Thursday, November 11, 2004
The Diary; November Rain part IV
semakin kelam...
semakin kabur...
semakin meragu...
tak lagi 'ku tahu benarku - salahku...
tak lagi 'ku percaya mata dan telingaku...
tak dapat 'ku dengar suara hatiku sendiri...
tak lagi bisa 'ku lihat kebenaran dalam jiwaku ini...
penat ini terasa sungguh...
namun aku tak tahu pasti...
haruskah aku berhenti di sini...
atau haruskah aku tetap berlari
sambil membawa semua luka di hati....
aku tak tahu lagi...
tak tahu lagi...
Wednesday, November 10, 2004
The Diary; November Rain part III
saat semua terjadi
aku tak tahu lagi
adakah yang harus ku pahami....
yang 'ku tahu hanya satu
ada kabut di antara kita
begitu tebal
hingga kau nyaris tak terlihat...
kenapa.....
bukan maksudku meninggalkanmu
tapi aku hanya tahu satu
kau harus tahu tentang kehilangan
karena kau tak pernah tahu
apa artinya kehilangan
sampai kau berdiri sendiri di tengah hujan....
di hati ini hanya ada sosokmu
namun kau tak henti mencela
maka aku harus pergi
bukan karena aku tak cinta
tapi karena aku mesti
mungkin kelak
suatu hari nanti
bila memang aku belahan jiwamu
kita akan kembali bersatu
tanpa ada lagi murka dan ragu
kamu tentu tak tahu
sakitnya hatiku
ketika aku harus berlalu
pergi dari sisimu....
kamu pasti tak mengerti
betapa pedihnya rasa ini
ketika aku memilih untuk pergi
membawa separuh hati...
mungkin aku pergi untuk kembali
mungkin pula aku pergi untuk selamanya...
[kenapa.... aku pun tak tahu.... tapi aku pergi darimu.... 11/09/04]
tetapi seiring waktu berjalan...
adakah kau akhirnya mengerti...?
aku hanya bisa berharap....
tapi tak banyak...
Tuesday, November 09, 2004
The Diary; November Rain part II
sudah tidak ada lagi cinta
berganti benci bertahta
sudah tidak perlu lagi rayu
berganti murka dan ragu........
november ini hujan turun
tetesnya basahi bumi
basahi wajahku
tetesnya seperti air mata
tapi bukan milikku
sudah tak ada lagi air mata
tertetes dariku........
Monday, November 08, 2004
The Diary; November Rain
I can see the love restrained.....
but darling when I hold you,
don't you know I feel the same.....
nothing lasts forever
in the cold November rain....
and it's hard to hold the candle
in the cold November rain....
[Guns n' Roses]
November.....
hujanmu turun lagi
basahi tanah kering bumi
menguapkan wangi basah yg damai
setiap butir rinai yang jatuh
adalah cerita...
setiap butir rinai yang turun
adalah episode....
November.....
rinai hujanmu putih mengabut
membius alam seolah membeku
helai-helai kabut yang menari
gemulai diterpa bayu...
serupa peri-peri kecil....
November....
hujanmu,
kabutmu,
dinginmu,
anginmu,
tetesmu,
adalah cerita.....
adalah episode....
Friday, October 29, 2004
The Diary: Kosong...
pikiran kosong.....
hati kosong...
jiwa kosong....
perut kosong....
kantong kosong....
Thursday, October 28, 2004
The Diary: Hari ini......
di sudut sepi tempatku berdiri
di mana aku berada sepanjang hari
tanpa ada yang peduli....
tenggelam dalam khayalku sendiri
tentang langit, bayu dan bumi
tentang awan, bulan dan matahari
tentang padang rumput, bunga-bunga dan pelangi........
oh, duniaku nan maya
di dalam rengkuhmu aku berada
tak pernah ku tahu bentukmu yang nyata
karena dirimu hanya selalu menjadi bayang semata....
di sini aku berada
dalam duniaku yang maya
berselimut kabut nan tak nyata
berharap sepi tak datang mendera....
di sini aku berdiri
di belahan sudut hati
bertanya pada diri sendiri
tentang hati yang sakit tak terperi...
di mana ada cinta sejati....?
yang tulus tak berpamrih
di mana ada kasih suci....?
yang putih tak bernoda
sayang....
semua cinta sejati berkalang pedang
semua kasih bertabur noda
sayang.... sungguh sayang...
Wednesday, October 27, 2004
The Diary; H A M P A
Hampir dapat selalu kurasakan rambatnya...
Padahal biasanya waktu seperti terbang...
Hari ini tidak biasa...
Hari ini luar biasa... [sebutan untuk sesuatu yg tidak biasa]
Hari ini sama membosankannya dengan kemarin...
Tuesday, October 26, 2004
The Diary
Sepertinya ada yang hilang dari dalam diriku
Aku sendiri tak tahu apa yang sebenarnya terjadi
Semuanya terasa semu dan mengabur...
Mungkin ini perasaanku saja.....
Mungkin juga ini lah kenyataannya......
Monday, October 25, 2004
The Diary: Adinda's First Birthday...!
Thursday, October 14, 2004
The Diary; Facing Ramadhan
Monday, October 11, 2004
The Diary; when she's not here...
Friday, October 08, 2004
The Diary; Long and Hot Day...!
Tak ada yang kutunggu selain sampainya jarum jam ke angka lima.
Thursday, October 07, 2004
The Diary; The Routine of Mine
Wednesday, October 06, 2004
The Diary: Perempuan Sialan...!!!
I think I'm going crazy in a couple of days.... Everything's just so wrong! I try to make everything right, but it just didn't work out well.
I need a break.... a BIG break...!
Perempuan bertahta...
Perempuan berkuasa...
Perempuan dicaci....
Perempuan dimaki...
Perempuan menangis...
Perempuan diinjak...
Perempuan disanjung...
Perempuan dipuja...
Perempuan bertahta, tapi dicaci...
Perempuan berkuasa, tapi dimaki...
Perempuan menangis, lalu disanjung...
Perempuan diinjak, lalu dipuja....
Tuesday, October 05, 2004
The Diary; This Damn Communication is Killing Me!
Bunga Rumput
Daur Ulang Limbah Makanan; Menyiasati Masalah Pemeliharaan Lingkungan Hidup
Apa yang terjadi di Negeri Sakura memang jauh berbeda dengan negara kita tercinta. Di sana semua orang sudah teramat menjiwai akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan sekitar. Mungkin apa yang diterapkan di sana dapat menjadi cerminan bagi kita tentang bagaimana seharusnya kita memelihara alam.
Undang-undang Daur Ulang Makanan telah diterapkan di Jepang sejak Mei 2001, di mana di dalamnya telah diatur kewajiban para produsen makanan dan semua jenis usaha yang berhubungan dengan makanan, termasuk industri retail & industri jasa katering, untuk mendaur ulang sedikitnya 20% dari total limbah sisa makanan dan masakan mereka. Dalam bahasan ini kita semua dapat melihat bagaimana langkah-langkah seputar penanggulangan masalah lingkungan hidup dapat benar-benar membantu bidang ekonomi.
Menteri Pertanian, Kehutanan & Perikanan Jepang telah memperkirakan bahwa limbah makanan negara tersebut berkisar antara 19.4 juta ton per tahun. Ketika angka ini diurai, terdapat perincian bahwa limbah industri makanan seperti yang dihasilkan oleh pabrik makanan mempunyai angka 3.4 juta ton; dan limbah makanan dari industri jasa makanan lainnya seperti hotel & restoran, serta dari distributor seperti supermarket mencapai 6 juta ton. 10 juta ton sisanya terdiri dari limbah makanan yang berasal dari rumah penduduk. Diperkirakan pula bahwa 48% dari limbah makanan tersebut masuk ke dalam kategori limbah yang dapat didaur ulang, tapi angka rata-rata daur ulang untuk makanan masih termasuk rendah, yaitu 9%.
Untuk menanggulangi situasi ini, Undang-undang Daur Ulang Makanan dikeluarkan pada tahun 2001. Undang-undang ini memotivasi dilakukannya proses daur ulang & reduksi pada limbah industri makanan, juga terhadap limbah makanan umum yang diproduksi oleh industri makanan terkait lainnya.
Di bawah undang-undang ini, semua industri yang terkait dengan makanan berkewajiban untuk mengurangi jumlah limbah makanan mereka sampai dengan 20% selama periode tahun fiskal 2001 – 2006, melalui berbagai cara seperti mengontrol jumlah limbah, proses daur ulang dan proses pengeringan limbah. Dalam beberapa kasus, sanksi dapat diberikan kepada industri-industri yang tidak taat terhadap undang-undang yang ada, yang menyebabkan jumlah limbah makanan per tahunnya mencapai lebih dari 100 ton.
Satoshi Yanagisawa adalah Kepala Bagian Kementrian untuk Perencanaan Daur Ulang, beliau menjelaskan; “Sementara ini ada tendensi untuk lebih fokus ke arah proses daur ulang sebagai cara utama untuk mengurangi limbah, di lain pihak undang-undang menetapkan bahwa prioritas utama sebenarnya adalah untuk membatasi turunan limbah dengan memikirkan pola baru selama proses produksi & pendistribusian berlangsung. Prioritas selanjutnya adalah untuk mendaur ulang limbah menjadi pupuk dan makanan ternak, atau menjadi bahan mentah seperti oli, minyak & methane. Pada akhirnya nanti, bila proses daur ulang bukan termasuk dalam pilihan, limbah tersebut harus dikeringkan. Undang-undang ini dirancang untuk memasyarakatkan pengurangan jumlah limbah dengan mengizinkan industri-industri yang ada untuk memilih dan memadukan metode yang dianggap paling baik dan efisien dari pilihan-pilihan yang ada.”
INDUSTRI HOTEL
Salah satu contoh nyata yang didapat adalah Hotel New Otani. Hotel tersebut berlokasi di distrik Chiyoda, Tokyo memiliki 1,600 kamar dan merupakan salah satu hotel kelas atas di Jepang. Hotel tersebut juga dikenal dengan kontribusinya di bidang pemeliharaan kelestarian lingkungan hidup. Usaha yang dilakukan termasuk menciptakan pembangkit tenaga tambahan yang memanfaatkan gas alami, dan mengembangkan penanganan limbah secara tepat melalui sistem pendidikan bagi karyawan-karyawannya yang bersifat komprehensif. Hotel New Otani baru-baru ini memberikan perhatian khusus terhadap proses daur ulang limbah makanan.
Seiring dengan banyaknya jumlah kamar yang tersedia, hotel tersebut juga memiliki cukup banyak restoran dan banquet hall. Dapur hotel yang berjumlah kurang lebih 50 buah menghasilkan sekitar 5 ton limbah makanan setiap harinya. Sebelumnya, pihak hotel membuang limbah tersebut dengan cara menjualnya sebagai makanan babi kepada para petani & peternak, tetapi pada akhrnya hal tersebut membangkitkan masalah baru berkenaan dengan bau kurang sedap yang dihasilkan, terutama bila melihat lokasi hotel yang terletak di pusat kota. Kemudian pihak hotel mulai membayar biaya pemusnahan kepada pemerintah kota untuk membakar limbah yang ada. Namun hal tersebut berbuntut kepada anggaran biaya tahunan yang mencapai 40 juta yen. Pembuangan limbah makanan merupakan masalah tersendiri bagi lingkungan, selain itu juga merupakan hal yang paling sulit diatasi oleh masyarakat industri.
Pada poin ini, hotel New Otani memutuskan untuk membuat metode penanggulangan limbah makanannya sendiri, dan setelah beberapa kali mengulangi proses tersebut dengan berbagai percobaan dan kegagalan, akhirnya pihak hotel membangun sendiri tempat pembuatan kompos di area hotel pada tahun 1999. Bangunan ini berjalan dengan bantuan tenaga uap buangan yang diproduksi oleh pembangkit tenaga tambahan, sehingga biaya yang dikeluarkan adalah nol. Limbah makanan sejumlah 5 ton diolah menjadi 700 kg bahan mentah untuk kompos, yang kemudian dijual ke pabrik-pabrik pembuatan kompos untuk diproses lebih lanjut dan dijadikan pupuk. Dalam hal ini, pihak hotel telah membuat kesepakatan dengan para petani untuk membeli sayur-sayuran yang ditanam dengan bantuan kompos hasil daur ulang ini untuk keperluan masak-memasak di hotel.
Hotel ini mempunyai ruang persiapan terpisah untuk proses memasak sayuran, ikan, daging, dan bahan masakan lainnya. Sebagian besar limbah makanan didapat dari proses persiapan ini, di mana serpihan dan potongan yang tidak diperlukan dimasukkan ke dalam tempat-tempat yang bersih dan dikirim ke rumah kompos untuk diproses. Untuk menghasilkan keseimbangan sempurna pada komposisi dari kompos itu sendiri, bunga dan tanaman dimasukkan ke dalam campuran sisa sayuran dan ikan. Rumah kompos itu sendiri samasekali tidak terlihat seperti tempat pengolahan limbah dan sisa pembuangan, namun lebih mirip dengan area perluasan dapur yang keadaannya sangat bersih, bahkan dilengkapi dengan mesin pembersih dan alat sterilisasi untuk ember dan wadah lain yang digunakan sebelumnya. Setelah menjalani proses fermentasi kurang lebih satu minggu di rumah kompos ini, limbah makanan telah menjadi kompos. Selanjutnya kompos mentah tersebut akan dikirim ke pabrik-pabrik untuk diproses lebih lanjut.
“Daripada memperlakukan limbah yang ada sebagai sampah, kami memilih untuk mendaur ulang limbah makanan kami secara sistematis dengan menggunakan ide-ide yang diawali dari dalam dapur”, kata Koichi Wada, Senior Director of Facilities Management di hotel New Otani. “Untuk menangani limbah makanan dalam jumlah besar di tengah kota bukanlah hal mudah. Banyak pabrik yang telah berusaha dan gagal total. Jika Anda merenungkan dan memikirkan kembali, limbah makanan berasal dari bahan-bahan yang kita pakai untuk memasak makanan kita. Makanan yang kita makan sebenarnya adalah ‘limbah’ dari proses memasak yang dilakukan. Kami mencoba untuk memproses limbah ini seperti halnya jika kami memasak dengan menggunakan metode pengontrolan kadar kesegaran, pencampuran, pemanasan dan pengadukan – dan kami berhasil membuat kompos dengan kualitas tinggi.”
Sebelumnya, Wada adalah chef di hotel tersebut. Pengalihan limbah makanan menjadi kompos diujicobakan di berbagai tempat lainnya, namun angka rata-rata keberhasilan yang didapat sangatlah rendah. Saat ini hotel New Otani memasarkan konsep rumah kompos buatannya dan perangkat lunak untuk proses pengalihan kompos sebagai produk komersil.
HASIL SAMPINGAN
Di dalam kompleks industri daur ulang di daerah Kitakyushu – Fukuoka, para produsen tahu dan distributornya berkumpul bersama dalam usaha mendaur ulang okara.
Okara adalah residu yang tersisa dari proses pembuatan susu kedelai, dan merupakan hasil sampingan yang selalu didapat dari proses produksi tahu. Jepang menghasilkan 720,000 ton okara setiap tahun. Pada masa di mana makanan sulit didapat, okara dikonsumsi sebagai sumber nutrisi yang berharga, namun sekarang setengah dari jumlah okara yang dihasilkan hanya dipakai sebagai makanan hewan. Sisanya dimusnahkan, dan dalam beberapa kasus dibuang tanpa mengindahkan peraturan. Lebih dari itu, jumlah yang digunakan sebagai makanan hewan berkurang, berkaitan dengan ketatnya persaingan harga, terutama dengan makanan hewan impor yang harganya lebih murah.
Mitsuhiro Kihara adalah Ketua Asosiasi Daur Ulang & Perwakilan Persatuan Produsen Tahu Fukuoka, beliau mengatakan, “Okara mengandung kelembaban dalam jumlah besar, dan bisa berkisar antara 1.3 kali lebih banyak daripada volume kacang kedelainya sendiri. Selain itu, okara sangat mudah membusuk dan hal tersebut mempersulit proses penanganannya menjadi makanan manusia maupun hewan. Biaya proses pemusnahan yang harus dikeluarkan adalah sekitar 15,000 yen per ton. Benda yang pada satu masa dipandang sebagai sumber nutrisi, kini diperlakukan sebagai limbah industri yang bermasalah.”
Kihara dan rekan-rekannya di lingkungan industri tahu Kitakyushu berinisiatif untuk mengembangkan & membangun rumah daur ulang okara, bekerjasama dengan sebuah perusahaan industri listrik. Seperti halnya hotel New Otani, mereka tidak berhasil dengan fasilitas yang telah ada sebelumnya. Mereka mengembangkan metode pengeringan unik yang menggunakan uap, dan berhasil mendaur ulang okara menjadi bentuk kering tanpa meninggalkan bau menyengat yang biasa ada pada produk hasil fermentasi kacang kedelai.
Rumah daur ulang yang dibangun Kihara dan rekan-rekannya mampu mengurangi kadar kelembaban okara dari 80% menjadi 4-8% dalam waktu hanya 40 menit. Dengan tetap mempertahankan nutrisinya dalam tingkat tinggi, okara yang telah dikeringkan ini, kini dalam bentuk serpihan, dapat disimpan dalam suhu kamar sampai dengan 6 bulan tanpa menjadi busuk, yang secara signifikan menaikkan potensi distribusi & penyimpanannya. “Kami menjawab tantangan untuk proses daur ulang ini dengan keputusan untuk menyimpan kembali nilai tinggi yang dimiliki okara, yang telah dilebur pada saat proses pembuatan makanan.” Ujar Kihara.
Rumah daur ulang tersebut, yang dibangun di ecotown Kitakyushu atas bantuan Menteri Pertanian, Kehutanan & Perikanan, memiliki kapasitas untuk memproses 6,000 ton limbah per tahun. Rumah daur ulang itu kini juga menangani proses untuk daur ulang limbah ham & pabrik sosis. Hasilnya yang merupakan bahan mentah untuk produksi makanan dan makanan hewan, merupakan indikasi dari masa depan bisnis yang cerah.
SUPERMARKET
Dari hasil kunjungan ke sebuah supermarket Seiyu di area Higashi-Matsuyama – Saitama, dapat diketahui bagaimana rantai terdekat dengan kehidupan sehari-hari kita ini mendaur ulang limbah makanan yang ada.
Dengan 228 gerai tersebar di seluruh Jepang, Seiyu menghasilkan 25,831 ton limbah makanan per tahun. Berdasarkan kenyataan ini, Seiyu mendaur ulang berbagi jenis limbah makanannya seperti sisa-sisa ikan, daging & minyak bekas dengan angka rata-rata 100%, namun angka tersebut menurun apabila menyentuh sisa & hasil proses sayuran serta buah. Saat ini Seiyu dengan sukses memperkenalkan fasilitas pembuatan kompos di setiap gerai untuk menjawab tantangan situasi yang ada.
Gerai Seiyu di Higashi-Matsuyama, yang diresmikan pada bulan Maret 1998, menjadi model untuk proyek tersebut. Gerai ini mendaur ulang 200 kg limbah makanan setiap harinya, dengan menggunakan peralatan pembuatan kompos yang disediakan. Hasilnya adalah angka rata-rata keberhasilan daur ulang yang mendekati 100%.
Takashi Muto, Manajer Gerai mengutarakan, “Seiyu menerima sertifikasi ISO14001 pada tahun 1997. Kami memisahkan sampah ke dalam lebih dari 10 kategori yang berbeda sebagai bagian dari usaha kami memelihara kelestarian lingkungan. Untuk limbah makanan, pertama kali kami mencoba untuk mengurangi jumlah limbah harian dengan cara-cara seperti menjual makanan jadi yang hampir melewati batas waktu kadaluarsanya dengan potongan harga sebesar 90% kepada karyawan dan memilih untuk tidak membuangnya seperti waktu-waktu yang lalu. Apabila dengan cara demikian limbah makanan masih juga ada, kami mengeluarkan makanan tersebut dari bungkusnya dan mengolahnya menjadi kompos.”
Rahasia dari keberhasilan supermarket mendaur ulang limbah makanannya adalah ikatan dan hubungannya dengan produsen pupuk yang memiliki pengalaman memproses kompos dan menjual pupuk. Para produsen pupuk ini menangani proses fermentasi lanjutan dan mengontrol kualitasnya di pusat –pusat kompos.
Sisa-sisa makanan yang dihasilkan selama proses pembuatan makanan atau sisa-sisa dari pusat jajan yang ada, dimasukkan ke dalam mesin fermentasi kecepatan tinggi bersama dengan makanan-makanan yang tidak terjual. Setelah menjalani proses fermentasi utama selama 22 jam, limbah makanan harian seberat 200 kg ini dialihkan menjadi 40 kg bahan mentah kompos untuk kemudian dikirim ke produsen pupuk untuk diproses lebih lanjut.
Katsuhiko Ito, Direktur Pelaksana Eko-Bisnis di salah satu produsen pupuk mitra Seiyu, Katakura Chikkarin, menjelaskan, “Saya sudah lama tertarik pada limbah makanan sebagai sumber organik tak terpakai, bahkan sejak sebelum Undang-undang Daur Ulang Limbah Makanan diberlakukan. Saya telah melakukan berbagai riset atas metode yang dipakai seperti fermentasi, karbonisasi dan pengeringan. Saya membangun sebuah sistem yang dapat mendaur ulang limbah makanan menjadi kompos; alat tersebut menggunakan sebuah mesin fermentasi untuk menghilangkan substansi luar pada proses fermentasi tingkat utama dan memproses limbah menjadi bentuk yang lebih mudah didistribusikan.”
Sebagai hasil akhir dari usaha tersebut, angka rata-rata Seiyu untuk sayuran dan buah-buahan naik dari 4% pada tahun 2001 menjadi hampir 40% saat ini.
MANFAAT LAINNYA
Setelah melihat berbagai tindakan daur ulang yang nyata di berbagai tempat di Tokyo, Profesor Pertanian Universitas Tokyo, Akikuni Ushikubo, yang juga spesialis menangani masalah daur ulang menjelaskan bahwa masih terdapat kesulitan dalam proses daur ulang untuk limbah makanan: “Tidak seperti jenis limbah lainnya, limbah makanan sangat mudah membusuk, jadi perlu dicarikan jalan keluar yang tepat untuk mempertahankan kesegaran limbah tersebut. Di lain pihak, semakin sedikit limbah yang dihasilkan di satu daerah, semakin banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar ongkos transport. Lebih jauh lagi, limbah makanan mengandung beraneka campuran, sehingga tidak didapati keseragaman unsur.” Berbicara mengenai Undang-undang Daur Ulang Limbah Makanan, beliau mengatakan, “Karena undang-undang tersebut tidak terlalu mengikat, dianjurkan agar setiap instansi terkait untuk mengusahakan dengan serius atas kesadaran pribadi.”
Sementara undang-undang daur ulang lainnya mengamanatkan inisiasi atas daur ulang & reduksi limbah segera setelah pelaksanaan, Undang-undang Daur Ulang Limbah Makanan memberi waktu kepada bidang usaha selama 5 tahun untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Selain itu, perusahaan-perusahaan diharapkan untuk mengetahui dengan pasti tingkat limbah masing-masing. Target yang ditetapkan untuk jumlah penurunan angka limbah adalah 20%. Angka rata-rata ini merefleksikan kesulitan dalam proses daur ulang limbah makanan yang dimaksud oleh Profesor Ushikubo; hal ini berarti seluruh pebisnis perlu memberikan usaha tambahan untuk bidang yang satu ini. seperti yang telah kita ketahui, sudah ada beberapa contoh yang berhasil.
Profesor Ushikubo mengemukakan pula bahwa pengusahaan daur ulang limbah makanan di masa yang akan datang memerlukan partisipasi mulai dari tahap perencanaan para petani yang menggunakan pupuk dari hasil daur ulang, sampai pengembangan penggunaannya.
“Produk-produk pertanian adalah benda hidup. Keamanan & stabilitas adalah faktor-faktor kunci untuk masalah pupuk. Produsen limbah, prosesor daur ulang beserta industri pertanian, kehutanan & perikanan perlu menciptakan sistem terpadu yang menghasilkan pupuk dalam jumlah yang diperlukan para petani, pada waktu yang tepat dalam bentuk yang aman. Jika hal ini tidak bisa terlaksana, maka keberhasilan proses daur ulang hanya akan tertera di atas kertas saja. Undang-undang Daur Ulang Makanan menyertakan sistem yang mengembangkan keterpautan tersebut. Di Jepang, lahan pertanian sangat terbatas dan angka rata-rata swasembada pangan hanya 40%. Ini berarti sebagian besar bahan mentah untuk makanan didapat dari negara lain. Bahkan bila angka rata-rata daur ulang makanan naik sekalipun, lahan pertanian domestik tidak akan mampu mengakomodasi kenaikan kompos & pupuk. Akan lebih baik bila kemudian kita mempertimbangkan sistem daur ulang yang lain lagi, seperti misalnya mengolah methane menjadi bahan bakar atau bahan mentah untuk keperluan industri lainnya, juga mengaplikasikan metode & pemikiran tersebut di tingkat internasional.
Dibandingkan dengan limbah jenis lain, jumlah limbah makanan yang ada terbilang kecil. Saat kita mempertimbangkan keadaan lahan pertanian dan situasi pangan di Jepang, bagaimanapun, limbah makanan dapat menjadi sumber yang sangat berharga. Mendengar pendapat Profesor Ushikubo, proses daur ulang limbah makanan sangat mungkin membawa keuntungan di masa depan, sebagai satu-satunya jalan keluar bagi masalah pemeliharaan lingkungan hidup.
Disadur dari PACIFIC FRIEND MAGAZINE edisi February 2003
Artikel oleh Kikuo Arai
Terjemahan & aplikasi bahasa Indonesia oleh Suksma Ratri
Industri Pertanian yang Ramah Lingkungan; Potret Masa Depan Pertanian
Dewasa ini diperhitungkan angka rata-rata Jepang berswasembada pangan adalah 40%, sebuah angka yang cukup rendah bila dibandingkan dengan negara-negara industri lainnya. Walaupun masyarakat uni Eropa telah mengimplementasikan ukuran standar yang tinggi untuk proteksi hasil bumi mereka, Jepang menebas angka untuk jagung, gandum, kacang kedelai dan hewan ternak menjadi nol. Sebagai hasilnya, produksi lokal untuk aspek-aspek tersebut merosot dan menempati ranking yang teramat rendah. Sementara itu, konsumsi beras per kapita sebagai bahan makanan pokok warga Jepang juga terus-menerus merosot. Dahulu, beras dan nasi merupakan bahan makanan utama, namun keadaannya telah berbalik sekarang. Melihat perkembangan pertanian Jepang, tidak heran jika produksi beras terus berkurang dari hari ke hari. Dewasa ini, roti dan mie yang sering dimakan sebagai pengganti nasi, terbuat dari gandum impor.
Di luar seluruh ketidakseimbangan ini, 120 juta warga Jepang memiliki standar hidup yang tinggi, dan pasar lokal untuk produk pertanian sebenarnya cukup melimpah. Konsumen Jepang sangat selektif dalam memilih bahan makanan mereka, dan menghabiskan lebih banyak makanan daripada penduduk Amerika serta negara-negara lain.
Fokus pada peran pertanian multifungsional, salah satu yang menelaah masalah pemeliharaan baik komunitas lokal maupun lingkungan hidup, pertama kali dikembangkan di Eropa. Kemudian pada pertengahan era 90-an, penduduk Jepang juga mulai memandang industri pertanian dari sudut pandang yang sama seperti orang Eropa.
Globalisasi Industri Pertanian
Globalisasi industri pertanian dapat juga disebut sebagai ekspansi perdagangan produk-produk pertanian. Karena perdagangan produk pertanian telah meluas, maka serentetan konvensi untuk mendiskusikan masalah tersebut pun diadakan.
Agenda diskusi tersebut meluas selama Pertemuan Uruguay tahun 2986 hingga 1993, untuk mengikutsertakan pertimbangan atas kebijakan mengenai pertanian domestik. Subsidi pemerintah seringkali digunakan untuk mendukung perkembangan sektor pertanian. Dengan demikian, kebijakan domestik memiliki peran utama dalam menentukan harga dari hasil bumi.
Selama Pertemuan Uruguay, kebijakan pertanian domestik dikelompokkan ke dalam kategori yang diperlukan dan tidak diperlukan. Sebagai hasil dari Pertemuan Uruguay, General Agreement on Tariffs & Trades (GATT) – Kesepakatan Harga & Perdagangan bertanggung jawab kepada Organisasi Perdagangan Dunia untuk menyusun peraturan perdagangan internasional.
Tren pada saat ini adalah mengikutsertakan pertimbangan atas peran pertanian multifungsional pada setiap negara.
Undang-undang Baru
Menanggapi perkembangan dunia luas ini, sebuah undang-undang yang baru tentang industri pertanian diluncurkan di Jepang pada tahun 1999. kerangka undang-undang baru ini adalah untuk menstabilkan pasokan pangan domestik, dan untuk pemeliharaan daerah pinggiran. Undang-undang tersebut secara gamblang menjelaskan bahwa produksi domestik harus naik dan mencapai angka swasembada pangan 45% pada tahun 2010. Seperti halnya pertanian, undang-undang baru tersebut memperkenalkan 2 poin baru sebagai fokus, yaitu pangan & daerah pinggiran.
Pertama, masalah pangan berkaitan dengan pandangan konsumen. Pendekatan ini telah difasilitasi secara lebih baik melalui labelisasi makanan.
Kebijakan labelisasi makanan telah pula membuat proses pembubuhan label pada makanan tersebut sebuah kewajiban. Kemudian, labelisasi untuk makanan yang dimodifikasi secara genetik dicanangkan pada tahun 2001.
Dampak dari undang-undang baru terhadap industri pertanian dapat dilihat dari perubahan besar yang terjadi pada kebijakan produksi beras. Pemerintah tidak lagi ikut serta untuk menaikkan harga beras. Sebaliknya, harga ditentukan oleh pasar. Pemerintah hanya membeli beras cadangan. Pada saat harga beras merosot, pemerintah akan menerapkan langkah non-price related untuk membantu para petani menstabilkan kembali pemasukan mereka.
Rencana dasar untuk daerah pinggiran juga memerlukan pembayaran langsung dari pemerintah kepada petani di daerah pegunungan dan perbukitan, mirip dengan pembayaran yang dipakai di Amerika Utara dan Eropa, dalam rangka memberi semangat kepada para petani untuk tetap menggarap lahan yang ada.
Jalan Ke Depan
Saat ini, kurang dari 5% populasi penduduk Jepang bekerja di bidang pertanian & kehutanan. Namun bila seseorang melihat kepada kontribusi yang diberikan oleh industri pertanian dalam termin peran multifungsionalnya dan dalam memelihara biodiversity, industri pertanian lebih signifikan daripada indikator ekonomi sederhana lainnya.
Warga Jepang pada akhirnya memainkan peran penting dalam penganekaragaman peran industri pertanian. Sebuah pendekatan terhadap industri pertanian yang memasukkan konsumen yang mendukung keamanan & kelestarian lingkungan hidup telah menjadi kenyataan.
Bagaimana dengan keadaan di negara kita sendiri? Dapatkah kita mencontoh apa yang telah dilakukan negara lain untuk diimplementasikan di negara kita sendiri? Prinsip dasar yang dilakukan di negara lain umumnya dapat diimplementasikan di mana saja, termasuk di negara kita. Permasalahan utamanya terdapat pada kemampuan dan kegigihan sumber daya manusia bangsa ini, juga kesadaran atas pentingnya memelihara lingkungan kelestarian hidup.
Dari berbagai sumber
Ekologi & Lingkungan Hidup: Budaya Bersepeda di Negara Maju, Cermin Perilaku yang Ramah Lingkungan
Menurut sebuah pepatah Jerman ‘sebuah sepeda jauh lebih baik daripada satu truk obat-obatan’. Dengan mengendarai sepeda, kesehatan kita akan terjaga dan tidak memerlukan obat-obatan. Setelah riset dan penelitian dilakukan kepada warga yang biasa menggunakan mobil atau kereta, banyak orang terkesima dengan kemajuan kesehatan yang mereka dapatkan sejak beralih mengendarai sepeda setiap hari. Mereka semua setuju bahwa latihan cara baru tersebut telah membuat mereka merasa lebih fit dan segar.
Sepeda baik untuk kesehatan kita, juga baik untuk kenyamanan kota, kenyamanan global dan pemeliharaan lingkungan. Sepeda tidak menghasilkan gas karbon monoksida maupun karbon dioksida, tidak mencemari udara maupun lingkungan serta tidak menyebabkan kemacetan arus lalu lintas. Karena sepeda dioperasikan oleh otot tubuh manusia, maka tidak diperlukan konsumsi bahan bakar berupa bensin ataupun solar. Untuk masalah kenyamanan, sepeda merupakan metode transportasi door-to-door yang canggih. Sepeda telah secara nyata memberikan kenaikan perhatian terhadap isu-isu global lingkungan hidup, sebagai alat transportasi yang ramah lingkungan dan paling cocok untuk kota besar. Tak heran bila kemudian sepeda mulai dipilih dan digunakan sebagai alternatif di luar penggunaan mobil. Beberapa tahun belakangan ini di Jepang telah terjadi perubahan besar menyangkut penggunaan sepeda.
Proses perubahan ini dimulai dengan diselenggarakannya The International Conference on Global Warming di Kyoto pada tahun 1997. saat itu, pemerintah Jepang menjanjikan penurunan sebanyak 6% atas produksi karbon dioksida dan emisi gas buang lainnya. Secara alamiah hal tersebut memacu kenaikan atas pentingnya peran sepeda sebagai ‘green vehicle’ atau kendaraan ramah lingkungan yang tidak memerlukan bahan bakar minyak dan tidak menghasilkan emisi gas buang apapun. Pada tahun berikutnya, rancangan utama pemerintah untuk negara tersebut yang disebut sebagai The 5th Comprehensive National Development Plan mengumumkan penggalakkan penggunaan sepeda sebagai alat transportasi untuk pertama kalinya. Pada tahun yang sama The Measures to Prevent Global Warming menyatakan peran sepeda yang dipertimbangkan kembali sebagai gaya hidup baru. Pada tahun 2001, sebuah amandemen untuk undang-undang yang berkenaan dengan konstruksi jalan menetapkan kewajiban untuk membuat dan menyediakan jalur khusus sepeda pada jalan-jalan yang baru dibuat atau pada saat perbaikan dilakukan pada jalan raya yang banyak dilalui pengendara sepeda. Hal ini dirancang untuk memberi prioritas lebih tinggi kepada pengendara sepeda daripada sebelumnya, serta untuk menurunkan beban lingkungan secara keseluruhan yang diakibatkan oleh penggunaan mobil. Poin tersebut merupakan titik balik yang penting, karena pengelolaan jalan raya sebelumnya difokuskan kepada mobil, namun sekarang justru sebaliknya.
Bagaimanapun, tetap ada satu isu besar yang tidak bisa dihindari saat penggalangan pemakaian sepeda dilaksanakan di Jepang: jumlah sepeda yang dibiarkan begitu saja di tempat umum. Biasanya di area stasiun kereta, selain itu juga di area parkir pusat perbelanjaan, di jalan-jalan dan di trotoar tempat pejalan kaki. Sepeda-sepeda yang terbengkalai merupakan gangguan baru. Begitu banyaknya jumlah sepeda yang terbengkalai, sehingga mengganggu kelancaran arus pejalan kaki dan jalan raya. Mencoba untuk melewati sekumpulan sepeda yang terbengkalai di stasiun kereta, terasa seperti sedang berusaha untuk bernegosiasi tentang satu masalah yang cukup pelik. Pada tahun 2001, diperkirakan ada sekitar 540,000 buah sepeda yang terbengkalai di seluruh pelosok Jepang.
20 tahun yang lalu ada 990,000 sepeda yang ditinggalkan begitu saja di jalan-jalan, dan pemerintah setempat dipaksa untuk bertindak. Jumlah tempat parkir sepeda dinaikkan dari 500,000, buah pada 20 tahun sebelumnya, menjadi 3,750,000 buah saat ini. hal tersebut telah mengurangi jumlah sepeda yang terbengkalai di tempat umum sampai dengan setengahnya. Pada kenyataannya Jepang memang terdepan dalam pembuatan tempat parkir sepeda. Namun demikian, naiknya harga tanah membuat pembangunan tempat parkir baru menjadi lebih sulit dan terbatas. Menyediakan area parkir baru bagi sepeda bukanlah hal mudah.
Bila pada satu sisi Jepang mencoba untuk mengedepankan rencana-rencana pemasyarakatan penggunaan sepeda, maka di sisi lain jumlah sepeda yang diparkir atau dibiarkan begitu saja di tempat-tempat umum masih harus dikurangi. Satu-satunya solusi bagi konflik yang ada ini adalah dengan sistem rental.
Warga dapat menikmati fasilitas rental ini dengan membayar iuran keanggotaan. Sepeda-sepeda jenis standar ditaruh di tempat parkir di luar stasiun kereta. Para penyewa dapat menggunakan salah satu dari sepeda-sepeda tersebut untuk pulang pada petang atau malam hari. Pada hari berikutnya mereka menggunakan sepeda tersebut ke stasiun dan mengembalikannya ke pusat penyewaan. Kemudian sepeda yang sama akan dapat digunakan oleh penyewa lainnya untuk pergi bekerja atau sekolah. Begitu seterusnya berjalan secara berkesinambungan. Karena banyak orang yang berbeda menggunakan sepeda pada saat yang berbeda, setiap sepeda memiliki 2 pengguna atau lebih, dan sistem ini dinilai sangat efisien. Kenaikan angka yang dilihat oleh pemerintah setempat di Jepang mencerminkan bahwa sistem rental yang diterapkan sangat berguna untuk mengurangi jumlah sepeda yang terlalu banyak di sekitar stasiun, dan juga mengurangi jumlah tempat parkir sepeda yang dibutuhkan.
Seperti halnya sistem rental sepeda, ada pula cara lain yang dipakai di tempat lain di Jepang untuk membuat lingkungan menjadi lebih kondusif bagi pengendara sepeda. Menteri Pertanahan, Infrastruktur & Transportasi telah merancang 19 kota & daerah model sebagai “eco cycle city”, di mana kota dan daerah tersebut membantu mendukung penggunaan kendaraan kayuh. Contoh nyata dari proyek ini adalah persiapan dari jaringan jalan utama yang memisahkan sepeda dengan pejalan kaki di Nagoya – Aichi dan di distrik Chiyoda serta distrik Chuo di Tokyo. Di daerah Takamatsu – Kanagawa, tempat untuk pengendara sepeda dibuat dengan cara mengurangi luas jalan bagi pengendara mobil.
Pada saat yang sama, berbagai eksperimen sosial dilakukan untuk memasukkan sepeda ke dalam rencana transportasi kota. Salah satu contohnya adalah percobaan di kota Matsuyama – Ehime, yang menggunakan fasilitas jalan yang telah ada. Selama satu bulan, sebagian jalur untuk trem digunakan di beberapa tempat digunakan untuk pengendara sepeda saja, dan di tempat lain pemisahan antara pengendara sepeda dengan pejalan kaki diatur dengan memberikan jam pemakaian jalur yang berbeda. Percobaan serupa ini akan berguna untuk menemukan cara terbaik mengimplementasikan gagasan “eco cycle city” di tiap daerah.
Kita semua sekarang hidup di era mobil. Tahun 1965 dikenal sebagai tahun pertama untuk mobil pribadi, dan sejak itu Jepang telah menjadi masyarakat mesin yang berkembang dengan sangat pesat dan cepat. Sebagai hasil, konstruksi jalan yang ada dikonsentrasikan untuk mobil, dan mobil telah menjadi titik utama kehidupan masyarakat. Saat ini hanya ada 0.6% dari jumlah total jalan yang diberikan secara ekslusif kepada pengendara sepeda. Di Belanda, negara yang memiliki budaya bersepeda paling hebat, rasio yang didapat adalah 8.6% - Jepang masih harus berjalan lebih jauh lagi. Bagaimanapun, terdapat pergerakan “bicology” (bike+ecology) yang muncul di pelosok Jepang, yang melawan masyarakat mobil dan menciptakan lebih banyak lagi “eco cycle – friendly city”.
Klarifikasi isu sepeda dikemukakan oleh Profesor Chikae Watanabe dari Fakultas Teknik Universitas Kyushu Tokai; “Masyarakat modern yang menggunakan mobil menghabiskan 40 tahun untuk berkembang, dan hal tersebut akan menyita banyak waktu untuk membalikkan situasi. Mengadaptasi penggunaan sepeda di Amerika & Eropa secara mentah mungkin tidak akan berhasil di Jepang karena perbedaan konteks. Akan lebih baik apabila kota dan daerah di Jepang mencari sendiri metode yang tepat untuk digunakan di masing-masing area. Harapan saya adalah bahwa kita masih bisa bergerak maju melebihi sistem rental sepeda yang sekarang dijalankan, ke arah sistem dengan banyak tempat parkir sepeda di mana warga dapat dengan leluasa meminjam sepeda dari satu tempat dan dikembalikan ke tempat yang berbeda. Dalam beberapa tahun belakangan ini kenaikan jumlah perusahaan kereta, kota dan desa telah memperlihatkan perhatian atas sistem ini. Warga Jepang tidak bermasalah dengan sepeda yang dianggap sebagai alat transportasi yang sudah memasyarakat.”
Kesadaran atas pemeliharaan lingkungan hidup di negara maju memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di negara berkembang seperti Indonesia. Namun tak ada salahnya bila kita mengadaptasikan beberapa hal positif yang dilakukan di negara lain untuk diterapkan di Indonesia. Dengan mengambil inti pemecahan masalah yang ditempuh, kita juga bisa mulai menumbuhkan rasa memiliki atas lingkungan sekitar kita dan memulai pemeliharaannya dengan lebih serius.
Untuk mengejar hingga taraf yang sama atau mendekati memang sedikit mustahil, tapi menumbuhkan kesadaran akan keterkaitan kita dengan lingkungan dan alam adalah yang terpenting agar kita dapat menghindari tindakan – tindakan yang bersifat merusak dan mengeksploitasi alam.
Disadur dari PACIFIC FRIEND MAGAZINE
Artikel oleh Hisashi Kondo, judul asli LEAN, CLEAN AND GREEN
Terjemahan & adaptasi bahasa oleh Suksma Ratri Pujasaputra
Dalam Kesendirian.....
Bukan pula salahku jika pada akhirnya aku harus terbiasa dalam suasana sepi setelah ayahku memilih untuk meninggalkan aku dan ibuku. Berjuang melewati masa-masa tersulit dalam masa remajaku untuk sekedar menunjukkan kepada lingkungan, keluarga dan ayahku….bahwa aku bisa bertahan tanpa seorang ayah. Mati-matian mengerahkan segala daya dan upaya untuk membuat bangga ibuku, agar beliau bisa bercerita ke tiap sudut kampungku tentang keberhasilan yang aku capai seiring dengan capku sebagai “ANAK BROKEN HOME”. Sebuah papan nama di dada yang seringkali menumbuhkan rasa iba dan simpati, namun juga sekaligus cibiran dan apriori tentang kehancuran mental personilnya. Dan aku harus membawa papan nama itu sejak umurku 18 tahun. Sesaat setelah cita-citaku yang pertama tercapai. Pergi ke luar negeri sendiri. Kebanggaanku sebagai penerima bea siswa ke luar negeri hanya bertahan setahun. Sesaat setelah aku kembali ke rumah, kabar itu datang. Aku diam. Tidak menangis. Tidak marah. Tidak bereaksi. Mungkin itulah reaksiku. Diam. Berhari-hari aku diam. Tidak bicara pada siapapun. Tidak dengan ibuku…apalagi dengan ayahku. Aku hanya pergi keluar bersama sepupuku dan tidak pulang ke rumah selama beberapa hari. Namun bukan berarti aku jadi blangsak. Tidak. Otakku berputar dan hatiku dipenuhi dendam. Aku ingin membalas semuanya dengan caraku sendiri. Tidak dengan cara yang biasa dilakukan kebanyakan orang. Aku tidak suka disamakan dengan orang lain. Aku suka yang berbeda, maka aku akan lakukan caraku….yang mungkin tak pernah terpikir oleh orang lain.
Kalau aku bisa memutar kembali tiang waktu, tentu aku akan menuntut pada Tuhan agar aku dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang harmonis, berkecukupan dan lengkap. Hingga aku tak perlu merasakan makan nasi merah dengan kerupuk dan kecap saat orang lain makan nasi putih dengan ayam goreng….atau bermain dengan benda seadanya di sekitarku sementara teman-teman sekolahku sibuk bertukar mainan model terbaru yang sedang ngetren. Atau sekedar hidup dalam sebuah rumah mungil yang nyaman dengan segala fasilitas yang memadai, daripada sebuah paviliun kontrakan sempit yang bahkan hanya punya satu kamar tidur. Sehingga aku harus berada dalam satu kamar yang sama dengan ayah dan ibuku.
Namun aku tak punya kuasa untuk memutar balik waktu, jadi kuputuskan untuk mensyukuri apa yang telah aku dapatkan selama ini walaupun pahit. Aku percaya, Tuhan menyayangi semua umatnya. Hanya saja, kadang cara-Nya ganjil dan tidak mudah untuk kita terima seketika. Hikmahnya kadang baru terasa kemudian. Bahkan tak jarang puluhan tahun kemudian baru kita tahu hikmah tersebut.
Masa kecilku sebenarnya cukup menyenangkan. Entah kenapa….walaupun aku tak punya benda-benda mewah seperti teman-temanku, aku cukup senang. TV di rumah kontrakan kami hanyalah TV hitam-putih model lama yang gambarnya sudah mulai suram. Sementara di sekolah, teman-temanku sibuk membicarakan film video terbaru yang mereka anggap paling heboh dan keren. Saat mereka berkutat dengan boneka Barbie, aku cukup puas bermain dengan balok-balok kayu sisa lemari buatan ayahku….atau kaleng-kaleng bekas yang aku cat dan aku warnai dengan cat akrilik milik ayahku. Aku tidak pernah iri dengan keadaan teman-temanku….karena mereka masih sering mengajakku bermain atau nonton video di rumah mereka. Bagiku, ada ataupun tidaknya benda-benda itu tidak menjadi masalah, sebab aku masih bisa merasakannya dengan cara yang berbeda. Aku punya ‘harta karun’ sendiri yang tidak semua orang punya. Hampir tidak seorangpun dari teman-temanku memiliki ‘harta karun’ sebanyak milikku…..BUKU. Biarpun mereka punya mainan paling gres atau video player dan TV berwarna….untuk urusan buku, mereka datang padaku karena hanya aku yang memiliki koleksi buku cukup banyak. Ayah & ibuku, juga seluruh keluarga besarku di Semarang selalu membelikan paling sedikit 1 buah buku setiap bulannya untuk menambah koleksi di lemariku.
Aku tak pernah menyesali keadaanku yang harus tinggal bersempit-sempit di rumah kontrakan kecil. Bagiku tak ada bedanya. Toh rumah nenekku di Semarang luas dan nyaman, sehingga aku selalu memuaskan diri selama berlibur di sana. Kadang aku bertanya-tanya sendiri, nenekku adalah anggota dewan daerah, kakekku pejabat di sebuah perusahaan pemerintah yang mengurusi soal hutan dan penghijauan lahan, rumah mereka sangat luas dan bahkan memiliki kolam renang pribadi, terletak di daerah elit kota Semarang…..namun mengapa ayahku tidak sedikitpun mewarisi segala kemewahan tersebut? Kelak kemudian aku akan tahu, mengapa nenek dan ibuku selalu melarang aku berhubungan serius dengan laki-laki yang menancapkan idealsime diri sebagai seniman.
Sepertinya sejak kecil secara tak sengaja aku telah memiliki filosofi untuk menikmati apapun yang aku raih dan miliki hari ini, dan tidak terlalu mengkhawatirkan hari esok. Aku memiliki oom dan tante yang menyayangiku….sepupu yang nakal dan sepasang kakek-nenek yang baik hati. Semua itu cukup untuk mengganti kepedihan akan keluarga yang berantakan sejak aku masih kecil.
Sungguh aku memang merasakan betapa labilnya masa remaja. Beruntung pengalamanku jauh dari tanah air pada usia yang masih terbilang terlalu muda, telah menempa mentalku, hingga sedikitnya aku dapat belajar untuk bertahan dalam badai walaupun perahu kecilku terombang-ambing.
Aku tahu bagaimana harus bertahan saat aku tak punya siapa-siapa yang bisa diandalkan. Aku tahu bagaimana harus bertahan saat semua orang tak mau datang membantu dan pergi meninggalkanku. Aku tahu rasanya berdiri sendiri dalam rasa sakit dan tak seorang pun datang untuk menghibur. Aku tahu bagaimana rasanya tersingkir dan terlupakan. Aku tahu seperti apa rasanya tak didengar. Pendeknya aku tahu persis bagaimana rasanya menahan gejolak kepedihan dalam hati yang lapar akan kasih sayang dan belaian. Merasa iri melihat orang lain yang hidupnya dipenuhi kehangatan.
Bukannya aku tak punya perasaan. Jangan kira aku tak pernah menangis. Aku menangis. Berjam-jam dan berhari-hari…..namun bukanlah kesedihan yang mengisi hatiku…..aku menangis karena merasa jiwaku hampa dan sepi, namun lebih sering ak menangis karena aku merasa marah. Marah pada keadaan dan marah kepada Tuhan yang ku anggap tidak adil. Aku tak punya saudara kandung, sehingga aku merasa bebanku sangat berat. Aku marah pada Tuhan karena aku harus menanggung semuanya sendiri, sementara di luar sana begitu banyak orang yang bisa berbagi dengan saudara-saudaranya tapi tak mengalami hal serupa. Aku merasa hidup tak berpihak padaku dan aku merasa dunia telah menyingkirkanku. Membuangku ke sisi dunia yang gelap tak berdian. Aku terpuruk. Tenggelam dalam duniaku sendiri. Sejak itu aku mulai membangun duniaku sendiri dan hidup di dalamnya. Aku membuat aturan sendiri. Menentukan siapa saja yang boleh masuk untuk menengok duniaku. Aku hidup di dalamnya dan membentengi diri dengan kehangatan semu. Aku menciptakan ketentraman dan ketenangan artifisial. Sesekali aku keluar untuk melepaskan kejenuhan, namun aku pasti kembali masuk ke dalam duniaku sendiri.
Aku menjalani hubungan seperti layaknya remaja lain. Laki-laki pertama yang menjadi tempat aku membagi rasa adalah teman sekelasku semasa SMA. Dia mengajarkan aku tentang kesetiaan palsu, kenaifan masa muda dan gejolak jiwa yang terkekang. Sepulang aku dari Jepang, aku mendapati dia mempunyai 3 orang perempuan lain di belakangku. Sosok yang kedua adalah seseorang yang kukira telah menjadi juru selamatku. Seseorang yang aku kira bisa kuandalkan. Kemudian akhirnya aku tahu, bahwa nyali dalam dirinya tak sebesar tubuhnya. Bahkan tidak sebesar sepertiga tubuhnya sekalipun. Dia mengajarkan dendam, kekerasan dan bagaimana cara menikmati rasa sakit padaku….selama empat tahun. Laki-laki ketiga adalah sosok yang paling tak ingin aku ingat. Kenaifan dan kejujuran yang diajarkannya padaku membuatku ingin lari dari segala yang sedang aku hadapi. Aku bertemu dengan sosok ke-empat di kampusku. Saat semua orang telah tahu gosip yang beredar tentang percobaan bunuh diriku. Dia datang dengan simpati. Seorang teman lama yang hampir terlupakan. Darinya aku belajar hidup, survive dalam segala keadaan dan saling menghargai. Namun semuanya kandas karena piciknya mata cinta membaca satu kalimat dalam lembar buku harianku yang seharusnya menjadi rahasia pribadiku. Laki-laki ke-lima adalah sosok posesif yang memujaku bagai ratu, namun membuatku muak hingga ubun-ubun. Pemanfaatan yang dilakukannya terhadapku telah menutup semua mata dan telingaku untuknya. Tak pernah tersisa kata maaf baginya. Tak pernah pula terbuka kesempatan kedua baginya. Aku sudah merasa cukup, sehingga tak lagi aku ingin membuang lebih banyak waktu. Laki-laki ke-enam adalah mimpi buruk sepanjang masa bagiku. Seseorang yang datang atas nama cinta, mengemis simpatiku, namun menikam dari belakang. Sudah kubuang jauh-jauh semua kenangan tentangnya. Tak kusisakan sedikitpun dalam kepalaku, apalagi hatiku.
Aku sadar sepenuhnya saat aku mengambil keputusan untuk menjadi perempuan kedua dari seorang laki-laki yang telah menikah. Ku pikir, aku perlu sesuatu yang baru. Sesuatu yang menantang dan belum pernah aku rasakan sebelumnya. Awalnya aku hanya main-main, karena aku pikir, laki-laki itu juga pasti hanya sekedar iseng saja denganku. Namun semuanya lalu berjalan di luar skenario. Dia benar-benar jatuh cinta padaku, dan aku benar-benar menikmati hubungan kami saat itu. Aku samasekali tidak pernah merasa bahwa aku hanyalah tempat pelarian baginya. Aku merasakan hal yang sama dengan orang-orang di luar sana yang sedang menjalin hubungan cinta. Tak ada bedanya. Aku tidak pernah cemburu pada istrinya. Aku tidak pernah merasa kesal jika ia membatalkan janji karena harus mengantar anak dan istrinya pergi ke mall. Aku tidak pernah merasa sakit hati mendengar ia menceritakan keluarganya. Semua kutanggapi dengan biasa saja. Dia lah yang aku rasa benar-benar menyayangiku dengan tulus sepenuh hati. Dia lah yang aku rasa paling ingin membahagiakanku dengan segala cara. Dia sangat menghargai perasaanku dan menempatkan aku pada posisi yang nyaman. Kami berdua tau persis, tak akan pernah ada masa depan untuk aku dan dirinya. Aku tahu dia sangat menyayangi keluarganya sebagaimana ia menyayangi aku. Perpisahan tak terelakkan. Hanya saja, keteledoran yang telah membuat kami terpaksa berpisah. Kebocoran mata dan telinga lingkungan telah memaksa kami untuk berpisah. Aku merasakan hari-hariku terlalui dengan sangat lambat dan berat semenjak kami berpisah. Tapi dia telah membawaku masuk ke dalam lingkungan pergaulannya, di mana semua orang menyayangi aku, bukan karena statusku sebagai pacarnya, tapi benar-benar karena diriku sendiri. Teman-temannya lah yang merangkul dan melindungi aku setelah kami berpisah. Tak pernah kusangka perpisahanku dengannya dapat terasa begitu menyakitkan.
Aku tak pernah bisa mengerti, mengapa rasa sakit senang sekali membuntutiku ke manapun aku pergi. Aku merasa teraniaya. Fisik dan mental. Andaikan aku sehat pun….jiwaku kosong dan terasa pedih. Kesenangan dan kebahagiaan tak pernah datang untuk bertahan. Selalu hanya semu semata. Temporer. Aku lelah mencari tempat bernaung, padahal aku sangat butuh tempat di mana aku bisa menyurukkan kepalaku saat menangis. Aku butuh tempat untuk berbagi beban, tapi yang terjadi adalah aku mengurusi beban orang lain yang notabene tak punya hubungan apa-apa denganku. Akhirnya setelah sekian lama aku pindah dari satu hati ke hati yang lain, aku memutuskan untuk berjalan sendiri. Toh aku masih punya ‘adik-adik’ yang perlu ku urus. Hari-hariku kemudian disibukkan dengan berbagai macam permasalahan yang terjadi pada mereka. Melarikan diri dari kesunyian batin yang menghantui sepanjang umurku. Ada sedikit bahagia terbersit, karena ada yang membutuhkan kehadiranku sebagai seorang kakak.
Aku tak ambil pusing saat aku harus terjaga semalam suntuk untuk menunggui seorang laki-laki yang telah menghamili adikku dan pergi begitu saja. Aku tak pernah lelah untuk membantunya mencari di mana kiranya bajingan itu berada….bajingan itu juga sudah ku anggap adikku sendiri, sehingga aku merasa sangat berkepentingan dan perlu menghajarnya dengan tanganku sendiri.
Aku tidak keberatan berbagi tempat tinggal dengan adik-adikku, walaupun pada akhirnya semua itu membawa malapetaka dan membuat kami semua terpencar.
Namun sekali lagi, semuanya tak abadi. Saat adik-adikku telah memilih pasangan dan sibuk dengan urusan masing-masing, aku kembali berjalan sendiri.
Kesibukan pekerjaanku tak juga bisa jadi peredam sepi. Aku hanya sibuk pada saat aku bekerja. Maka dari itu, aku lebih memilih untuk bekerja sampai larut malam di kantorku. Karena apabila aku pulang dan membuka pintu kamarku, sepi menyambut jiwaku yang kosong dan pengap. Ku habiskan berjam-jam hanya untuk menulis puisi atau membaca. Puisi-puisiku memiliki nada yang serupa. Gambaran kehampaan, kekosongan dan kesendirian.
Sering aku memikirkan jalanku ketika malam telah menjelang pagi. Aku belum meraih apa-apa, walaupun aku syukuri semua yang aku dapatkan selama ini. Aku masih marah pada Tuhan karena tak pernah memberiku ketenangan jiwa. Aku hanya diberi kesenangan semu, kebahagiaan maya dan abstraksi setiap hari.
Aku berteman akrab dengan kesendirian. Kadang aku merasa sepi dan sendiri itu indah. Aku bisa melakukan apa saja yang ku mau. Tapi tak jarang pula aku merasa semuanya begitu menyiksa. Mendera hatiku yang tak punya tempat berlabuh. Aku selalu mengeluarkan pernyataan defensive tentang statusku yang masih lajang. “Wanita yang berkarir rata-rata menikah pada umur 35 tahun.”, tapi hatiku tetap menangis ketika adik sepupuku meminta izin untuk mendahuluiku menikah dengan laki-laki pilihannya. Bukan. Aku bukan menangis karena keduluan menikah. Aku menangis karena ia begitu bodoh, dengan membiarkan dirinya terpeleset secara sengaja di atas kubangan cinta dan berpegang pada laki-laki yang salah. Aku menangis karena ia masih begitu muda dan hijau, sementara melihat dunia pun ia belum puas. Aku menangis karena membayangkan wajah nenekku, tanteku, oomku saat melontarkan pertanyaan padaku, sementara aku tak pernah punya jawaban untuk pertanyaan yang setiap kali dilontarkan padaku, “Mana calonmu?”. Aku benci pertanyaan itu! Pertanyaan serupa itu lah yang membuatku enggan pulang ke kota kelahiranku. Aku punya berjuta jawaban untuk berbagi macam pertanyaan, kecuali yang satu itu. Aku memilih diam dan tidak menjawab. Kalaupun menjawab, aku hanya mengeluarkan statement singkat “lihat saja nanti”. Yah….karena memang tak ada yang bisa ku lakukan selain membiarkan mereka yang bertanya untuk menunggu.
Teman-teman dekatku selalu mempertanyakan aku belakangan ini, “Apa yang kau cari sekarang? Kau punya pekerjaan yang bagus dengan jabatan yang mentereng. Kau cantik & smart. Kau punya banyak teman….tapi kau tidak punya pacar. Kalau kau punya pacar, kau tidak pernah bisa puas dengan satu orang laki-laki, kau harus selalu punya ‘pegangan’ lain di luar….”. Well, bukankah aku berhak mendapatkan yang terbaik? Dan bukankah untuk mendapatkan yang terbaik aku harus memilih dan memilah dengan baik pula? Lalu, apa salahnya jika aku merasa belum ada yang terbaik untukku saat ini? Aku punya hak penuh untuk menentukan pendamping….bukankah begitu? Namun aku tahu, mendebat lingkungan sekitarmu adalah hal tersulit. Kita nyaris tidak pernah menang!
Teman-teman priaku memiliki pendapat lain,”Perempuan sepertimu membuat kami takut. Takut tak bisa mengejar apa yang kau sudah raih saat ini. Takut tak bisa menandingi isi kepalamu. Takut nantinya kami akan jadi bahan tertawaan orang-orang di sekitarmu karena dianggap tak sepadan.”. Sungguh aku muak dengan pendapat-pendapat klasik seperti itu. Haruskah seperti itu?
Aku memang senang bekerja. Keluargaku menjuluki aku ‘kosmopolitan’, entah apa maksudnya. Tapi jauh di dalam hatiku, aku adalah perempuan biasa. Dan aku punya filosofi yang cukup konservatif untuk urusan keluarga. Jika kelak aku berkeluarga, aku akan berhenti dari pekerjaanku dan tinggal di rumah untuk mengurus keluargaku. Tentu hidupku akan lebih tenang dengan begitu. Sungguh suatu filosofi yang kontroversial untuk perempuan yang hidup dan bekerja saat ini. Tapi apa salahnya? Bukankah aku dilahirkan sebagai perempuan Jawa? Dan darah Jawa yang kuat memang mengalir dalam nadiku, membuatku merasa tak keberatan dengan prinsip tersebut. Mengabdi pada keluarga, dalam batas-batas toleransi yang wajar adalah ibadah. Mengapa pula aku harus mengingkari kodratku? Tapi bukan berarti aku akan menerima semua perlakuan dengan sikap pasrah. Sudah aku bulatkan hatiku. Aku tetap akan menuntut hakku sebagai perempuan, sesuai dengan norma yang berlaku. Tentu aku tak akan tinggal diam bila nanti aku mendapati suamiku berselingkuh atau menikah diam-diam….kecuali bila memang aku tidak tahu tentang hal itu.
Untuk sementara waktu, aku sudah bisa membuat keluargaku cukup bangga dengan diriku. Apalagi dengan cap sebagai ANAK BROKEN HOME. Aku cukup sukses membuktikan pada ayahku, bahwa tanpa secuil pun bantuan darinya aku tetap bisa survive dan eksis. Kadang aku pikir, aku hanya butuh aktualisasi diri saja. Untuk mengatasi rasa minder yang sebenarnya bersembunyi dalam benakku. Tapi mungkin juga tidak. Bukankah aku memang merasa lebih powerful dengan memiliki penghasilan sendiri? Idioma tentang perceraian orang tua, telah sedikit banyak menggeser isi kepalaku kea rah feminisme. Tapi tidak berarti aku membela kaumku dengan membabi buta. Aku tahu, perceraian ayah dan ibuku tidak hanya terbenihkan dari kelakuan ayahku semata. Ibuku pun turut andil dan tidak luput dari kesalahan. Kesalahan yang aku lihat dengan mata kepala sendiri dan aku pendam hingga saat ini dalam-dalam. Keduanya sama-sama salah, hingga saat mereka berpisah, aku memilih untuk tidak ikut siapapun. Aku berdiri sendiri. Maka keluargaku pun terpecah jadi tiga. Ayahku. Ibuku. Aku. Tak ada status anak ikut ayah atau anak ikut ibu. Kami bertiga adalah manusia independen yang berdiri di jalan masing-masing. Hanya karena norma lah, maka aku harus bertahan dengan ibuku.
Tak pernah ada yang tahu kelelahan jiwa yang menderaku. Aku tak pernah bicara pada siapa pun. Aku bercerita pada kesunyian. Pada dinding kamarku yang kusam. Pada lembar-lembar buku yang tersobek. Pada berbatang-batang rokok yang kuhisap. Pada asapnya yang mengepul. Pada lintingan daun ganja. Pada butiran ekstasi dan pada campuran minuman yang aku tenggak untuk meretas sepi. Tidak! Aku bukan melarikan diri. Aku hanya ingin menikmati hidup dengan caraku sendiri. Aku pikir, toh aku tak pernah sampai pada tahap yang membahayakan. Aku bisa berhenti begitu saja saat aku memang ingin berhenti. Tak ada istilah kecanduan….kecuali untuk rokok. Sahabat setiaku setiap waktu. Aku bercerita tanpa kata-kata. Kesunyian lebih bermakna daripada sejuta kata-kata yang terhambur sia-sia. Aku lalu belajar untuk munafik. Aku tersenyum dan tertawa seolah aku adalah orang yang paling bahagia di dunia ini. Tak seorang pun tahu apa yang bergejolak dalam batinku. Ku biarkan sunyi mengaliri jiwaku sampai akhirnya ia menjadi satu dengan jiwaku dan mulai mengosongkan hatiku. Sesungguhnya aku ini mayat hidup. Aku bernyawa tapi tak punya jiwa. Aku merasa tapi hatiku beku. Segala yang aku lakukan setiap waktu adalah rutinitas yang terprogram.
Aku sudah mengalami banyak kegetiran di dunia ini. Aku hidup sendiri. Mandiri. Lepas dan punya kebebasan penuh atas segala yang aku lakukan. Kadang aku memutar balik ingatanku. Mencoba mengingat-ingat semua kejadian yang pernah menimpaku. Kalau ku hitung-hitung, yang belum pernah aku rasakan hanyalah berkeluarga dan melahirkan. Lain dari itu, aku sudah pernah merasakan. Tak ada yang mengalahkanku dalam soal pengalaman.
Aku sangat mengenal diriku. Tidak seperti orang-orang yang kadang tak mengerti dan tak mengenal dirinya sendiri….aku sebaliknya. Aku melalui saat-saat tersulit dalam hidupku sendirian. Berkali-kali aku memutuskan untuk melepaskan hidupku. Satu kali karena aku tak cukup kuat untuk menerima sebuah kejujuran yang dimuntahkan di mukaku. Kenaifan seorang seniman muda yang menyeretku ke tepi jurang kematian. Aku terselamatkan oleh kasih sayang keluarganya semata. Kedua kali, ketika aku menyerahkan seluruh hatiku kepada seorang penipu yang datang atas nama cinta dan mengemis rasa simpatiku. Ketiga kali, saat aku terjebak dalam kekangan berkedok cinta dan posesifitas.
Sejak saat itu, aku kerap menyakiti diri sendiri jika kesal atau marah. Padahal aku paling tak tahan jika melihat orang lain menyakiti dirinya sendiri. Mungkin di situ lah bedanya penonton dan pelaku. Lebih mudah menjadi pelaku daripada penonton.
Rasa penat yang menyerangku membuatku tak ingin berlari lagi. Aku tak peduli sekitarku berteriak-teriak di telingaku. Aku tak peduli keluargaku memohon-mohon. Aku hanya ingin berlayar searah angin yang bertiup. Pergi ke mana arus mengalir.
Terlalu banyak perisitiwa yang melintas di hadapanku. Aku terlalu lelah untuk memikirkan setiap detil kehidupan. Mungkin sudah saatnya aku berlabuh, tapi aku masih harus mencari satu dermaga yang sudi kusinggahi. Maka jangan tanyakan padaku kapan aku akan berlabuh. Aku tak punya rencana untuk berlabuh, namun jika satu saat aku lihat dermaga itu di depan….aku pastikan untuk menebar jangkar di sana. Aku tidak mencarinya. Aku hanya terus berlayar, sampai satu waktu yang tak bisa terdefinisi sekarang.
Aku yakin, suatu hari nanti…..aku dengan predikatku sebagai ANAK BROKEN HOME, akan mampu memutar balik dunia. Mungkin aku akan berlabuh di satu dermaga……….mungkin pula aku hanya akan berhenti mengayuh biduk kecilku yang rapuh dan membiarkannya terapung dalam sunyi dan kesendirian di tengah samudra kehidupan….sampai maut datang menjelang.
Aku sendiri pun tak pernah tahu………..
Serpihan hati….
Hanyalah sebuah elegi tentang kesunyian….
Puing-puing masa lalu
Yang meretas kesendirianku…..
Tak kusesali sepi ini…..
Hanya kubenci!
Tak kusesali kesendirian ini…..
Hanya kumaki!
Biarlah aku dengan sepiku……..
Biarlah aku dengan sendiriku…..
Biarlah aku dengan sunyiku…..
Biarlah aku dengan hampaku……..
Berlayar tanpa pelabuhan…….
(April-Mei 2002)