Jakarta siang itu cerah sekali. Sejak pagi tak ada awan mendung yang menggantung. Hari itu, 30 Maret 2012 aku memantapkan hati untuk bergabung dengan teman-temanku di Senayan. Hari itu adalah puncak segala hari. Setelah beberapa hari melakukan aksi protes demi menolak kenaikan harga BBM. Sejak tanggal 27 Maret aksi sudah bergulir dan 30 Maret adalah puncaknya.
Pukul 1 siang aku tiba bersama Ical yang menjemputku di FX. Motor Ical mogok, untung tidak jauh lagi dari Gedung DPR. Setelah sampai di tempat parkir, kami berjalan bergegas seolah takut tertinggal momen bersejarah itu. Ini aksi besar pertama buatku... dan buat Ical juga. Kami tidak boleh terlambat! Tiba di lokasi, kami bertemu Iman & Vero. Lalu bersama-sama kami mencari Dhyta & Bhaga. Berkumpul bersama saling berbagi informasi tentang apa yang sudah berlangsung sejak pagi. Peserta aksi yang didominasi oleh serikat pekerja terlihat menyebar di jalanan depan Gedung DPR. Beberapa kelompok mahasiswa juga terlihat di lokasi. Pagar pembatas antara jalan raya dan jalan tol roboh sebagian. Kabarnya teman-teman dari kelompok buruh menerobos masuk dari jalan tol. Bendera-bendera konfederasi, asosiasi, serikat pekerja, LSM, BEM berkibaran memenuhi pelataran depan gedung DPR.
Vero mengatakan bahwa dia masih memiliki akses ke dalam gedung DPR karena dia pernah bekerja di sana. Namun dia memilih untuk mengontak temannya yang ada di ruang sidang & bertahan bersama kami di luar. Informasi terkini akan didapat dari temannya yang ada di dalam ruang sidang. Rapat Paripurna yang dijadwalkan berlangsung pagi ternyata diundur selama 4 jam dengan alasan sholat Jum'at. Maka kami harus menunggu. Kabarnya rapat akan dimulai pukul 2 siang.
Peserta menunggu sambil berorasi, meneriakkan yel-yel dan memasang lagu-lagu Iwan Fals. Sementara itu peserta tambahan terus berdatangan. Semakin sore, semakin banyak. Lalu Vero memberitahu bahwa menurut info dari dalam ruang sidang, voting direncanakan akan dilakukan antara pukul 5 sore hingga 7 malam. Kami harus menunggu lagi. Sepertinya ada unsur kesengajaan membuat peserta lelah. Tapi anggota dewan tidak tahu bahwa semangat kami tidak akan padam hanya karena keharusan menunggu. Maka kami tunggu... Sambil menunggu Dhyta memberitahu kami rute evakuasi yang bisa dilalui jika terjadi kerusuhan. Lari ke arah flyover terus sampai kampus Atma Jaya atau ke arah Slipi dan masuk ke fasilitas umum apapun yang ada.
Menit demi menit berlalu, suasana mulai terlihat agak panas. Beberapa orang terlihat menaiki pagar dan menggoyang-goyang pagar. Mencoba merobohkan. Siapa mereka? Tidak jelas. Teman-teman serikat pekerja semua datang dengan menggunakan seragam. Baik itu seragam serikat pekerja atau seragam kerja mereka. Sementara teman-teman mahasiswa datang dengan mengenakan jaket almamater masing-masing. Apakah orang-orang ini penyusup? Kami tidak tahu. Bisa jadi. Melihat potensi keributan, kami mundur ke arah flyover Senayan sedikit. Irfan dari sayap Slipi mengabariku bahwa di areanya sudah terjadi provokasi. Ada yang melempar batu ke arah pasukan anti huru hara yang berjaga di halaman gedung DPR. Irfan meminta aku dan teman-teman lainnya untuk tetap di sayap Senayan. Dari waktu ke waktu Irfan dan aku saling kontak untuk memberi informasi posisi atau kejadian yang ada di sayap masing-masing.
Tiba-tiba kami mendengar ada bentrokan kecil antara mahasiswa dengan teman-teman serikat pekerja di gerbang utama. Kabarnya, teman-teman mahasiswa ingin merobohkan gerbang utama tapi dicegah oleh teman-teman serikat pekerja. Kurang jelas juga kebenaran berita tersebut, tapi yang pasti teman-teman dari serikat pekerja memutuskan untuk mundur dan memberi tempat kepada mahasiswa. Mereka sendiri mundur sampai ke jembatan penyeberangan dan melakukan koordinasi antar mereka serta orasi di sana, diselingi dengan pemutaran lagu-lagu revolusi. Suasana yang tergambar sungguh tidak menakutkan. Dengan segala bendera, atribut organisasi, musik, orang-orang yang bercanda dan berkenalan satu sama lain di tengah para pedagang makanan dan minuman, aku merasa seperti sedang berada di sebuah pesta rakyat! Tapi aku tahu bahwa ada kemungkinan semua itu akan berubah 180 derajat dalam hitungan detik jika terjadi bentrokan.
Kelompok mahasiswa segera menggantikan tempat teman-teman serikat pekerja di depan gerbang utama gedung DPR. Pagar pinggir sudah roboh, tapi polisi menghadang teman-teman yang ingin merangsek masuk. Niat untuk masuk pun diurungkan, tapi gerbang utama masih terus digoyang... Dicoba untuk dirobohkan. Teman-teman serikat pekerja yang menamakan diri mereka Garda Metal mulai menyusun barisan sendiri. Di halaman gedung DPR, lapis pasukan anti huru-hara mulai ditambah dan posisi mereka semakin dekat dengan pagar yang membatasi. Banyak yang melihat hal tersebut sebagai bentuk intimidasi kepada peserta aksi. Beberapa orang mulai gelisah melihat potensi bentrok yang sangat besar dan memutuskan untuk mundur ke titik aman, halte bis DPR & jembatan penyeberangan. Helikopter polisi dan media tidak henti hilir mudik di atas kami. Setiap kali keduanya melintas, peserta aksi akan berseru sambil mengacungkan kepalan tangan ke arah mereka.
Ketika sedang mengamati apa yang terjadi, tiba-tiba Vero memberi info terbaru tentang situasi di dalam ruang sidang, "Mereka reses sampai jam 8 malam!", aku melihat jam di tanganku, baru pukul 5.30! Lagi-lagi kami harus menunggu. Tampaknya skenario untuk membuat peserta kelelahan memang benar-benar sudah dilaksanakan. Jika kami kelelahan, maka kemungkinannya adalah pertahanan kami lemah dan akan mudah dipukul mundur oleh pasukan anti huru-hara. Mereka tidak tahu apa-apa tentang kami... Tak lama kemudian kami mendengar bahwa gerbang utama sudah berhasil dirobohkan... Tapi tak ada peserta yang memaksa masuk lebih jauh karena beberapa lapis pasukan anti huru-hara sudah menanti bersama mobil water cannon. Korlap yang mengomandoi aksi ketika itu mengajak teman-teman yang lain untuk bersabar.
Lepas maghrib, lewat dari pukul 8 malam, kami tidak lagi punya kesabaran untuk menunggu. Kami pun menghampiri gerbang utama. Tak ada lampu yang menyala selain lampu sorot besar dari dalam halaman gedung DPR. Lampu itu menyoroti kami, tapi kami tak bisa melihat ke dalam. Tidak tahu seberapa banyak pasukan yang menanti di dalam. Sudah bertambahkah? Sudah semakin maju kah posisinya? Tidak bisa terlihat. Mahasiswa sudah mulai membentuk barisan pagar betis. Berhadapan langsung dengan polisi. Peserta aksi lainnya masih banyak tapi belum membentuk barisan. Kami pun masih berunding, mencari kesepakatan. Kesepakatan untuk maju dan skenario evakuasi bersama.
Akhirnya kami semua sepakat untuk maju. Tuntaskan saja, jangan tanggung-tanggung! Dhyta sempat bertanya padaku, "Yakin?", aku jawab "Yakin!!". Lalu aku menanyakan pertanyaan yang sama kepada Shera, karena ini juga aksi besarnya yang pertama. Shera menjawab, "Yakin!" Maka majulah kami bersama. Bergandeng tangan... Hari itu kali pertama aku bertemu Shera secara langsung. Biasanya kami hanya saling melihat nama masing-masing di Twitter saja.
Ada perasaan aneh yang menyusupi hatiku. Adrenaline rush. Ngeri, tapi tak sudi mundur. Ngeri, tapi nikmat. Sadomasochistic! Begitu pikirku. Mungkin aku sudah jadi "adrenaline junkie", mungkin juga karena akhirnya aku bisa 'menebus dosa'-ku yang tidak melakukan apa-apa di aksi-aksi sebelumnya. Mungkin juga excited karena aku menjadi saksi langsung atas salah satu peristiwa bersejarah di negara ini. Entah lah... Tapi yang jelas aku dan teman-teman sudah meneguhkan hati dan niat untuk maju. "Apapun yang tejadi, jangan lepas tangan ya?" aku berkata kepada Shera. Dia mengangguk. Tak lama kemudian kami diberi aba-aba oleh korlap untuk maju selangkah demi selangkah. Teman-teman lain masih berusaha merobohkan pagar di sisi kanan kami. Kami maju selangkah demi selangkah. Tiba-tiba beberapa orang di sebelah kanan Shera melepaskan pegangan tangannya dan menjauh dari barisan. Begitu pula beberapa orang di belakang kami. Mungkin mereka berubah pikiran. Mungkin mendengar kabar dari intel yang berseliweran di antara peserta. Atau mungkin juga mereka adalah para intel penyusup yang ditugasi untuk memprovokasi. Entah lah... Aku tidak peduli lagi.
Samar-samar di antara lampu sorot yang menyilaukan aku melihat bayang-bayang pasukan anti huru-hara yang berseragam lengkap. "Harusnya 3 baris paling depan itu perempuan, biar mereka rikuh untuk menyerang..." begitu pikirku. Aba-aba dari korlap di atas mobil komando masih terus meminta kami untuk maju selangkah demi selangkah. Namun tiba-tiba barisan mundur. Rupanya mobil yang dilengkapi dengan water cannon merangsek maju. Sejurus kemudian Timur Pradopo datang dan berdiri di depan barisan. Entah memberikan keterangan kepada rekan-rekan wartawan atau bernegosiasi dengan teman-teman di barisan depan, kami tidak tahu. Kami tidak bisa mendengar apapun. Yang aku tahu, Timur berdiri dikelilingi wartawan. Itu saja.
Lalu tiba-tiba area di sebelah kanan kami riuh. Pagar sudah roboh!!! Korlap segera memberi aba-aba kepada teman-teman yang merobohkan pagar untuk segera membentuk barisan yang sama. Namun instruksi itu terabaikan. Mereka merangsek masuk, polisi merangsek maju. Kami pun maju. Tapi belum jauh kami berjalan, terdengar suara letupan disertai dengan pendar-pendar bunga api dari sebelah kanan kami. Aku terpana. Dalam masa sepersekian detik aku teringat kembang api air mancur yang sering disulut oleh aku dan sepupuku ketika Lebaran dan tahun baru. Lamunan itu tak berumur lama, karena sedetik kemudian aku melihat pendar-pendar cahaya berwarna hijau, merah dan kuning yang keluar bersama bunga api itu meluncur ke arah kami. Bedanya, kembang api Lebaran biasanya kami sulut ke
langit & ketika meledak akan keluar bunga api yang indah. Aku menunduk sambil menarik Shera. Pijaran bunga api melesat di atas kepala kami, lalu pecah mengasap ketika menyentuh tanah. "Gas air mata!! Sialan!" Begitu pikirku. Aku dan Shera segera berbalik dan mulai berlari bersama menjauhi gerbang. Tembakan gas air mata terus berdatangan. Sebagian dari bunga apinya jatuh memercik di kepala kami, dan beberapa kali jatuh tepat di depan kami. Aku dan Shera terus berlari bersama dengan mata setengah tertutup dan menutup hidung sambil menahan nafas sebisanya tanpa melepaskan genggaman kami. Tidak seperti kembang api Lebaran atau tahun baru "Kembang api" yang ini ditembakkan ke arah kami (bukan ke atas atau ke arah kaki kami!) & ketika jatuh
akan menebar asap pedih yang membuat mata berair serta sesak nafas.
Ketika salah satu gas air mata itu ada yang jatuh tepat di kakiku, aku menutup mataku rapat-rapat, tapi terlambat menahan nafas. Seketika rasa pedih yang menusuk masuk ke hidung dan terasa hingga ke pangkal hidung, sesak... Shera menarik tanganku untuk mengajakku menghindar dari asap. Kami terus berlari sambil bergandengan. "Kalau jatuh, ya jatuh bersama. Lari, ya lari bersama." batinku. Tapi saat itu kaki kami seolah punya mata sendiri. Atau mungkin naluri yang menuntun. Ketika akhirnya tiba di jalan, ada seorang ibu penjual minuman yang mencegat peserta yang berlarian, termasuk kami. Beliau dengan cepat mengoleskan odol di bawah mata kami, lalu berkata, "Cepat! Cepat!", menyuruh kami untuk segera berlari lagi. Beberapa meter kemudian kami agak melambatkan lari kami. Shera batuk-batuk. Kami berdua terengah-engah di tengah asap. Aku tanya apakah dia mau minum, tapi dia menggeleng. Dan kami terus berlari ke arah flyover Senayan. Di depan kami ratusan anggota Garda Metal sudah membentuk pagar betis. Tujuannya adalah jika pasukan anti huru-hara datang mengejar, mereka yang akan menghadang sebisa mungkin sampai kami berada di tempat yang netral dan aman. Namun barisan mereka yang begitu rapat dan manutup seluruh badan jalan membuat kami tak bisa leluasa lewat. Sampai akhirnya korlap mereka berteriak, "WUOOIII! GARDA METAL!!! KASIH JALAN...!!!" Mungkin mereka juga mengalami adrenaline rush sehingga terpaku. Tapi tidak apa, kami tahu niat mereka baik. Setelah berhasil melewati pasukan Garda Metal, aku dan Shera berlari lagi.
Tak lama kemudian telepon genggamku mulai berdering. Pertama Ayah. Kedua Iman. Ketiga Irfan. Dan keempat kalinya Ical. Semua menanyakan ke arah mana kami pergi dan dimana akan bertemu. Meeting point kami adalah di bawah flyover Senayan, di mana ambulance parkir. Kami rasa itu adalah area yang paling aman. Tidak jauh di depan kami, aku melihat Iman dan Bhaga, di sebelah mereka ada Bunda dan Donie. Lalu kami kejar mereka. Kami berjalan bersama menuju meeting point kami. Flyover Senayan sudah di depan mata, tapi terasa sangat jauh...
Setibanya di bawah flyover, kami duduk di pinggir jalan sambil mengatur nafas. Bhaga memutuskan untuk mengawasi massa, berjaga-jaga untuk memanggil teman-teman yang lain. Tidak lama kemudian Ayah, Dhyta dan Ical mulai berdatangan. Kami berbagi minuman dan mengatur strategi lanjutan. Kami melihat ada 1 orang yang digotong & 1 orang dibawa dengan menggunakan motor menuju ambulance, dan salah satu petugas medis terkena gas air mata cukup parah. Belum ada 15 menit kami duduk, tiba-tiba Dhyta berseru, "Berdiri! Berdiri!!!' Kami semua melompat berdiri, memandang ke arah jalan depan gedung DPR. Seketika kami melihat sekumpulan orang berlari ke arah kami sambil berteriak, "Munduuuuurrr...!!!!" Tanpa pikir panjang lagi kami mulai berlari. "Shera!!!" aku berseru sambil mengulurkan tanganku pada Shera, dia segera menggengam. Kami semua berlari ke tepi trotoar yang gelap dan terlindung pepohonan. Kami berhenti disana. Aku menghitung teman-teman yang ada. Dhyta datang belakangan. Ical tidak ada....
Di bawah lindungan pepohonan kami melihat dan mendengar. Teriakan-teriakan. Langkah-langkah orang yang berlarian. Molotov. Suara tembakan. Sirene. Kami tidak tahu separah apa rusuh yang kedua itu. Tapi dugaan kami pasukan anti huru-hara sudah bergerak keluar untuk mengejar kami dan mungkin bentrok dengan Garda Metal yang memang pasang badan. Yang kami tahu, lagi-lagi tembakan gas air mata bahkan molotov diarahkan kepada kami. Suasana sudah tidak kondusif lagi, maka kami memutuskan untuk menjauh dari titik konflik. Kami sepakat, Sevel STC adalah meeting point kami berikutnya. Aku tidak ikut dan memilih untuk pulang karena beberapa sahabatku khawatir, mereka ingin bertemu malam itu juga. Mereka melihat liputan berita kerusuhan itu di TV dan tidak bisa tenang sebelum melihatku datang dalam keadaan selamat.
Dalam perjalanan pulang aku teringat pada ibu pedagang minuman yang mengoleskan odol di bawah mata kami. Ketika pedagang lain sibuk menyelamatkan diri & barang dagangan mereka, si ibu ini bertahan di tempatnya dan bahkan membantu kami dengan caranya sendiri. Dia tidak egois. Dia berdiri di sana, menunggu dan mamanggil siapapun yang terlihat olehnya tidak "terlindungi". Dia berdiri di tengah kepul asap gas air mata yang cukup pekat di sekitarnya. Dia sudah berkontribusi mendukung perjuangan kami dengan penuh keberanian.... Itulah sebenar-benarnya esensi dari sebuah perjuangan: keteguhan, ketulusan dan keberanian!
Malam itu aku belajar banyak tentang keteguhan hati, perjuangan, ketulusan, keberanian, kepedulian, persahabatan dan kebersamaan....
[malam itu aku kemudian hanya memantau situasi lewat twitter dan TV. Aku mendapati bahwa kerusuhan masih terus berlanjut hingga hampir tengah malam. Water cannon akhirnya dikeluarkan untuk menyapu bersih peserta aksi yang tersisa dan polisi melakukan penyisiran ke daerah Slipi & Bendungan Hilir untuk mencari demonstran yang lari ke arah sana... Tapi semua temanku selamat dan tidak ada yang diciduk]
[hasil voting yang diumumkan pada sekira pukul 1 malam memang akhirnya memutuskan bahwa harga BBM tidak akan naik pada 1 April. Namun ini berlaku dengan syarat & kondisi tertentu. Ada kemungkinan peninjauan ulang setelah 6 bulan. Tidak apa-apa... Setidaknya perjuangan ini sudah berhasil untuk jangka pendek....]
Jakarta, 01 April 2012
Terima kasih untuk Dhyta, Ical, Iman, Vero, Ayah, Bunda, Donie, Shera, Irfan, Christian, Bhaga untuk persahabatan, perjuangan dan kebersamaannya ~ NO ONE IS LEFT BEHIND...
Dan untuk semua yang sudah mendukung dari jauh...
Untuk yang sudah nyinyir pada gerakan ini... #AHsudahlah.... *nggak penting juga mikirin apa kata #KelasMenengahNgehe*
Dear Year 1998, aku sudah menebus kecuekanku padamu...
Sekarang kita impas...!