Saturday, October 13, 2012

Mengorbankan Korban Perkosaan

Baru-baru ini kita dikejutkan lagi oleh kejadian pengusiran seorang siswi SMP Yayasan Budi Utomo yang mengaku telah menjadi korban perkosaan. Alih-alih melindunginya dari tekanan lebih besar, pihak sekolah justru mengusir siswi berumur 14 tahun ini. SA, siswi yang menjadi korban, hingga saat ini masih trauma terhadap kejadian tersebut dan belum kembali bersekolah. Mendikbud M. Nuh kemudian mengeluarkan pernyataan yang dimuat di surat kabar, bahwa dirinya belum mengetahui secara detil mengenai kasus SA. Yang lebih mengejutkan lagi adalah pernyataan bahwa SA bisa saja siswi yang "nakal" dan kemudian mengaku diperkosa - "... akan tetapi dalam kondisi tertentu, bisa saja karena kenakalannya maka sekolah mengembalikannya ke orang tuanya. Soalnya ada yang sengaja, kadang-kadang ada yang sama-sama senang, ngakunya diperkosa," - demikian ujar M. Nuh ketika dijumpai di kantornya hari Kamis, 11 Oktober lalu.
 
Pernyataan ini sungguh tidak pantas keluar dari mulut seorang menteri pendidikan yang seharusnya berupaya untuk memenuhi hak pendidikan warga negaranya. Setelah beberapa bulan yang lalu ada upaya melakukan tes keperawanan terhadap siswi sekolah, sekarang perempuan kembali dipojokkan dan dipersalahkan atas perkosaan yang terjadi pada dirinya. Mungkin bagi sebagian orang lebih mudah untuk mengorbankan korban perkosaan daripada mengusut sampai ke akar masalahnya. Banyak pihak yang masih juga belum sadar bahwa tindakan perkosaan bukan semata-mata urusan seks. Perkosaan adalah tindakan pemaksaan kehendak dari satu pihak kepada pihak lain. Dulu seorang pejabat pemerintahan sempat juga nyeplos, "Kalau diperkosa sudah melawan tapi tidak berhasil, ya nikmati saja..." Pernyataan-pernyataan tidak senonoh dan merendahkan perempuan seperti itu seolah sudah menjadi sesuatu yang wajar untuk disampaikan. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya kesadaran akan hak seseorang, dan betapa mudahnya mereka mengorbankan korban perkosaan. Mulai dari mempersalahkan cara bicara, cara berdandan, cara berpakaian, cara bergaul yang semua bermuara ke kesimpulan bahwa semua korban perkosaan menunjukkan indikasi "minta diperkosa".
 
Perempuan berhak berpenampilan seperti apapun yang mereka anggap cantik. Baju seksi, cara bicara atau bagaimana mereka bergaul tidak bisa dijadikan faktor pemicu terjadinya perkosaan, karena sudah banyak korban perkosaan yang berjilbab bahkan tertutup dari atas sampai bawah. Karena sedianya pelaku bukan melihat apa yang ada di depan mata, tetapi apa yang ada di dalam kepalanya. Kita tentu pernah mendengar ekspresi "undressing you in my mind" - ini menunjukkan bahwa apa yang dipakai oleh korban, tidaklah menjadi hal valid yang menentukan bahwa seseorang akan menjadi korban perkosaan.
 
Di luar hal-hal yang dianggap sebagai pemicu terjadinya perkosaan, kita sudah terlalu sering melihat ketidakadilan yang terjadi kepada korban. Bukan pelaku yang segera ditangkap, tapi korban yang diusir atau dikeluarkan dari sekolah. Bukan pelaku yang segera diproses, tapi korban yang digunjingkan dan dipermalukan. Seolah beban psikologis yang ditanggung belum cukup berat, korban perkosaan masih tetap dijadikan bahan gunjingan, biasanya disangkut-pautkan dengan caranya berpakaian, bergaul dan bicara... Lalu timbullah kesimpulan lain, "Pantas saja diperkosa, bajunya seperti itu..." atau "Nggak heran dia diperkosa, ngomongnya kayak gitu..." - sama sekali tidak relevan! Tidak heran jika banyak korban perkosaan lalu enggan melapor, karena perlakuan yang diterima sangat menyudutkan mereka.
 
Tidak ada hal yang bisa dianggap "pantas" dalam kasus perkosaan. Kesimpulan-kesimpulan seperti itu hanya semakin memperkuat bukti bahwa tindakan perkosaan masih dilihat dalam lingkup kulit saja. Semata-mata urusan birahi. Dan untuk urusan birahi, perempuan selalu dipersalahkan. Ini sama saja dengan mengkriminalisasi kecantikan perempuan. Bersalah karena cantik. Bersalah karena seksi. Bersalah karena cara bicaranya sensual. Bersalah karena bergaul dengan luas. Bersalah karena disukai lelaki. Betapa sulitnya menjadi perempuan! Betapa sulitnya menghentikan suatu pemaksaan setelah kami mengatakan "Tidak!" dan "Jangan!"
 
[pagi yang frustrasi - Sabtu, 13 Oktober 2013]

Thursday, May 03, 2012

Tak Pernah Ada Kematian #6


Malam mulai beranjak turun. Aku dan dia masih bersama di rooftop ini. Aku menghembuskan kepul-kepul terakhir dari batang berasapku. Dia? Bergerak kian kemari dalam resah dan kemarahan. Ah... pendatang baru memang selalu penuh kemarahan... Aku memandang lurus ke arah purnama, sementara dia melontarkan caci makinya... Entah kepada siapa. Mungkin kepadaku. Mungkin kepada dirinya sendiri. Mungkin kepada orang yang telah menyebabkannya berada di sini. Entah. Aku tak tahu... Aku tak peduli. Itu bukan urusanku.

"Hey! Kamu!" tiba-tiba laki-laki itu bersuara. Aku menoleh.
"Ya?" jawabku acuh tak acuh.
"Baiklah... Aku percaya padamu sekarang!" katanya lagi.
"Sudah seharusnya..." Jawabku lagi.
"Tapi aku tak suka di sini!" katanya lagi sambil mengepalkan tangannya. Aku tertawa kecil.
"Kamu tidak punya pilihan lain... Terima saja!" Aku mengeluarkan sebatang rokok lagi.
"Aku tidak sudi terjebak dalam keabadian bersamamu! Aku tidak sudi!!!" murkanya menggema di langit. Aku tetap duduk memandang purnama.
"Kamu, laki-laki bodoh yang keras kepala!" akhirnya aku menjawab dalam tawa yang nyinyir dan penuh kepahitan.
"Aaaaahhhhhhhh.....!!!!! Jangan tertawakan aku!!! Aku benci kamu, orang asing!!! Aku akan pergi sendiri!!" jeritnya menggema di sudut malam. Lalu dia berlalu cepat. Aku? Diam saja sambil menyalakan rokokku. Dia tak akan pergi jauh. Tak akan juga pergi lama-lama, karena dia tidak akan bisa sendiri tanpaku.

Kematian hanya ilusi. Mengapa begitu sulit dia mengerti? Sudah jelas dia mengalaminya sendiri, tapi tetap tak mau mengerti. Dia kira siapa dia? Bukan dia yang mengatur semua ini! Marah padaku? Biar saja. Bukan aku pula yang mengatur semuanya. Aku hanya penjaganya. Aku juga tak punya pilihan. Dia kira aku mau menjaganya? Cih! Dia tak pernah tahu bahwa aku menolak mentah-mentah ketika harus menjemput jiwanya yang berantakan dari jasad yang beku. Namun seperti halnya dia, aku tidak punya pilihan. Tak peduli berapa kali aku menghantamkan diri ke dinding langit, perintah itu masuk ke dalam pikiranku dan menyuruhku untuk menunggunya. Jiwa lusuh yang marah, yang bangkit dari jasad yang bersemu merah oleh darah.

Di kejauhan aku masih bisa mendengar sumpah serapahnya. Ah... pendatang baru... Mereka semua sama. Selalu merasa tertipu. Selalu merasa dimanipulasi. Mereka tak sadar bahwa mereka lah yang selalu memanipulasi kematian di kehidupan mereka. Mengumbar cerita tentang terhentinya semua masalah. Tapi sungguh, apa yang mereka tahu sebelum mereka mengalami? Tak ada... Dalam kemarahan mereka selalu pergi meninggalkan penjaga yang menjemput mereka. Laki-laki ini pun begitu. Sayang, dia tak sadar bahwa tanpaku dia hanya akan berjalan dalam lingkaran tanpa akhir. Pergi menjauh, lalu menjauh untuk kemudian muncul lagi di hadapanku.

Tujuh tahun yang lalu aku menjemput jiwa laki-laki yang tersesat itu.Setiap hari dia pergi meninggalkanku dengan sumpah serapahnya... hanya untuk akhirnya kembali padaku di atap gedung ini. Tak ada kematian untuknya. Tak ada pilihan untuknya. Tak ada jalan lain untuknya selain berputar dalam lingkaran dan akhirnya kembali padaku. Sudah tujuh tahun dia melakukannya... dan dia belum juga mengerti... bahwa tak pernah ada kematian... Kematian hanya ilusi. Jiwanya yang lusuh terjebak dalam keabadian bersamaku. Selamanya... dan itu bukanlah pilihan....


--- TAMAT ---

Saturday, April 07, 2012

Tak Pernah Ada Kematian #4

Sambungan dari Tak Pernah Ada Kematian #3 | "Danu Saputra"


Ketika jiwa yang resah itu bangkit dari raga yang hancur dalam kebingungan, aku mengulurkan tanganku. Dia menyambutnya, tapi dengan marah.

"Di mana aku? Mengapa aku masih hidup?" tanyanya gusar.
"Kamu? Ini keabadian... Kamu terjebak bersamaku di sini..." ujarku.
"Selamanya...?" tanyanya lagi.
"Selamanya..." jawabku enteng.
Dia mendengus kesal... "Aku ingin mati!!!" jeritnya.

Aku tertawa kecil, "Mati? Mati katamu??? Hah! Kematian itu hanya ilusi!"
Dia menatapku dengan pandangan nyalang yang membakar jiwaku yang lusuh. "Kamu bohong! Aku harus mencoba lagi. Kali ini dari gedung yang jauh lebih tinggi!" ujarnya sambil menepis genggaman tanganku. 

Aku menarik tangannya, "Dengarkan aku. Lihat ke bawah sana... Apa yang kau lihat?" kataku sambil menunjuk jasad yang hancur dan dikerubuti orang.

Dia melongokkan kepalanya ke bawah, "Mayat. Itu mayat!" jawabnya.
"Ya! Itu mayatmu, bodoh!" seruku dengan kesal. Dia mendongakkan kepalanya lalu memandang berkeliling. Menengok kakinya dan kakiku yang tak menapak. Menghayati eksistensi kami yang melayang di tengah-tengah antara bumi dan langit. "Mayatku???" tanyanya dengan binar aneh di matanya.
"Ya. Mayatmu. Kamu datang dari situ. Jelas?" jawabku, "Tubuhmu sudah hancur tak berbentuk. Kamu sudah tinggal nama. Itu pun jika ada yang ingat padamu." lanjutku sambil menarik tangannya menuju rooftop gedung.

"Jadi... Aku sudah mati? Begitu 'kan? Aku sudah mati!" ujarnya sambil mengguncang bahuku. Aku menepis guncangannya, "Dasar laki-laki bodoh! Sudah aku bilang kematian hanya ilusi...." gumamku sambil menyalakan sebatang rokok.

Dia duduk di sampingku. Bersama kami memandang horizon langit senja yang menjingga bersemu merah. Pekat seperti darahnya yang mengalir keluar dari jasad beku di bawah sana...

"Sekarang apa....?" tanyanya.
"Sekarang?" aku menghembuskan asap rokokku, "Kita terjebak dalam keabadian.... Bersama. Selamanya." jawabku ringan.
Dia? Mendengus keras, "Kamu penipu! Aku benci kamu!"

Aku merengkuh pundaknya dan berbisik di telinganya, "Sekarang kamu tahu... Tak pernah ada kematian... Tidak pernah!"