Sambungan dari Tak Pernah Ada Kematian #5
Malam mulai beranjak turun. Aku dan dia masih bersama di rooftop ini. Aku menghembuskan kepul-kepul terakhir dari batang berasapku. Dia? Bergerak kian kemari dalam resah dan kemarahan. Ah... pendatang baru memang selalu penuh kemarahan... Aku memandang lurus ke arah purnama, sementara dia melontarkan caci makinya... Entah kepada siapa. Mungkin kepadaku. Mungkin kepada dirinya sendiri. Mungkin kepada orang yang telah menyebabkannya berada di sini. Entah. Aku tak tahu... Aku tak peduli. Itu bukan urusanku.
"Hey! Kamu!" tiba-tiba laki-laki itu bersuara. Aku menoleh.
"Ya?" jawabku acuh tak acuh.
"Baiklah... Aku percaya padamu sekarang!" katanya lagi.
"Sudah seharusnya..." Jawabku lagi.
"Tapi aku tak suka di sini!" katanya lagi sambil mengepalkan tangannya. Aku tertawa kecil.
"Kamu tidak punya pilihan lain... Terima saja!" Aku mengeluarkan sebatang rokok lagi.
"Aku tidak sudi terjebak dalam keabadian bersamamu! Aku tidak sudi!!!" murkanya menggema di langit. Aku tetap duduk memandang purnama.
"Kamu, laki-laki bodoh yang keras kepala!" akhirnya aku menjawab dalam tawa yang nyinyir dan penuh kepahitan.
"Aaaaahhhhhhhh.....!!!!! Jangan tertawakan aku!!! Aku benci kamu, orang asing!!! Aku akan pergi sendiri!!" jeritnya menggema di sudut malam. Lalu dia berlalu cepat. Aku? Diam saja sambil menyalakan rokokku. Dia tak akan pergi jauh. Tak akan juga pergi lama-lama, karena dia tidak akan bisa sendiri tanpaku.
Kematian hanya ilusi. Mengapa begitu sulit dia mengerti? Sudah jelas dia mengalaminya sendiri, tapi tetap tak mau mengerti. Dia kira siapa dia? Bukan dia yang mengatur semua ini! Marah padaku? Biar saja. Bukan aku pula yang mengatur semuanya. Aku hanya penjaganya. Aku juga tak punya pilihan. Dia kira aku mau menjaganya? Cih! Dia tak pernah tahu bahwa aku menolak mentah-mentah ketika harus menjemput jiwanya yang berantakan dari jasad yang beku. Namun seperti halnya dia, aku tidak punya pilihan. Tak peduli berapa kali aku menghantamkan diri ke dinding langit, perintah itu masuk ke dalam pikiranku dan menyuruhku untuk menunggunya. Jiwa lusuh yang marah, yang bangkit dari jasad yang bersemu merah oleh darah.
Di kejauhan aku masih bisa mendengar sumpah serapahnya. Ah... pendatang baru... Mereka semua sama. Selalu merasa tertipu. Selalu merasa dimanipulasi. Mereka tak sadar bahwa mereka lah yang selalu memanipulasi kematian di kehidupan mereka. Mengumbar cerita tentang terhentinya semua masalah. Tapi sungguh, apa yang mereka tahu sebelum mereka mengalami? Tak ada... Dalam kemarahan mereka selalu pergi meninggalkan penjaga yang menjemput mereka. Laki-laki ini pun begitu. Sayang, dia tak sadar bahwa tanpaku dia hanya akan berjalan dalam lingkaran tanpa akhir. Pergi menjauh, lalu menjauh untuk kemudian muncul lagi di hadapanku.
Tujuh tahun yang lalu aku menjemput jiwa laki-laki yang tersesat itu.Setiap hari dia pergi meninggalkanku dengan sumpah serapahnya... hanya untuk akhirnya kembali padaku di atap gedung ini. Tak ada kematian untuknya. Tak ada pilihan untuknya. Tak ada jalan lain untuknya selain berputar dalam lingkaran dan akhirnya kembali padaku. Sudah tujuh tahun dia melakukannya... dan dia belum juga mengerti... bahwa tak pernah ada kematian... Kematian hanya ilusi. Jiwanya yang lusuh terjebak dalam keabadian bersamaku. Selamanya... dan itu bukanlah pilihan....
--- TAMAT ---