Tak sekalipun air mata ini pernah tercurah, sejak pertama kali kita berpisah. Tak sekalipun pernah aku menangisi perpisahan di antara kita. Yang selalu aku maki-maki adalah pertemuan kita. Seharusnya kita tak perlu bertemu lagi setelah perpisahan kita yang pertama.
Namun ada sedikit air yang tertitik semalam. Bukan karena aku sedih, namun karena aku merasa sangat marah. Aku tak lagi dapat menahan semua rasa benci yang bertimbun di dalam jiwaku untukmu. Hanya karena benciku, maka aku menangis. Air mata tak lagi memberi rasa lega di dadaku. Justru benci ini makin bertimbun. Dadaku sesak.
Kita memang telah berpisah. Namun masih tertinggal satu benang yang belum lagi terputus benar. Walau benang itu belum terputus benar, namun kau telah menggadaikan hatimu kepada betina lain yang tak kau akui di depanku. Aku tak peduli akan apa yang kau lakukan dengan betinamu di belakangku, tapi aku sungguh minta, tak perlu lagi kau ceritakan padaku.
Jika memang aku sudah tak waras, tentu sudah aku habisi kau dengan tanganku sendiri, karena benci ini begitu berkarat di dalam hatiku. Tak lagi ada bagian yang jernih bersisakan ukiran namamu. Semua telah tertutup habis.
Dan menangislah aku sendiri....
menangis dalam dendam...
menangis dalam kemarahan...
menangis dalam kekecewaan...
menangis dalam sejuta benci yang tak tertahankan...
tangis tanpa suara...
tanpa air mata...
tetesan itu hanya tertumpah dalam hatiku...
[buat +ayah+ yang sangat pintar menyakiti hati bunda, dengan segala kemasabodohannya, dengan segala irresponsibilities-nya, dengan segala kebohongan dan kemunafikannya. tak ada lagi pintu maaf yang bisa terbuka untukmu, karena kau telah mengunci pintu-pintu itu dan membuang anak kuncinya jauh-jauh]