staff spesialis dan mulai membuat proyek untuk mensuplai barang-barang kerajinan celup serta tekstil ke pasar Jepang.
Miwa tidak memandang Ban Rom Sai hanya sebagai sebuah fasilitas atau institusi. “Suatu hari, anak-anak akan meninggalkan tempat ini untuk menjalani hidup mereka sendiri. Tapi saya ingin mereka berpikir bahwa di tempat ini mereka akan selalu diterima dengan hangat dan terbuka. Mereka akan selalu bisa kembali ke sini tanpa rasa rikuh sama sekali. Saya ingin mereka merasa bahwa mereka adalah bagian dari keluarga besar ini. Saya sama sekali tidak ingin membuat Ban Rom Sai jenis institusi yang membuat anak-anak membela dirinya sendiri setelah menginjak usia 18 tahun. Saya ingin bisa memberi sejenis pelatihan kepada anak-anak atau ketrampilan yang akan membantu mereka dalam mencari pekerjaan, atau malah menciptakan lapangan kerja bagi mereka sendiri. Mereka akan mendapatkan banyak saran dan masukan dan dapat memberikan bantuan untuk anak-anak yatim yang terkena AIDS, yang datang ke sini di masa yang akan datang; tentu akan sangat menyenangkan jika mereka dapat hidup bersama di sini dan saling membantu satu sama lain dalam kehidupan mereka.”
“Jalan di depan penuh dengan tantangan dan halangan bagi anak-anak yang hidup dari hari ke hari dengan HIV. Di sela-sela keseharian yang sulit itu, saya berharap mereka akan duduk satu atau dua menit di bawah bayang-bayang pohon Banyan yang teduh dan mengingat bahwa mereka tidak sendirian.”
Keinginan tersebut merupakan keinginan Mei Miwa yang abadi, yang tetap ada selama ia menunggu dan menyambut anak-anak pulang sekolah setiap sore di Ban Rom Sai, rumah di bawah pohon Banyan.
Artikel Yukichika Murayama – majalah Asia – Pacific Perspective