Bukan salahku jika ternyata aku lahir sebagai anak tunggal dan tidak memiliki kakak, abang maupun adik dari keluarga yang akhirnya berantakan. Bukankah anak-anak tidak pernah mendapat kesempatan untuk memilih siapa orang tuanya dan berapa banyak saudara yang diinginkan atau sebagai anak ke berapa….? Anak-anak harus menerima keadaan mereka sejak lahir…..apakah orang tua mereka adalah pasangan harmonis atau bukan….terhormat atau tidak…..lengkap atau tidak……berpendidikan atau blangsak……pejabat atau penjahat….. Dan kadangkala, anak-anak harus menerima buah dari perbuatan orang tua mereka. Berjalan ke-mana-mana dengan cap di dahi mereka: ANAK HARAM…..ANAK PENJAHAT….ANAK KORUPTOR….ANAK MALING….ANAK PELACUR…..ANAK PEJABAT…..ANAK MENTERI….ANAK TUKANG BECAK….ANAK PENGAMEN…..ANAK DOKTER….ANAK COPET……dan masih banyak lagi gelar-gelar normatif lainnya yang harus disandang semata-mata karena perbuatan orang tua mereka. Aku menyebutnya sebagai “Perkosaan Jiwa”. Karena bagaimana pun, si anak tidak pernah punya kesempatan untuk memilih yang terbaik bagi dirinya. Sedangkan orang tua dengan semena-mena menempelkan sembarang cap di dahi anak-anak dengan dalih otoritas kekuasaan dan ego orang dewasa.
Bukan pula salahku jika pada akhirnya aku harus terbiasa dalam suasana sepi setelah ayahku memilih untuk meninggalkan aku dan ibuku. Berjuang melewati masa-masa tersulit dalam masa remajaku untuk sekedar menunjukkan kepada lingkungan, keluarga dan ayahku….bahwa aku bisa bertahan tanpa seorang ayah. Mati-matian mengerahkan segala daya dan upaya untuk membuat bangga ibuku, agar beliau bisa bercerita ke tiap sudut kampungku tentang keberhasilan yang aku capai seiring dengan capku sebagai “ANAK BROKEN HOME”. Sebuah papan nama di dada yang seringkali menumbuhkan rasa iba dan simpati, namun juga sekaligus cibiran dan apriori tentang kehancuran mental personilnya. Dan aku harus membawa papan nama itu sejak umurku 18 tahun. Sesaat setelah cita-citaku yang pertama tercapai. Pergi ke luar negeri sendiri. Kebanggaanku sebagai penerima bea siswa ke luar negeri hanya bertahan setahun. Sesaat setelah aku kembali ke rumah, kabar itu datang. Aku diam. Tidak menangis. Tidak marah. Tidak bereaksi. Mungkin itulah reaksiku. Diam. Berhari-hari aku diam. Tidak bicara pada siapapun. Tidak dengan ibuku…apalagi dengan ayahku. Aku hanya pergi keluar bersama sepupuku dan tidak pulang ke rumah selama beberapa hari. Namun bukan berarti aku jadi blangsak. Tidak. Otakku berputar dan hatiku dipenuhi dendam. Aku ingin membalas semuanya dengan caraku sendiri. Tidak dengan cara yang biasa dilakukan kebanyakan orang. Aku tidak suka disamakan dengan orang lain. Aku suka yang berbeda, maka aku akan lakukan caraku….yang mungkin tak pernah terpikir oleh orang lain.
Kalau aku bisa memutar kembali tiang waktu, tentu aku akan menuntut pada Tuhan agar aku dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang harmonis, berkecukupan dan lengkap. Hingga aku tak perlu merasakan makan nasi merah dengan kerupuk dan kecap saat orang lain makan nasi putih dengan ayam goreng….atau bermain dengan benda seadanya di sekitarku sementara teman-teman sekolahku sibuk bertukar mainan model terbaru yang sedang ngetren. Atau sekedar hidup dalam sebuah rumah mungil yang nyaman dengan segala fasilitas yang memadai, daripada sebuah paviliun kontrakan sempit yang bahkan hanya punya satu kamar tidur. Sehingga aku harus berada dalam satu kamar yang sama dengan ayah dan ibuku.
Namun aku tak punya kuasa untuk memutar balik waktu, jadi kuputuskan untuk mensyukuri apa yang telah aku dapatkan selama ini walaupun pahit. Aku percaya, Tuhan menyayangi semua umatnya. Hanya saja, kadang cara-Nya ganjil dan tidak mudah untuk kita terima seketika. Hikmahnya kadang baru terasa kemudian. Bahkan tak jarang puluhan tahun kemudian baru kita tahu hikmah tersebut.
Masa kecilku sebenarnya cukup menyenangkan. Entah kenapa….walaupun aku tak punya benda-benda mewah seperti teman-temanku, aku cukup senang. TV di rumah kontrakan kami hanyalah TV hitam-putih model lama yang gambarnya sudah mulai suram. Sementara di sekolah, teman-temanku sibuk membicarakan film video terbaru yang mereka anggap paling heboh dan keren. Saat mereka berkutat dengan boneka Barbie, aku cukup puas bermain dengan balok-balok kayu sisa lemari buatan ayahku….atau kaleng-kaleng bekas yang aku cat dan aku warnai dengan cat akrilik milik ayahku. Aku tidak pernah iri dengan keadaan teman-temanku….karena mereka masih sering mengajakku bermain atau nonton video di rumah mereka. Bagiku, ada ataupun tidaknya benda-benda itu tidak menjadi masalah, sebab aku masih bisa merasakannya dengan cara yang berbeda. Aku punya ‘harta karun’ sendiri yang tidak semua orang punya. Hampir tidak seorangpun dari teman-temanku memiliki ‘harta karun’ sebanyak milikku…..BUKU. Biarpun mereka punya mainan paling gres atau video player dan TV berwarna….untuk urusan buku, mereka datang padaku karena hanya aku yang memiliki koleksi buku cukup banyak. Ayah & ibuku, juga seluruh keluarga besarku di Semarang selalu membelikan paling sedikit 1 buah buku setiap bulannya untuk menambah koleksi di lemariku.
Aku tak pernah menyesali keadaanku yang harus tinggal bersempit-sempit di rumah kontrakan kecil. Bagiku tak ada bedanya. Toh rumah nenekku di Semarang luas dan nyaman, sehingga aku selalu memuaskan diri selama berlibur di sana. Kadang aku bertanya-tanya sendiri, nenekku adalah anggota dewan daerah, kakekku pejabat di sebuah perusahaan pemerintah yang mengurusi soal hutan dan penghijauan lahan, rumah mereka sangat luas dan bahkan memiliki kolam renang pribadi, terletak di daerah elit kota Semarang…..namun mengapa ayahku tidak sedikitpun mewarisi segala kemewahan tersebut? Kelak kemudian aku akan tahu, mengapa nenek dan ibuku selalu melarang aku berhubungan serius dengan laki-laki yang menancapkan idealsime diri sebagai seniman.
Sepertinya sejak kecil secara tak sengaja aku telah memiliki filosofi untuk menikmati apapun yang aku raih dan miliki hari ini, dan tidak terlalu mengkhawatirkan hari esok. Aku memiliki oom dan tante yang menyayangiku….sepupu yang nakal dan sepasang kakek-nenek yang baik hati. Semua itu cukup untuk mengganti kepedihan akan keluarga yang berantakan sejak aku masih kecil.
Sungguh aku memang merasakan betapa labilnya masa remaja. Beruntung pengalamanku jauh dari tanah air pada usia yang masih terbilang terlalu muda, telah menempa mentalku, hingga sedikitnya aku dapat belajar untuk bertahan dalam badai walaupun perahu kecilku terombang-ambing.
Aku tahu bagaimana harus bertahan saat aku tak punya siapa-siapa yang bisa diandalkan. Aku tahu bagaimana harus bertahan saat semua orang tak mau datang membantu dan pergi meninggalkanku. Aku tahu rasanya berdiri sendiri dalam rasa sakit dan tak seorang pun datang untuk menghibur. Aku tahu bagaimana rasanya tersingkir dan terlupakan. Aku tahu seperti apa rasanya tak didengar. Pendeknya aku tahu persis bagaimana rasanya menahan gejolak kepedihan dalam hati yang lapar akan kasih sayang dan belaian. Merasa iri melihat orang lain yang hidupnya dipenuhi kehangatan.
Bukannya aku tak punya perasaan. Jangan kira aku tak pernah menangis. Aku menangis. Berjam-jam dan berhari-hari…..namun bukanlah kesedihan yang mengisi hatiku…..aku menangis karena merasa jiwaku hampa dan sepi, namun lebih sering ak menangis karena aku merasa marah. Marah pada keadaan dan marah kepada Tuhan yang ku anggap tidak adil. Aku tak punya saudara kandung, sehingga aku merasa bebanku sangat berat. Aku marah pada Tuhan karena aku harus menanggung semuanya sendiri, sementara di luar sana begitu banyak orang yang bisa berbagi dengan saudara-saudaranya tapi tak mengalami hal serupa. Aku merasa hidup tak berpihak padaku dan aku merasa dunia telah menyingkirkanku. Membuangku ke sisi dunia yang gelap tak berdian. Aku terpuruk. Tenggelam dalam duniaku sendiri. Sejak itu aku mulai membangun duniaku sendiri dan hidup di dalamnya. Aku membuat aturan sendiri. Menentukan siapa saja yang boleh masuk untuk menengok duniaku. Aku hidup di dalamnya dan membentengi diri dengan kehangatan semu. Aku menciptakan ketentraman dan ketenangan artifisial. Sesekali aku keluar untuk melepaskan kejenuhan, namun aku pasti kembali masuk ke dalam duniaku sendiri.
Aku menjalani hubungan seperti layaknya remaja lain. Laki-laki pertama yang menjadi tempat aku membagi rasa adalah teman sekelasku semasa SMA. Dia mengajarkan aku tentang kesetiaan palsu, kenaifan masa muda dan gejolak jiwa yang terkekang. Sepulang aku dari Jepang, aku mendapati dia mempunyai 3 orang perempuan lain di belakangku. Sosok yang kedua adalah seseorang yang kukira telah menjadi juru selamatku. Seseorang yang aku kira bisa kuandalkan. Kemudian akhirnya aku tahu, bahwa nyali dalam dirinya tak sebesar tubuhnya. Bahkan tidak sebesar sepertiga tubuhnya sekalipun. Dia mengajarkan dendam, kekerasan dan bagaimana cara menikmati rasa sakit padaku….selama empat tahun. Laki-laki ketiga adalah sosok yang paling tak ingin aku ingat. Kenaifan dan kejujuran yang diajarkannya padaku membuatku ingin lari dari segala yang sedang aku hadapi. Aku bertemu dengan sosok ke-empat di kampusku. Saat semua orang telah tahu gosip yang beredar tentang percobaan bunuh diriku. Dia datang dengan simpati. Seorang teman lama yang hampir terlupakan. Darinya aku belajar hidup, survive dalam segala keadaan dan saling menghargai. Namun semuanya kandas karena piciknya mata cinta membaca satu kalimat dalam lembar buku harianku yang seharusnya menjadi rahasia pribadiku. Laki-laki ke-lima adalah sosok posesif yang memujaku bagai ratu, namun membuatku muak hingga ubun-ubun. Pemanfaatan yang dilakukannya terhadapku telah menutup semua mata dan telingaku untuknya. Tak pernah tersisa kata maaf baginya. Tak pernah pula terbuka kesempatan kedua baginya. Aku sudah merasa cukup, sehingga tak lagi aku ingin membuang lebih banyak waktu. Laki-laki ke-enam adalah mimpi buruk sepanjang masa bagiku. Seseorang yang datang atas nama cinta, mengemis simpatiku, namun menikam dari belakang. Sudah kubuang jauh-jauh semua kenangan tentangnya. Tak kusisakan sedikitpun dalam kepalaku, apalagi hatiku.
Aku sadar sepenuhnya saat aku mengambil keputusan untuk menjadi perempuan kedua dari seorang laki-laki yang telah menikah. Ku pikir, aku perlu sesuatu yang baru. Sesuatu yang menantang dan belum pernah aku rasakan sebelumnya. Awalnya aku hanya main-main, karena aku pikir, laki-laki itu juga pasti hanya sekedar iseng saja denganku. Namun semuanya lalu berjalan di luar skenario. Dia benar-benar jatuh cinta padaku, dan aku benar-benar menikmati hubungan kami saat itu. Aku samasekali tidak pernah merasa bahwa aku hanyalah tempat pelarian baginya. Aku merasakan hal yang sama dengan orang-orang di luar sana yang sedang menjalin hubungan cinta. Tak ada bedanya. Aku tidak pernah cemburu pada istrinya. Aku tidak pernah merasa kesal jika ia membatalkan janji karena harus mengantar anak dan istrinya pergi ke mall. Aku tidak pernah merasa sakit hati mendengar ia menceritakan keluarganya. Semua kutanggapi dengan biasa saja. Dia lah yang aku rasa benar-benar menyayangiku dengan tulus sepenuh hati. Dia lah yang aku rasa paling ingin membahagiakanku dengan segala cara. Dia sangat menghargai perasaanku dan menempatkan aku pada posisi yang nyaman. Kami berdua tau persis, tak akan pernah ada masa depan untuk aku dan dirinya. Aku tahu dia sangat menyayangi keluarganya sebagaimana ia menyayangi aku. Perpisahan tak terelakkan. Hanya saja, keteledoran yang telah membuat kami terpaksa berpisah. Kebocoran mata dan telinga lingkungan telah memaksa kami untuk berpisah. Aku merasakan hari-hariku terlalui dengan sangat lambat dan berat semenjak kami berpisah. Tapi dia telah membawaku masuk ke dalam lingkungan pergaulannya, di mana semua orang menyayangi aku, bukan karena statusku sebagai pacarnya, tapi benar-benar karena diriku sendiri. Teman-temannya lah yang merangkul dan melindungi aku setelah kami berpisah. Tak pernah kusangka perpisahanku dengannya dapat terasa begitu menyakitkan.
Aku tak pernah bisa mengerti, mengapa rasa sakit senang sekali membuntutiku ke manapun aku pergi. Aku merasa teraniaya. Fisik dan mental. Andaikan aku sehat pun….jiwaku kosong dan terasa pedih. Kesenangan dan kebahagiaan tak pernah datang untuk bertahan. Selalu hanya semu semata. Temporer. Aku lelah mencari tempat bernaung, padahal aku sangat butuh tempat di mana aku bisa menyurukkan kepalaku saat menangis. Aku butuh tempat untuk berbagi beban, tapi yang terjadi adalah aku mengurusi beban orang lain yang notabene tak punya hubungan apa-apa denganku. Akhirnya setelah sekian lama aku pindah dari satu hati ke hati yang lain, aku memutuskan untuk berjalan sendiri. Toh aku masih punya ‘adik-adik’ yang perlu ku urus. Hari-hariku kemudian disibukkan dengan berbagai macam permasalahan yang terjadi pada mereka. Melarikan diri dari kesunyian batin yang menghantui sepanjang umurku. Ada sedikit bahagia terbersit, karena ada yang membutuhkan kehadiranku sebagai seorang kakak.
Aku tak ambil pusing saat aku harus terjaga semalam suntuk untuk menunggui seorang laki-laki yang telah menghamili adikku dan pergi begitu saja. Aku tak pernah lelah untuk membantunya mencari di mana kiranya bajingan itu berada….bajingan itu juga sudah ku anggap adikku sendiri, sehingga aku merasa sangat berkepentingan dan perlu menghajarnya dengan tanganku sendiri.
Aku tidak keberatan berbagi tempat tinggal dengan adik-adikku, walaupun pada akhirnya semua itu membawa malapetaka dan membuat kami semua terpencar.
Namun sekali lagi, semuanya tak abadi. Saat adik-adikku telah memilih pasangan dan sibuk dengan urusan masing-masing, aku kembali berjalan sendiri.
Kesibukan pekerjaanku tak juga bisa jadi peredam sepi. Aku hanya sibuk pada saat aku bekerja. Maka dari itu, aku lebih memilih untuk bekerja sampai larut malam di kantorku. Karena apabila aku pulang dan membuka pintu kamarku, sepi menyambut jiwaku yang kosong dan pengap. Ku habiskan berjam-jam hanya untuk menulis puisi atau membaca. Puisi-puisiku memiliki nada yang serupa. Gambaran kehampaan, kekosongan dan kesendirian.
Sering aku memikirkan jalanku ketika malam telah menjelang pagi. Aku belum meraih apa-apa, walaupun aku syukuri semua yang aku dapatkan selama ini. Aku masih marah pada Tuhan karena tak pernah memberiku ketenangan jiwa. Aku hanya diberi kesenangan semu, kebahagiaan maya dan abstraksi setiap hari.
Aku berteman akrab dengan kesendirian. Kadang aku merasa sepi dan sendiri itu indah. Aku bisa melakukan apa saja yang ku mau. Tapi tak jarang pula aku merasa semuanya begitu menyiksa. Mendera hatiku yang tak punya tempat berlabuh. Aku selalu mengeluarkan pernyataan defensive tentang statusku yang masih lajang. “Wanita yang berkarir rata-rata menikah pada umur 35 tahun.”, tapi hatiku tetap menangis ketika adik sepupuku meminta izin untuk mendahuluiku menikah dengan laki-laki pilihannya. Bukan. Aku bukan menangis karena keduluan menikah. Aku menangis karena ia begitu bodoh, dengan membiarkan dirinya terpeleset secara sengaja di atas kubangan cinta dan berpegang pada laki-laki yang salah. Aku menangis karena ia masih begitu muda dan hijau, sementara melihat dunia pun ia belum puas. Aku menangis karena membayangkan wajah nenekku, tanteku, oomku saat melontarkan pertanyaan padaku, sementara aku tak pernah punya jawaban untuk pertanyaan yang setiap kali dilontarkan padaku, “Mana calonmu?”. Aku benci pertanyaan itu! Pertanyaan serupa itu lah yang membuatku enggan pulang ke kota kelahiranku. Aku punya berjuta jawaban untuk berbagi macam pertanyaan, kecuali yang satu itu. Aku memilih diam dan tidak menjawab. Kalaupun menjawab, aku hanya mengeluarkan statement singkat “lihat saja nanti”. Yah….karena memang tak ada yang bisa ku lakukan selain membiarkan mereka yang bertanya untuk menunggu.
Teman-teman dekatku selalu mempertanyakan aku belakangan ini, “Apa yang kau cari sekarang? Kau punya pekerjaan yang bagus dengan jabatan yang mentereng. Kau cantik & smart. Kau punya banyak teman….tapi kau tidak punya pacar. Kalau kau punya pacar, kau tidak pernah bisa puas dengan satu orang laki-laki, kau harus selalu punya ‘pegangan’ lain di luar….”. Well, bukankah aku berhak mendapatkan yang terbaik? Dan bukankah untuk mendapatkan yang terbaik aku harus memilih dan memilah dengan baik pula? Lalu, apa salahnya jika aku merasa belum ada yang terbaik untukku saat ini? Aku punya hak penuh untuk menentukan pendamping….bukankah begitu? Namun aku tahu, mendebat lingkungan sekitarmu adalah hal tersulit. Kita nyaris tidak pernah menang!
Teman-teman priaku memiliki pendapat lain,”Perempuan sepertimu membuat kami takut. Takut tak bisa mengejar apa yang kau sudah raih saat ini. Takut tak bisa menandingi isi kepalamu. Takut nantinya kami akan jadi bahan tertawaan orang-orang di sekitarmu karena dianggap tak sepadan.”. Sungguh aku muak dengan pendapat-pendapat klasik seperti itu. Haruskah seperti itu?
Aku memang senang bekerja. Keluargaku menjuluki aku ‘kosmopolitan’, entah apa maksudnya. Tapi jauh di dalam hatiku, aku adalah perempuan biasa. Dan aku punya filosofi yang cukup konservatif untuk urusan keluarga. Jika kelak aku berkeluarga, aku akan berhenti dari pekerjaanku dan tinggal di rumah untuk mengurus keluargaku. Tentu hidupku akan lebih tenang dengan begitu. Sungguh suatu filosofi yang kontroversial untuk perempuan yang hidup dan bekerja saat ini. Tapi apa salahnya? Bukankah aku dilahirkan sebagai perempuan Jawa? Dan darah Jawa yang kuat memang mengalir dalam nadiku, membuatku merasa tak keberatan dengan prinsip tersebut. Mengabdi pada keluarga, dalam batas-batas toleransi yang wajar adalah ibadah. Mengapa pula aku harus mengingkari kodratku? Tapi bukan berarti aku akan menerima semua perlakuan dengan sikap pasrah. Sudah aku bulatkan hatiku. Aku tetap akan menuntut hakku sebagai perempuan, sesuai dengan norma yang berlaku. Tentu aku tak akan tinggal diam bila nanti aku mendapati suamiku berselingkuh atau menikah diam-diam….kecuali bila memang aku tidak tahu tentang hal itu.
Untuk sementara waktu, aku sudah bisa membuat keluargaku cukup bangga dengan diriku. Apalagi dengan cap sebagai ANAK BROKEN HOME. Aku cukup sukses membuktikan pada ayahku, bahwa tanpa secuil pun bantuan darinya aku tetap bisa survive dan eksis. Kadang aku pikir, aku hanya butuh aktualisasi diri saja. Untuk mengatasi rasa minder yang sebenarnya bersembunyi dalam benakku. Tapi mungkin juga tidak. Bukankah aku memang merasa lebih powerful dengan memiliki penghasilan sendiri? Idioma tentang perceraian orang tua, telah sedikit banyak menggeser isi kepalaku kea rah feminisme. Tapi tidak berarti aku membela kaumku dengan membabi buta. Aku tahu, perceraian ayah dan ibuku tidak hanya terbenihkan dari kelakuan ayahku semata. Ibuku pun turut andil dan tidak luput dari kesalahan. Kesalahan yang aku lihat dengan mata kepala sendiri dan aku pendam hingga saat ini dalam-dalam. Keduanya sama-sama salah, hingga saat mereka berpisah, aku memilih untuk tidak ikut siapapun. Aku berdiri sendiri. Maka keluargaku pun terpecah jadi tiga. Ayahku. Ibuku. Aku. Tak ada status anak ikut ayah atau anak ikut ibu. Kami bertiga adalah manusia independen yang berdiri di jalan masing-masing. Hanya karena norma lah, maka aku harus bertahan dengan ibuku.
Tak pernah ada yang tahu kelelahan jiwa yang menderaku. Aku tak pernah bicara pada siapa pun. Aku bercerita pada kesunyian. Pada dinding kamarku yang kusam. Pada lembar-lembar buku yang tersobek. Pada berbatang-batang rokok yang kuhisap. Pada asapnya yang mengepul. Pada lintingan daun ganja. Pada butiran ekstasi dan pada campuran minuman yang aku tenggak untuk meretas sepi. Tidak! Aku bukan melarikan diri. Aku hanya ingin menikmati hidup dengan caraku sendiri. Aku pikir, toh aku tak pernah sampai pada tahap yang membahayakan. Aku bisa berhenti begitu saja saat aku memang ingin berhenti. Tak ada istilah kecanduan….kecuali untuk rokok. Sahabat setiaku setiap waktu. Aku bercerita tanpa kata-kata. Kesunyian lebih bermakna daripada sejuta kata-kata yang terhambur sia-sia. Aku lalu belajar untuk munafik. Aku tersenyum dan tertawa seolah aku adalah orang yang paling bahagia di dunia ini. Tak seorang pun tahu apa yang bergejolak dalam batinku. Ku biarkan sunyi mengaliri jiwaku sampai akhirnya ia menjadi satu dengan jiwaku dan mulai mengosongkan hatiku. Sesungguhnya aku ini mayat hidup. Aku bernyawa tapi tak punya jiwa. Aku merasa tapi hatiku beku. Segala yang aku lakukan setiap waktu adalah rutinitas yang terprogram.
Aku sudah mengalami banyak kegetiran di dunia ini. Aku hidup sendiri. Mandiri. Lepas dan punya kebebasan penuh atas segala yang aku lakukan. Kadang aku memutar balik ingatanku. Mencoba mengingat-ingat semua kejadian yang pernah menimpaku. Kalau ku hitung-hitung, yang belum pernah aku rasakan hanyalah berkeluarga dan melahirkan. Lain dari itu, aku sudah pernah merasakan. Tak ada yang mengalahkanku dalam soal pengalaman.
Aku sangat mengenal diriku. Tidak seperti orang-orang yang kadang tak mengerti dan tak mengenal dirinya sendiri….aku sebaliknya. Aku melalui saat-saat tersulit dalam hidupku sendirian. Berkali-kali aku memutuskan untuk melepaskan hidupku. Satu kali karena aku tak cukup kuat untuk menerima sebuah kejujuran yang dimuntahkan di mukaku. Kenaifan seorang seniman muda yang menyeretku ke tepi jurang kematian. Aku terselamatkan oleh kasih sayang keluarganya semata. Kedua kali, ketika aku menyerahkan seluruh hatiku kepada seorang penipu yang datang atas nama cinta dan mengemis rasa simpatiku. Ketiga kali, saat aku terjebak dalam kekangan berkedok cinta dan posesifitas.
Sejak saat itu, aku kerap menyakiti diri sendiri jika kesal atau marah. Padahal aku paling tak tahan jika melihat orang lain menyakiti dirinya sendiri. Mungkin di situ lah bedanya penonton dan pelaku. Lebih mudah menjadi pelaku daripada penonton.
Rasa penat yang menyerangku membuatku tak ingin berlari lagi. Aku tak peduli sekitarku berteriak-teriak di telingaku. Aku tak peduli keluargaku memohon-mohon. Aku hanya ingin berlayar searah angin yang bertiup. Pergi ke mana arus mengalir.
Terlalu banyak perisitiwa yang melintas di hadapanku. Aku terlalu lelah untuk memikirkan setiap detil kehidupan. Mungkin sudah saatnya aku berlabuh, tapi aku masih harus mencari satu dermaga yang sudi kusinggahi. Maka jangan tanyakan padaku kapan aku akan berlabuh. Aku tak punya rencana untuk berlabuh, namun jika satu saat aku lihat dermaga itu di depan….aku pastikan untuk menebar jangkar di sana. Aku tidak mencarinya. Aku hanya terus berlayar, sampai satu waktu yang tak bisa terdefinisi sekarang.
Aku yakin, suatu hari nanti…..aku dengan predikatku sebagai ANAK BROKEN HOME, akan mampu memutar balik dunia. Mungkin aku akan berlabuh di satu dermaga……….mungkin pula aku hanya akan berhenti mengayuh biduk kecilku yang rapuh dan membiarkannya terapung dalam sunyi dan kesendirian di tengah samudra kehidupan….sampai maut datang menjelang.
Aku sendiri pun tak pernah tahu………..
Serpihan hati….
Hanyalah sebuah elegi tentang kesunyian….
Puing-puing masa lalu
Yang meretas kesendirianku…..
Tak kusesali sepi ini…..
Hanya kubenci!
Tak kusesali kesendirian ini…..
Hanya kumaki!
Biarlah aku dengan sepiku……..
Biarlah aku dengan sendiriku…..
Biarlah aku dengan sunyiku…..
Biarlah aku dengan hampaku……..
Berlayar tanpa pelabuhan…….
(April-Mei 2002)
Bukan pula salahku jika pada akhirnya aku harus terbiasa dalam suasana sepi setelah ayahku memilih untuk meninggalkan aku dan ibuku. Berjuang melewati masa-masa tersulit dalam masa remajaku untuk sekedar menunjukkan kepada lingkungan, keluarga dan ayahku….bahwa aku bisa bertahan tanpa seorang ayah. Mati-matian mengerahkan segala daya dan upaya untuk membuat bangga ibuku, agar beliau bisa bercerita ke tiap sudut kampungku tentang keberhasilan yang aku capai seiring dengan capku sebagai “ANAK BROKEN HOME”. Sebuah papan nama di dada yang seringkali menumbuhkan rasa iba dan simpati, namun juga sekaligus cibiran dan apriori tentang kehancuran mental personilnya. Dan aku harus membawa papan nama itu sejak umurku 18 tahun. Sesaat setelah cita-citaku yang pertama tercapai. Pergi ke luar negeri sendiri. Kebanggaanku sebagai penerima bea siswa ke luar negeri hanya bertahan setahun. Sesaat setelah aku kembali ke rumah, kabar itu datang. Aku diam. Tidak menangis. Tidak marah. Tidak bereaksi. Mungkin itulah reaksiku. Diam. Berhari-hari aku diam. Tidak bicara pada siapapun. Tidak dengan ibuku…apalagi dengan ayahku. Aku hanya pergi keluar bersama sepupuku dan tidak pulang ke rumah selama beberapa hari. Namun bukan berarti aku jadi blangsak. Tidak. Otakku berputar dan hatiku dipenuhi dendam. Aku ingin membalas semuanya dengan caraku sendiri. Tidak dengan cara yang biasa dilakukan kebanyakan orang. Aku tidak suka disamakan dengan orang lain. Aku suka yang berbeda, maka aku akan lakukan caraku….yang mungkin tak pernah terpikir oleh orang lain.
Kalau aku bisa memutar kembali tiang waktu, tentu aku akan menuntut pada Tuhan agar aku dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang harmonis, berkecukupan dan lengkap. Hingga aku tak perlu merasakan makan nasi merah dengan kerupuk dan kecap saat orang lain makan nasi putih dengan ayam goreng….atau bermain dengan benda seadanya di sekitarku sementara teman-teman sekolahku sibuk bertukar mainan model terbaru yang sedang ngetren. Atau sekedar hidup dalam sebuah rumah mungil yang nyaman dengan segala fasilitas yang memadai, daripada sebuah paviliun kontrakan sempit yang bahkan hanya punya satu kamar tidur. Sehingga aku harus berada dalam satu kamar yang sama dengan ayah dan ibuku.
Namun aku tak punya kuasa untuk memutar balik waktu, jadi kuputuskan untuk mensyukuri apa yang telah aku dapatkan selama ini walaupun pahit. Aku percaya, Tuhan menyayangi semua umatnya. Hanya saja, kadang cara-Nya ganjil dan tidak mudah untuk kita terima seketika. Hikmahnya kadang baru terasa kemudian. Bahkan tak jarang puluhan tahun kemudian baru kita tahu hikmah tersebut.
Masa kecilku sebenarnya cukup menyenangkan. Entah kenapa….walaupun aku tak punya benda-benda mewah seperti teman-temanku, aku cukup senang. TV di rumah kontrakan kami hanyalah TV hitam-putih model lama yang gambarnya sudah mulai suram. Sementara di sekolah, teman-temanku sibuk membicarakan film video terbaru yang mereka anggap paling heboh dan keren. Saat mereka berkutat dengan boneka Barbie, aku cukup puas bermain dengan balok-balok kayu sisa lemari buatan ayahku….atau kaleng-kaleng bekas yang aku cat dan aku warnai dengan cat akrilik milik ayahku. Aku tidak pernah iri dengan keadaan teman-temanku….karena mereka masih sering mengajakku bermain atau nonton video di rumah mereka. Bagiku, ada ataupun tidaknya benda-benda itu tidak menjadi masalah, sebab aku masih bisa merasakannya dengan cara yang berbeda. Aku punya ‘harta karun’ sendiri yang tidak semua orang punya. Hampir tidak seorangpun dari teman-temanku memiliki ‘harta karun’ sebanyak milikku…..BUKU. Biarpun mereka punya mainan paling gres atau video player dan TV berwarna….untuk urusan buku, mereka datang padaku karena hanya aku yang memiliki koleksi buku cukup banyak. Ayah & ibuku, juga seluruh keluarga besarku di Semarang selalu membelikan paling sedikit 1 buah buku setiap bulannya untuk menambah koleksi di lemariku.
Aku tak pernah menyesali keadaanku yang harus tinggal bersempit-sempit di rumah kontrakan kecil. Bagiku tak ada bedanya. Toh rumah nenekku di Semarang luas dan nyaman, sehingga aku selalu memuaskan diri selama berlibur di sana. Kadang aku bertanya-tanya sendiri, nenekku adalah anggota dewan daerah, kakekku pejabat di sebuah perusahaan pemerintah yang mengurusi soal hutan dan penghijauan lahan, rumah mereka sangat luas dan bahkan memiliki kolam renang pribadi, terletak di daerah elit kota Semarang…..namun mengapa ayahku tidak sedikitpun mewarisi segala kemewahan tersebut? Kelak kemudian aku akan tahu, mengapa nenek dan ibuku selalu melarang aku berhubungan serius dengan laki-laki yang menancapkan idealsime diri sebagai seniman.
Sepertinya sejak kecil secara tak sengaja aku telah memiliki filosofi untuk menikmati apapun yang aku raih dan miliki hari ini, dan tidak terlalu mengkhawatirkan hari esok. Aku memiliki oom dan tante yang menyayangiku….sepupu yang nakal dan sepasang kakek-nenek yang baik hati. Semua itu cukup untuk mengganti kepedihan akan keluarga yang berantakan sejak aku masih kecil.
Sungguh aku memang merasakan betapa labilnya masa remaja. Beruntung pengalamanku jauh dari tanah air pada usia yang masih terbilang terlalu muda, telah menempa mentalku, hingga sedikitnya aku dapat belajar untuk bertahan dalam badai walaupun perahu kecilku terombang-ambing.
Aku tahu bagaimana harus bertahan saat aku tak punya siapa-siapa yang bisa diandalkan. Aku tahu bagaimana harus bertahan saat semua orang tak mau datang membantu dan pergi meninggalkanku. Aku tahu rasanya berdiri sendiri dalam rasa sakit dan tak seorang pun datang untuk menghibur. Aku tahu bagaimana rasanya tersingkir dan terlupakan. Aku tahu seperti apa rasanya tak didengar. Pendeknya aku tahu persis bagaimana rasanya menahan gejolak kepedihan dalam hati yang lapar akan kasih sayang dan belaian. Merasa iri melihat orang lain yang hidupnya dipenuhi kehangatan.
Bukannya aku tak punya perasaan. Jangan kira aku tak pernah menangis. Aku menangis. Berjam-jam dan berhari-hari…..namun bukanlah kesedihan yang mengisi hatiku…..aku menangis karena merasa jiwaku hampa dan sepi, namun lebih sering ak menangis karena aku merasa marah. Marah pada keadaan dan marah kepada Tuhan yang ku anggap tidak adil. Aku tak punya saudara kandung, sehingga aku merasa bebanku sangat berat. Aku marah pada Tuhan karena aku harus menanggung semuanya sendiri, sementara di luar sana begitu banyak orang yang bisa berbagi dengan saudara-saudaranya tapi tak mengalami hal serupa. Aku merasa hidup tak berpihak padaku dan aku merasa dunia telah menyingkirkanku. Membuangku ke sisi dunia yang gelap tak berdian. Aku terpuruk. Tenggelam dalam duniaku sendiri. Sejak itu aku mulai membangun duniaku sendiri dan hidup di dalamnya. Aku membuat aturan sendiri. Menentukan siapa saja yang boleh masuk untuk menengok duniaku. Aku hidup di dalamnya dan membentengi diri dengan kehangatan semu. Aku menciptakan ketentraman dan ketenangan artifisial. Sesekali aku keluar untuk melepaskan kejenuhan, namun aku pasti kembali masuk ke dalam duniaku sendiri.
Aku menjalani hubungan seperti layaknya remaja lain. Laki-laki pertama yang menjadi tempat aku membagi rasa adalah teman sekelasku semasa SMA. Dia mengajarkan aku tentang kesetiaan palsu, kenaifan masa muda dan gejolak jiwa yang terkekang. Sepulang aku dari Jepang, aku mendapati dia mempunyai 3 orang perempuan lain di belakangku. Sosok yang kedua adalah seseorang yang kukira telah menjadi juru selamatku. Seseorang yang aku kira bisa kuandalkan. Kemudian akhirnya aku tahu, bahwa nyali dalam dirinya tak sebesar tubuhnya. Bahkan tidak sebesar sepertiga tubuhnya sekalipun. Dia mengajarkan dendam, kekerasan dan bagaimana cara menikmati rasa sakit padaku….selama empat tahun. Laki-laki ketiga adalah sosok yang paling tak ingin aku ingat. Kenaifan dan kejujuran yang diajarkannya padaku membuatku ingin lari dari segala yang sedang aku hadapi. Aku bertemu dengan sosok ke-empat di kampusku. Saat semua orang telah tahu gosip yang beredar tentang percobaan bunuh diriku. Dia datang dengan simpati. Seorang teman lama yang hampir terlupakan. Darinya aku belajar hidup, survive dalam segala keadaan dan saling menghargai. Namun semuanya kandas karena piciknya mata cinta membaca satu kalimat dalam lembar buku harianku yang seharusnya menjadi rahasia pribadiku. Laki-laki ke-lima adalah sosok posesif yang memujaku bagai ratu, namun membuatku muak hingga ubun-ubun. Pemanfaatan yang dilakukannya terhadapku telah menutup semua mata dan telingaku untuknya. Tak pernah tersisa kata maaf baginya. Tak pernah pula terbuka kesempatan kedua baginya. Aku sudah merasa cukup, sehingga tak lagi aku ingin membuang lebih banyak waktu. Laki-laki ke-enam adalah mimpi buruk sepanjang masa bagiku. Seseorang yang datang atas nama cinta, mengemis simpatiku, namun menikam dari belakang. Sudah kubuang jauh-jauh semua kenangan tentangnya. Tak kusisakan sedikitpun dalam kepalaku, apalagi hatiku.
Aku sadar sepenuhnya saat aku mengambil keputusan untuk menjadi perempuan kedua dari seorang laki-laki yang telah menikah. Ku pikir, aku perlu sesuatu yang baru. Sesuatu yang menantang dan belum pernah aku rasakan sebelumnya. Awalnya aku hanya main-main, karena aku pikir, laki-laki itu juga pasti hanya sekedar iseng saja denganku. Namun semuanya lalu berjalan di luar skenario. Dia benar-benar jatuh cinta padaku, dan aku benar-benar menikmati hubungan kami saat itu. Aku samasekali tidak pernah merasa bahwa aku hanyalah tempat pelarian baginya. Aku merasakan hal yang sama dengan orang-orang di luar sana yang sedang menjalin hubungan cinta. Tak ada bedanya. Aku tidak pernah cemburu pada istrinya. Aku tidak pernah merasa kesal jika ia membatalkan janji karena harus mengantar anak dan istrinya pergi ke mall. Aku tidak pernah merasa sakit hati mendengar ia menceritakan keluarganya. Semua kutanggapi dengan biasa saja. Dia lah yang aku rasa benar-benar menyayangiku dengan tulus sepenuh hati. Dia lah yang aku rasa paling ingin membahagiakanku dengan segala cara. Dia sangat menghargai perasaanku dan menempatkan aku pada posisi yang nyaman. Kami berdua tau persis, tak akan pernah ada masa depan untuk aku dan dirinya. Aku tahu dia sangat menyayangi keluarganya sebagaimana ia menyayangi aku. Perpisahan tak terelakkan. Hanya saja, keteledoran yang telah membuat kami terpaksa berpisah. Kebocoran mata dan telinga lingkungan telah memaksa kami untuk berpisah. Aku merasakan hari-hariku terlalui dengan sangat lambat dan berat semenjak kami berpisah. Tapi dia telah membawaku masuk ke dalam lingkungan pergaulannya, di mana semua orang menyayangi aku, bukan karena statusku sebagai pacarnya, tapi benar-benar karena diriku sendiri. Teman-temannya lah yang merangkul dan melindungi aku setelah kami berpisah. Tak pernah kusangka perpisahanku dengannya dapat terasa begitu menyakitkan.
Aku tak pernah bisa mengerti, mengapa rasa sakit senang sekali membuntutiku ke manapun aku pergi. Aku merasa teraniaya. Fisik dan mental. Andaikan aku sehat pun….jiwaku kosong dan terasa pedih. Kesenangan dan kebahagiaan tak pernah datang untuk bertahan. Selalu hanya semu semata. Temporer. Aku lelah mencari tempat bernaung, padahal aku sangat butuh tempat di mana aku bisa menyurukkan kepalaku saat menangis. Aku butuh tempat untuk berbagi beban, tapi yang terjadi adalah aku mengurusi beban orang lain yang notabene tak punya hubungan apa-apa denganku. Akhirnya setelah sekian lama aku pindah dari satu hati ke hati yang lain, aku memutuskan untuk berjalan sendiri. Toh aku masih punya ‘adik-adik’ yang perlu ku urus. Hari-hariku kemudian disibukkan dengan berbagai macam permasalahan yang terjadi pada mereka. Melarikan diri dari kesunyian batin yang menghantui sepanjang umurku. Ada sedikit bahagia terbersit, karena ada yang membutuhkan kehadiranku sebagai seorang kakak.
Aku tak ambil pusing saat aku harus terjaga semalam suntuk untuk menunggui seorang laki-laki yang telah menghamili adikku dan pergi begitu saja. Aku tak pernah lelah untuk membantunya mencari di mana kiranya bajingan itu berada….bajingan itu juga sudah ku anggap adikku sendiri, sehingga aku merasa sangat berkepentingan dan perlu menghajarnya dengan tanganku sendiri.
Aku tidak keberatan berbagi tempat tinggal dengan adik-adikku, walaupun pada akhirnya semua itu membawa malapetaka dan membuat kami semua terpencar.
Namun sekali lagi, semuanya tak abadi. Saat adik-adikku telah memilih pasangan dan sibuk dengan urusan masing-masing, aku kembali berjalan sendiri.
Kesibukan pekerjaanku tak juga bisa jadi peredam sepi. Aku hanya sibuk pada saat aku bekerja. Maka dari itu, aku lebih memilih untuk bekerja sampai larut malam di kantorku. Karena apabila aku pulang dan membuka pintu kamarku, sepi menyambut jiwaku yang kosong dan pengap. Ku habiskan berjam-jam hanya untuk menulis puisi atau membaca. Puisi-puisiku memiliki nada yang serupa. Gambaran kehampaan, kekosongan dan kesendirian.
Sering aku memikirkan jalanku ketika malam telah menjelang pagi. Aku belum meraih apa-apa, walaupun aku syukuri semua yang aku dapatkan selama ini. Aku masih marah pada Tuhan karena tak pernah memberiku ketenangan jiwa. Aku hanya diberi kesenangan semu, kebahagiaan maya dan abstraksi setiap hari.
Aku berteman akrab dengan kesendirian. Kadang aku merasa sepi dan sendiri itu indah. Aku bisa melakukan apa saja yang ku mau. Tapi tak jarang pula aku merasa semuanya begitu menyiksa. Mendera hatiku yang tak punya tempat berlabuh. Aku selalu mengeluarkan pernyataan defensive tentang statusku yang masih lajang. “Wanita yang berkarir rata-rata menikah pada umur 35 tahun.”, tapi hatiku tetap menangis ketika adik sepupuku meminta izin untuk mendahuluiku menikah dengan laki-laki pilihannya. Bukan. Aku bukan menangis karena keduluan menikah. Aku menangis karena ia begitu bodoh, dengan membiarkan dirinya terpeleset secara sengaja di atas kubangan cinta dan berpegang pada laki-laki yang salah. Aku menangis karena ia masih begitu muda dan hijau, sementara melihat dunia pun ia belum puas. Aku menangis karena membayangkan wajah nenekku, tanteku, oomku saat melontarkan pertanyaan padaku, sementara aku tak pernah punya jawaban untuk pertanyaan yang setiap kali dilontarkan padaku, “Mana calonmu?”. Aku benci pertanyaan itu! Pertanyaan serupa itu lah yang membuatku enggan pulang ke kota kelahiranku. Aku punya berjuta jawaban untuk berbagi macam pertanyaan, kecuali yang satu itu. Aku memilih diam dan tidak menjawab. Kalaupun menjawab, aku hanya mengeluarkan statement singkat “lihat saja nanti”. Yah….karena memang tak ada yang bisa ku lakukan selain membiarkan mereka yang bertanya untuk menunggu.
Teman-teman dekatku selalu mempertanyakan aku belakangan ini, “Apa yang kau cari sekarang? Kau punya pekerjaan yang bagus dengan jabatan yang mentereng. Kau cantik & smart. Kau punya banyak teman….tapi kau tidak punya pacar. Kalau kau punya pacar, kau tidak pernah bisa puas dengan satu orang laki-laki, kau harus selalu punya ‘pegangan’ lain di luar….”. Well, bukankah aku berhak mendapatkan yang terbaik? Dan bukankah untuk mendapatkan yang terbaik aku harus memilih dan memilah dengan baik pula? Lalu, apa salahnya jika aku merasa belum ada yang terbaik untukku saat ini? Aku punya hak penuh untuk menentukan pendamping….bukankah begitu? Namun aku tahu, mendebat lingkungan sekitarmu adalah hal tersulit. Kita nyaris tidak pernah menang!
Teman-teman priaku memiliki pendapat lain,”Perempuan sepertimu membuat kami takut. Takut tak bisa mengejar apa yang kau sudah raih saat ini. Takut tak bisa menandingi isi kepalamu. Takut nantinya kami akan jadi bahan tertawaan orang-orang di sekitarmu karena dianggap tak sepadan.”. Sungguh aku muak dengan pendapat-pendapat klasik seperti itu. Haruskah seperti itu?
Aku memang senang bekerja. Keluargaku menjuluki aku ‘kosmopolitan’, entah apa maksudnya. Tapi jauh di dalam hatiku, aku adalah perempuan biasa. Dan aku punya filosofi yang cukup konservatif untuk urusan keluarga. Jika kelak aku berkeluarga, aku akan berhenti dari pekerjaanku dan tinggal di rumah untuk mengurus keluargaku. Tentu hidupku akan lebih tenang dengan begitu. Sungguh suatu filosofi yang kontroversial untuk perempuan yang hidup dan bekerja saat ini. Tapi apa salahnya? Bukankah aku dilahirkan sebagai perempuan Jawa? Dan darah Jawa yang kuat memang mengalir dalam nadiku, membuatku merasa tak keberatan dengan prinsip tersebut. Mengabdi pada keluarga, dalam batas-batas toleransi yang wajar adalah ibadah. Mengapa pula aku harus mengingkari kodratku? Tapi bukan berarti aku akan menerima semua perlakuan dengan sikap pasrah. Sudah aku bulatkan hatiku. Aku tetap akan menuntut hakku sebagai perempuan, sesuai dengan norma yang berlaku. Tentu aku tak akan tinggal diam bila nanti aku mendapati suamiku berselingkuh atau menikah diam-diam….kecuali bila memang aku tidak tahu tentang hal itu.
Untuk sementara waktu, aku sudah bisa membuat keluargaku cukup bangga dengan diriku. Apalagi dengan cap sebagai ANAK BROKEN HOME. Aku cukup sukses membuktikan pada ayahku, bahwa tanpa secuil pun bantuan darinya aku tetap bisa survive dan eksis. Kadang aku pikir, aku hanya butuh aktualisasi diri saja. Untuk mengatasi rasa minder yang sebenarnya bersembunyi dalam benakku. Tapi mungkin juga tidak. Bukankah aku memang merasa lebih powerful dengan memiliki penghasilan sendiri? Idioma tentang perceraian orang tua, telah sedikit banyak menggeser isi kepalaku kea rah feminisme. Tapi tidak berarti aku membela kaumku dengan membabi buta. Aku tahu, perceraian ayah dan ibuku tidak hanya terbenihkan dari kelakuan ayahku semata. Ibuku pun turut andil dan tidak luput dari kesalahan. Kesalahan yang aku lihat dengan mata kepala sendiri dan aku pendam hingga saat ini dalam-dalam. Keduanya sama-sama salah, hingga saat mereka berpisah, aku memilih untuk tidak ikut siapapun. Aku berdiri sendiri. Maka keluargaku pun terpecah jadi tiga. Ayahku. Ibuku. Aku. Tak ada status anak ikut ayah atau anak ikut ibu. Kami bertiga adalah manusia independen yang berdiri di jalan masing-masing. Hanya karena norma lah, maka aku harus bertahan dengan ibuku.
Tak pernah ada yang tahu kelelahan jiwa yang menderaku. Aku tak pernah bicara pada siapa pun. Aku bercerita pada kesunyian. Pada dinding kamarku yang kusam. Pada lembar-lembar buku yang tersobek. Pada berbatang-batang rokok yang kuhisap. Pada asapnya yang mengepul. Pada lintingan daun ganja. Pada butiran ekstasi dan pada campuran minuman yang aku tenggak untuk meretas sepi. Tidak! Aku bukan melarikan diri. Aku hanya ingin menikmati hidup dengan caraku sendiri. Aku pikir, toh aku tak pernah sampai pada tahap yang membahayakan. Aku bisa berhenti begitu saja saat aku memang ingin berhenti. Tak ada istilah kecanduan….kecuali untuk rokok. Sahabat setiaku setiap waktu. Aku bercerita tanpa kata-kata. Kesunyian lebih bermakna daripada sejuta kata-kata yang terhambur sia-sia. Aku lalu belajar untuk munafik. Aku tersenyum dan tertawa seolah aku adalah orang yang paling bahagia di dunia ini. Tak seorang pun tahu apa yang bergejolak dalam batinku. Ku biarkan sunyi mengaliri jiwaku sampai akhirnya ia menjadi satu dengan jiwaku dan mulai mengosongkan hatiku. Sesungguhnya aku ini mayat hidup. Aku bernyawa tapi tak punya jiwa. Aku merasa tapi hatiku beku. Segala yang aku lakukan setiap waktu adalah rutinitas yang terprogram.
Aku sudah mengalami banyak kegetiran di dunia ini. Aku hidup sendiri. Mandiri. Lepas dan punya kebebasan penuh atas segala yang aku lakukan. Kadang aku memutar balik ingatanku. Mencoba mengingat-ingat semua kejadian yang pernah menimpaku. Kalau ku hitung-hitung, yang belum pernah aku rasakan hanyalah berkeluarga dan melahirkan. Lain dari itu, aku sudah pernah merasakan. Tak ada yang mengalahkanku dalam soal pengalaman.
Aku sangat mengenal diriku. Tidak seperti orang-orang yang kadang tak mengerti dan tak mengenal dirinya sendiri….aku sebaliknya. Aku melalui saat-saat tersulit dalam hidupku sendirian. Berkali-kali aku memutuskan untuk melepaskan hidupku. Satu kali karena aku tak cukup kuat untuk menerima sebuah kejujuran yang dimuntahkan di mukaku. Kenaifan seorang seniman muda yang menyeretku ke tepi jurang kematian. Aku terselamatkan oleh kasih sayang keluarganya semata. Kedua kali, ketika aku menyerahkan seluruh hatiku kepada seorang penipu yang datang atas nama cinta dan mengemis rasa simpatiku. Ketiga kali, saat aku terjebak dalam kekangan berkedok cinta dan posesifitas.
Sejak saat itu, aku kerap menyakiti diri sendiri jika kesal atau marah. Padahal aku paling tak tahan jika melihat orang lain menyakiti dirinya sendiri. Mungkin di situ lah bedanya penonton dan pelaku. Lebih mudah menjadi pelaku daripada penonton.
Rasa penat yang menyerangku membuatku tak ingin berlari lagi. Aku tak peduli sekitarku berteriak-teriak di telingaku. Aku tak peduli keluargaku memohon-mohon. Aku hanya ingin berlayar searah angin yang bertiup. Pergi ke mana arus mengalir.
Terlalu banyak perisitiwa yang melintas di hadapanku. Aku terlalu lelah untuk memikirkan setiap detil kehidupan. Mungkin sudah saatnya aku berlabuh, tapi aku masih harus mencari satu dermaga yang sudi kusinggahi. Maka jangan tanyakan padaku kapan aku akan berlabuh. Aku tak punya rencana untuk berlabuh, namun jika satu saat aku lihat dermaga itu di depan….aku pastikan untuk menebar jangkar di sana. Aku tidak mencarinya. Aku hanya terus berlayar, sampai satu waktu yang tak bisa terdefinisi sekarang.
Aku yakin, suatu hari nanti…..aku dengan predikatku sebagai ANAK BROKEN HOME, akan mampu memutar balik dunia. Mungkin aku akan berlabuh di satu dermaga……….mungkin pula aku hanya akan berhenti mengayuh biduk kecilku yang rapuh dan membiarkannya terapung dalam sunyi dan kesendirian di tengah samudra kehidupan….sampai maut datang menjelang.
Aku sendiri pun tak pernah tahu………..
Serpihan hati….
Hanyalah sebuah elegi tentang kesunyian….
Puing-puing masa lalu
Yang meretas kesendirianku…..
Tak kusesali sepi ini…..
Hanya kubenci!
Tak kusesali kesendirian ini…..
Hanya kumaki!
Biarlah aku dengan sepiku……..
Biarlah aku dengan sendiriku…..
Biarlah aku dengan sunyiku…..
Biarlah aku dengan hampaku……..
Berlayar tanpa pelabuhan…….
(April-Mei 2002)
5 comments:
Hmm....
Itu namanya kepahitan mbak, maafkan, lupakan
Berharap pada manusia pasti kecewa
Berharap pada Tuhan tidak akan kecewa
Mungkin terdengar naif, tapi itulah kenyataan
Nggak ada yang sempurna
Mengenai pasangan hidup mbak memang punya hak mengharapkan yang terbaik, demikian pula sebaliknya
tapi manusia kan tak pernah puas
kalau begitu bisa2 orang nggak akan nikah2 kan cari yang terbaik terus He...3x belajar menerima orang dalam kekurangannya
Kata mbak, mbak tidak menyesali kesunyian, tapi membenci kesunyian ---> bertentangan banget
Gimana kabarnya sekarang??? Semoga baik2 saja, semangat terus jalani hidup ya.
Jangan merokok ya mbak gak baik
Keep on smiling
Aku mengasihimu
ehm....kenyamanan,kehangatan..cinta, whatever it is dari sekelilingku yang begitu besar..tidak dapat begitu saja..membuatku lengkap dan bahagia, it makes you really really feel guilty once you do something that is not what those who love you want you to do..itu juga membuat sepi dan menyakitkan dan depresi berkepanjangan...for being not nice once..damn, only once!thing is..ga ada kondisi fully happy..completed, kadang selalu ada lubang-lubang mengganggu everytime i try to feel happy..ya..akhirnya aku cuma mikir..save my zen moments sajalah..let it flow..life can be so weird sometimes,somewhere,..for i have fought my 5 years breakdown!!but, thanks, reading your story memberi zen moment..so,so,so bersyukurlah, diberi kekuatan yang begitu besar oleh Tuhan..untuk menjalani hidup..tidak ada karunia yang lebih sempurna lagi..if there is any perfection..
salam kenal ka' ratri,
whatever the past might have done to you
it made you the way you are right now
-a strong fearless female, i believe... -
and whatever colors it might have brought
it made your life so lively colorful
I dun hav the right to judge anyone but as a person who've been cheated and sexually assaulted, my life never realli hav been bitter. I've never been traumatic to luv a man after the rape. I take the incident as a joke. Ur story reminded me of my childhood too. My family didnt hav anything when i was little. We didnt even hav a dining table and we had to eat sitting on the floor holding our plates! I've always been grateful with watever good or bad things tat happen in my life.. i never leave any bitter memories to myself. Just let it go and everything will be fine. When u feel like ur lost.. find God.. hes always there for u... only u dun trust Him enuff to take care of ur problem. When u find God.. u find the purpose of ur life, why ur born in this world and why things happened. Look to the bright side of all things then u wont suffer as much. Well.. Good luck in finding luv coz i am too! :-)
Hey i think ur writing style is excellent! U go girl! ;-) Believe me when i say my life is equally hard! Theres no way to write all the bitter things plus i didnt realli wanna remember it. Maybe we cud exchange stories sometimes.. Wanna know hoe to get to me? Just break the simple code i included.
Sorry for using english coz my indo isnt that good. :-)
Ciaooo
From,
A girl who seize luv..
ada jawaban dalam Yesus. jc_knights@hotmail.com
Post a Comment